Home » News » Framing Femisida di Media: Mengapa Perspektif Korban Masih Terpinggirkan?

Framing Femisida di Media: Mengapa Perspektif Korban Masih Terpinggirkan?

Ais Fahira

News

Framing Femisida di Media Mengapa Perspektif Korban Masih Terpinggirkan

Bincangperempuan.com- Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya, adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem. Istilah ini mungkin belum akrab di telinga banyak orang, padahal realitasnya terjadi di sekitar kita. United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) menyebut femisida sebagai manifestasi paling nyata dari ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 290 kasus femisida sepanjang tahun 2024. Angka ini menjadikan tahun tersebut sebagai tahun kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir. Namun, meski jumlah kasus terus meningkat, pemberitaan femisida di media masih kerap luput dari perspektif korban. Alih-alih menggambarkan latar belakang kekerasan dan dinamika kekuasaan yang terjadi, media lebih banyak menyoroti sisi sensasional kasus, dari kronologi yang mendetail hingga identitas lengkap korban dan keluarganya.

Liputan Femisida Masih Dangkal

Untuk menggali lebih dalam bagaimana media membingkai kasus femisida, Magdalene melakukan pemantauan terhadap tiga portal berita utama di Indonesia—Kompas.com, Detik.com, dan Suara.com—selama periode 14–31 Januari 2025. Dari pemantauan terhadap 193 artikel, sebanyak 185 di antaranya (95,3 persen) menulis femisida sebagai pembunuhan biasa yang bersifat sporadis, tanpa menjelaskan konteks sosial, budaya, maupun struktural yang menjadi akar dari kekerasan tersebut.

Bahasa yang digunakan juga kerap sensasional. Kata-kata seperti “tragis”, “sadis”, hingga “mengenaskan” menghiasi judul-judul berita. Bahkan, identitas korban seperti nama lengkap, alamat, hingga foto pribadi kerap disertakan tanpa sensor. Ini bukan hanya melanggar etika jurnalistik dan hak privasi korban, tapi juga berpotensi menambah luka dan trauma bagi keluarga korban.

Lebih dari setengah berita (56,2 persen) secara gamblang menyebut identitas korban. Dari ketiga media, Kompas.com menjadi yang paling banyak membuka identitas ini. Padahal, dalam jurnalisme berperspektif korban, identitas pribadi seharusnya disamarkan atau dihilangkan, kecuali ada persetujuan dari pihak keluarga atau ada urgensi publik yang sangat besar.

Minimnya kontekstualisasi dan kurangnya suara dari organisasi advokasi atau akademisi yang memahami isu kekerasan berbasis gender memperparah narasi. Hal ini membuat publik gagal memahami bahwa femisida bukan sekadar tragedi individual, tetapi bagian pola kekerasan sistemik dan berakar pada ketimpangan gender.

Baca juga: Kenapa Perempuan yang Mandiri Secara Finansial Sering Diglorifikasi? 

Perspektif Korban Masih Dikesampingkan

Mengapa berita-berita ini minim perspektif korban? Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan sumber. Magdalene mencatat bahwa dari 124 berita (64,5 persen) hanya mengutip keterangan dari aparat penegak hukum (APH) seperti polisi. Sedangkan narasumber dari pihak keluarga korban, saksi, atau pendamping hukum jarang sekali dihadirkan. Bahkan, tidak sedikit berita yang justru lebih memberi ruang pada narasi pelaku—termasuk pembelaan mereka.

Siti Aminah Tardi, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), menyebutkan bahwa proses hukum yang belum mampu menggali akar relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi salah satu penyebab utama dangkalnya pemberitaan.

“Biasanya kita dengar motif pelaku cuma karena cemburu atau sakit hati, padahal di balik itu ada relasi kuasa. Pelaku merasa memiliki hak atas tubuh dan hidup perempuan karena merasa lebih kuat secara sosial atau ekonomi,” ujar Ami, sapaan akrabnya, dalam siaran langsung Instagram Magdalene pada 21 April 2025.

Menurutnya, jika jurnalis hanya mengandalkan keterangan dari APH, maka narasi yang dibangun akan sangat terbatas. Padahal, pemahaman tentang relasi sosial korban dan pelaku sangat penting untuk mengungkap akar kekerasan.

“Harusnya bisa tanya ke teman dekat korban, bagaimana hubungannya dengan pelaku? Apakah ada kontrol berlebihan? Apakah korban pernah mengalami kekerasan sebelumnya dari pelaku? Ini yang jarang sekali muncul di pemberitaan,” tambahnya.

Dampak terhadap Keluarga Korban

Minimnya perspektif korban dalam pemberitaan juga berdampak langsung terhadap keluarga korban. Hal ini disampaikan oleh Dalwa Tajrul Arfah dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, yang berperan sebagai pendamping kasus kekerasan berbasis gender. Menurutnya, banyak keluarga korban yang ingin menjaga privasi mendiang anggota keluarganya, tetapi malah harus melihat identitas korban diumbar oleh media.

“Di kampung, ketika seorang perempuan dibunuh, langsung muncul stigma, apalagi kalau dibunuh oleh pacar. Dibilang oh itu karena main dengan laki-laki lah, atau dianggap tidak menjaga diri. Itu jadi aib yang melekat pada keluarga, padahal mereka sedang berduka,” jelas Dalwa.

Dalwa juga menyoroti bahwa jurnalis sering kali mengejar kronologi tanpa memikirkan beban emosional keluarga korban. Bahkan saat wawancara, pihak keluarga sering dipaksa untuk menceritakan ulang peristiwa traumatis berulang kali, yang berisiko menimbulkan luka baru.

Baca juga: CATAHU 2024: 445.502 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!

Perlu Usaha Kolektif

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Menurut Ami, perlu ada upaya kolektif dari berbagai pihak untuk mengubah cara media memberitakan kasus femisida. Salah satunya dengan memberikan pelatihan atau panduan kepada jurnalis tentang bagaimana menulis berita femisida yang berperspektif korban.

“Tidak perlu menunggu adanya produk hukum terlebih dahulu, jurnalis bisa mulai dari sekarang. Misalnya dengan menghindari kata-kata sensasional, menyamarkan identitas korban, dan mencari narasumber yang bisa memberi konteks,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi pendampingan hukum, Dalwa menekankan pentingnya pendekatan berbasis kampanye. Ia mencontohkan bagaimana dalam perannya sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan), ia menyampaikan perspektif bahwa pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan atau orang dekat bukan sekadar pembunuhan biasa, melainkan bentuk femisida.

“Jadi kami ajukan pandangan bahwa pelaku merasa punya hak atas hidup korban karena relasi dekat itu. Jadi ini bukan soal cemburu atau emosi semata, tapi karena merasa berkuasa. Tanpa perlu menyebut secara gamblang kalau ini femisida. Dan kemarin kasus yang terakhir itu hasilnya cukup baik, pelaku dijatuhi hukuman berat karena dianggap melakukan pembunuhan berencana,” terangnya.

Saatnya Ubah Narasi

Pada akhirnya, femisida bukan sekadar tindak kriminal biasa. Femisida merupakan puncak dari gunung es ketimpangan gender yang telah lama mengakar dalam budaya, norma sosial, dan struktur kekuasaan yang patriarkal. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida, bukan terjadi secara kebetulan atau insiden individual semata, melainkan bagian dari pola sistemik yang kerap diabaikan.

Dalam hal ini, media memiliki peran besar. Cara media memberitakan kasus-kasus femisida akan memengaruhi cara publik memahami dan merespons kekerasan terhadap perempuan. 

“Media itu kan sudah seharusnya menyiarkan berita yang seimbang atau cover both sides. Tapi dalam kasus femisida, kita perlu lebih dari sekadar keseimbangan. Dibutuhkan empati, kepekaan, dan keberpihakan terhadap korban. Bikin saja panduan atau pelatihan menulis berita femisida untuk jurnalis. Agar kita bersama bisa namai, kenali, dan akhiri femisida,” pungkas Ami.

Sudah saatnya media mengubah pendekatan bahwa narasi tentang kekerasan terhadap perempuan tidak bisa lagi diberitakan seperti kasus kriminal biasa. Media harus menghadirkan dimensi struktural, memberikan ruang suara bagi korban dan penyintas, serta menghindari sensasionalisme yang memperburuk trauma. Dengan menyajikan informasi yang adil dan berperspektif korban, media tidak hanya menjalankan fungsi jurnalistik, tetapi juga tanggung jawab sosial. Karena narasi yang adil, jujur, dan manusiawi adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih setara dan aman bagi semua, terutama perempuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Ketua AJI Bengkulu: Perempuan Masih Menjadi Sasaran KBGO

Apa Itu Efek Werther

Apa Itu The Werther Effect?

Akhiri stigma perawan tua pada perempuan lajang

Akhiri Stigma ‘Perawan Tua’ pada Perempuan Lajang

Leave a Comment