Home » Tokoh » Uli Artha Siagian : Perjuangan Adalah Cara Bersyukur Serta Menghidupkan Hidup

Uli Artha Siagian : Perjuangan Adalah Cara Bersyukur Serta Menghidupkan Hidup

Bincang Perempuan

Tokoh

“Ini bukan hanya pekerjaan, ini sudah menjadi hobi,” kata Uli saat mengawali percakapannya dengan bincangperempuan.com.

Tangannya meraih segelas kopi pandan, menyeruputnya pelan. Tanpa suara. Ia terlihat begitu menikmati kopi tersebut. Segelas ice coffee, mampu memberikan rasa segar di tenggorokan. Membuat mata terjaga. Melawan rasa kantuk yang tersisa.  Wajahnya masih tampak lelah. Maklum saja, ia baru pulang semalam, usai melakukan perjalanan dari luar kota. Mengunjungi Kabupaten Lebong, melihat kondisi masyarakat yang bermukim di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal.

Alumni Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Bengkulu (Unib) mulai mendedah kisahnya. Ia merunut perjalanan 6 tahun melakukan advokasi dan kampanye lingkungan hidup. Gerakan komunitas atas hak akses dan kontrol sumber-sumber penghidupan. Dari awalnya hanya menjadi tukang tulis. Hingga dipercaya mengemban amanah sebagai Direktur Genesis Bengkulu. 

EDUKASI : Uli Artha Siagian, saat berdiskusi dengan perempuan-perempuan di desa, berbagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan. (foto : dok/pribadi)

Uli Artha Siagian, memutuskan untuk bergabung di Genesis sejak masih duduk di bangku kuliah. Saat itu ia baru semester 7, tahun 2015. Seorang seniornya di GMKI sekaligus kepala kantor berita Antara di Bengkulu, Marini Sipayung, menginformasikan ada NGO yang membutuhkan staf dengan kemampuan menulis. Tanpa pikir panjang, Uli langsung menerima tawaran tersebut.  Ia pun langsung ditugaskan untuk mengelola website Genesis.

“Masih terus belajar hingga saat ini,” ucapnya singkat.

Tak sebatas itu, Uli pun diminta untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Termasuk membaca undang-undang, memahami pasal demi pasal yang berkaitan dengan hak rakyat atas tanah.  Sesekali Uli mulai diajak turun ke lapangan. Melihat langsung warga yang tengah berkonflik, baik dengan tambang ataupun perkebunan. Uli mulai menikmati setiap cerita warga, keluh kesah, menjadi pendengar yang baik. Uli mengajak warga yang ada berdiskusi. Membuka perspektif pemikiran baru.

“Jika bukan kita siapa lagi yang akan mendengarkan cerita orang di kampung. Atau mau berbagi pengetahuan dengan mereka ? Kita memiliki previllage untuk mengakses informasi,  mereka tidak, dan kita punya tanggung jawab untuk membagikan,”

Direktur Genesis Bengkulu, Uli Artha Siagian

Apa yang dilihat langsung oleh matanya, selalu Uli tulis dengan runut menjadi sebuah cerita. Bagaimana ketidaktahuan warga atas tanah yang bertahun-tahun ditempati  namun mendadak diklaim menjadi lahan HGU perusahaan, membuat Uli pilu. Hatinya tergerak untuk membantu dan memperjuangkan hak-hak warga yang masih bertahan meski harus berkonflik setiap hari.

Satu kisah masih membekas diingatan Uli.  Ketika seorang lelaki tua renta harus mendekam di balik jeruji. Hukum Negara memutuskan lelaki tua tersebut bersalah. Terbukti mencuri buah sawit di lahan milik perusahaan swasta. Ketidaktahuan atas batas lahan perkebunan dengan konsesi perusahaan menyebabkan laki-laki asal Kabupaten Seluma tersebut harus menikmati pekatnya prodeo.

“Tanpa sepengetahuan warga. Kebetulan ada satpam yang patroli dan bapak tersebut tertangkap. Cerita-cerita ini yang membuat saya bertahan dengan profesi ini hingga saat ini,” lanjut Uli. Matanya terlihat berkaca-kaca.

WAWANCARA : Uli Artha Siagian, saat tengah mewawancarai perempuan pengumpul batubara di Kabupaten Bengkulu Tengah. (foto : dok/pribadi)

Genesis sendiri merupakan lembaga non profit yang bergerak di isu lingkungan hidup.  Lembaga yang diawali dari gerakkan akar rumput, melakukan perlawanan  ketika ada perusahaan swasta mulai memasuki desa di sekitar Sungai Penuh, Kabupaten Mukomuko. Warga di desa tersebut berjuang lantang, menyerukan penolakan. Gerakan tersebut akhirnya berhasil, hingga akhirnya tahun 2013 Genesis resmi terdaftar di KemenkumHAM.  

“Hingga saat ini kita masih melakukan advokasi untuk masyarakat di Mukomuko dan Kabupaten Kaur,” katanya.

Suara Perempuan Masih Minor

Bertahun-tahun berhadapan dengan warga yang berkonflik, Uli menyandari, di beberapa konteks wilayah, suara perempuan sering kali tidak didengar. Suara perempuan masih menjadi suara yang minor. Ketika membahas konflik, perempuan tidak pernah dilibatkan. Namun ketika melakukan aksi, perempuan sering kali ditempatkan di depan. Posisi yang sangat rawan, namun berdalih untuk mengurangi bentrokan.  

“Perempuan tidak dilibatkan. Akhirnya perempuan hanya mendengar sembunyi-sembunyi di dapur,  perempuan keluar paling untuk antar kopi. Tidak untuk diajak berdiskusi,” katanya.

Padahal, lanjut Uli perempuan memiliki peran besar dalam setiap gerakan perlawanan. Perempuan juga menjadi kelompok yang paling dirugikan ketika terjadi sebuah kerusakan alam terjadi. Perempuan sejatinya dapat memberikan solusi ketika perempuan diberikan ruang untuk berdaya. Perempuan juga memiliki semangat yang membara. Ia mencontohkan gerakan perempuan-perempuan di Dusun Kulik Sialang, Kabupaten Kaur. 

Baca juga : Yuni Daud,  Pelukis Disabilitas Fisik asal Kota Bengkulu

Perempuan-perempuan di dusun tersebut menamakan diri Perempuan Pelestari Bukit Kayangan. Membentuk Kelas Belajar Perempuan untuk sama-sama berdiskusi tentang gender, hak atas tanah dan hak perempuan sebagai bagian dari HAM. Serta membangun ekonomi alternatif lokal yang meletakan kelestarian dan keselamatan untuk menandingi ekonomi ekstraktif yang mulai menggerogoti dusun mereka.

KORLAP AKSI : Uli Artha Siagian, ketika diwawancarai awak media lokal terkait aksi tolak Omnibus Law yang dipimpinnya beberapa waktu lalu. (foto : dok/pribadi).

Perempuan-perempuan tersebut lanjut Uli berhasil meyakinkan kepala dusun setempat agar memberikan lahan desa untuk dikelola secara komunal.  Tanah yang tadinya semak belukar, sekejap berubah menjadi ladang jagung, kacang tanah, dan sayuran hari-hari. Hasil panennya dikelola dan dinikmati bersama.

“Ini menjadi media perlawanan bagi perempuan. Sekaligus ruang untuk bercakap-cakap dan belajar bersama. Bahkan di kebun itu, mereka menyusun program bagaimana menyelamatkan sumber mata air yang ada di Bukit Kayangan,” beber Uli.

Sebagai seorang perempuan, Uli menyadari bahwa hidup yang dimiliki bukan hanya milik dirinya saja atau sebagaian kelompok saja. Namun hidup diri kita terdapat hak orang lain, yang itu harus dikembalikan.  

“Hidup bukan hanya sebatas aku dan mimpi ku, tetapi aku dan juga mimpi mereka (rakyat), Mimpi kita bersama. Saya percaya bahwa perjuangan adalah cara bagaimana kita mensyukuri hidup serta menghidupi hidup,” pungkasnya. (bettyherlina)

*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Nurhayati, Mengabdi Jadi Kader KB Sejak 1981

Sintia, Blusukan Untuk Tingkatkan Budaya Membaca

Perempuan Pejuang Sampah Plastik di Indonesia

Leave a Comment