Home » News » Series Bidaah: Potret Gelap Relasi Kuasa dalam Bingkai Iman

Series Bidaah: Potret Gelap Relasi Kuasa dalam Bingkai Iman

Ais Fahira

News

Series Bidaah Potret Gelap Relasi Kuasa dalam Bingkai Iman

Bincangperempuan.com- “Walid nak Dewi boleh tak?” B’Pers pernah baca atau dengar kutipan ini? Kalimat itu viral di TikTok, diambil dari cuplikan serial drama Malaysia, Bidaah yang tayang di Viu. Walau terdengar seperti gombalan biasa, sebenarnya kalimat itu datang dari mulut seorang pemimpin sekte agama yang menggunakan tafsir keagamaan untuk membungkus hasrat dan kekuasaan.

Serial ini menjadi viral di media sosial, dengan banyak pengguna membahas karakter Walid dan alur ceritanya yang kontroversial. Adegan-adegan tertentu, seperti interaksi antara Walid dan anggota sekte, memicu diskusi luas di media sosial.

Walid adalah seorang pemimpin sebuah kelompok keagamaan bernama Jihad Ummah. Dari luar, Walid tampil sebagai ustadz yang karismatik, berwibawa, dan tampaknya penuh kebijaksanaan. Tapi ternyata, di balik jubah putih dan lantunan ayat-ayat suci yang ia kumandangkan, tersembunyi wajah manipulatif dan penuh tipu daya. Ia menyebut dirinya sebagai Imam Mahdi, figur mesianistik yang dipercaya datang menjelang kiamat untuk menegakkan kebenaran. Gelar itu digunakan untuk menarik pengikut, menciptakan loyalitas tanpa batas, dan memuluskan berbagai tindakan penyimpangan yang dibungkus dengan legitimasi agama.

Baca juga: Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Islam?

Dibungkus Doa, Diselubungi Kuasa

Yang membuat Bidaah menyentil adalah bagaimana serial ini memotret fenomena penyalahgunaan otoritas spiritual dalam bentuk yang sangat dekat dengan realita. Para pengikut Walid kebanyakan adalah perempuan muda yang sedang mencari arah hidup, rentan secara sosial dan spiritual. Mereka datang dengan harapan menemukan hidayah atau ketenangan batin, tapi justru dijadikan objek eksploitasi, baik secara fisik, emosional, bahkan seksual. Alih-alih menjadi tempat perlindungan, kelompok keagamaan ini berubah menjadi perangkap yang mematikan.

Ada satu adegan yang cukup memicu kontroversi adalah Walid menikahi banyak perempuan dengan dalih “nikah batin”. Upacara dilakukan singkat, diiringi ayat suci, lalu selesai tanpa persetujuan seimbang. Di sinilah kita melihat bagaimana relasi kuasa bekerja—bahwa dalam posisi tidak setara, persetujuan bisa jadi ilusi belaka. Perempuan dijadikan simbol kesucian, sekaligus objek penaklukan.

Relasi Kuasa dalam Dunia Nyata

Serial ini bukan sekadar hiburan. Ia menjadi cermin besar yang memantulkan kenyataan pahit di sekitar kita. Di dunia nyata, pelaku kekerasan bukan hanya mereka yang tampak kasar atau jahat dari luar. Mereka bisa saja orang yang selama ini kita segani—guru, dosen, pemuka agama, bahkan pemimpin komunitas. Dan parahnya, tak jarang mereka menggunakan posisi tersebut untuk memanipulasi, menindas, atau bahkan melakukan kekerasan seksual dan psikologis.

Dalam siaran pers CATAHU (Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan) secara ekonomi, pendidikan, maupun simbolik. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bahwa banyak pelaku yang memiliki relasi kuasa lebih tinggi dibanding korban. Ini menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender masih tinggi, dan pelakunya bukan orang asing, tapi sering justru mereka yang punya kuasa—baik Poligami dan Penindasan atas Nama Iman.

Baca juga: Yayasan Al-Fatah, Jalan Panjang Hak Beragama bagi Transpuan

Poligami dan Dominasi Laki-laki dalam Hubungan

Seri drama Bidaah juga mengangkat isu poligami sebagai salah satu simbol kekuasaan Walid. Ia mengklaim pernikahan sebagai bentuk ibadah, tapi nyatanya hanya bentuk lain dari dominasi. Hal ini juga mencerminkan bagaimana praktik poligami sering dimaknai secara keliru dan digunakan untuk menjustifikasi tindakan yang sebenarnya menindas. Bahkan Komnas Perempuan sendiri menentang tindak poligami, karena merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena dilakukan tanpa persetujuan yang setara.

Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam konteks poligami, baik secara fisik, mental, maupun finansial. Namun hal ini sering dianggap “biasa” karena dibungkus dalam kerangka agama. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, banyak interpretasi keagamaan yang progresif justru menekankan keadilan dan kesetaraan dalam relasi, bukan dominasi atau eksploitasi.

Saat Agama Dimainkan untuk Kepentingan Pribadi

Yang paling menyakitkan adalah ketika agama, yang seharusnya menjadi ruang kontemplatif dan pembebasan, justru dijadikan alat untuk mengekang. Bidaah adalah pengingat bahwa iman pun bisa dimanipulasi. Kita diajak untuk lebih kritis dalam melihat praktik keagamaan di sekitar kita, terutama jika sudah melibatkan pengkultusan terhadap tokoh-tokoh tertentu.

Terkadang kita terlalu mudah memberikan kepercayaan kepada figur keagamaan tanpa menyaring ajaran atau perilaku mereka. Kita enggan bertanya atau meragukan, takut dianggap kufur atau melawan otoritas. Padahal, dalam dunia di mana kekerasan bisa dibungkus dengan doa dan dalil, mempertanyakan bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan bentuk perlindungan diri.

Pentingnya Ruang Aman dan Literasi Spiritual

Serial ini juga memperlihatkan betapa pentingnya menciptakan ruang aman, terutama bagi mereka yang sedang mencari jalan spiritual. Kita butuh lebih banyak forum diskusi yang terbuka, edukatif, dan tidak menghakimi—di mana orang bisa bertanya, ragu, dan belajar tanpa takut dimanipulasi.

Lebih dari itu, kita butuh literasi spiritual. Membaca ulang teks keagamaan dengan konteks kekinian, bertanya pada banyak sumber, dan tidak menjadikan satu orang sebagai pusat kebenaran adalah cara agar kita tidak mudah terjebak dalam pola relasi yang menindas. Agama adalah ruang refleksi, bukan arena kekuasaan.

Bidaah bukan hanya cerita tentang seorang Walid yang manipulatif. Ia adalah gambaran dari banyak Walid di dunia nyata yang masih berkeliaran, dan masih belum terlihat. Serial ini mengajak kita untuk membuka mata, menyadari bahwa kekerasan bisa hadir dalam bentuk yang sangat halus—dibungkus dalam tafsir, doa, dan jubah kesucian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Acil, Konten Kreator Gen Z Ajak Peduli Bahasa Indonesia

Perempuan Pesisir Melawan Kerusakan Lingkungan

Kompleksitas Ironi Pernikahan Dini 

Leave a Comment