Andi anakku, Mama tidak akan lelah berjuang bersama ibu-ibu yang lain, bersama pembela dan pendamping. Bagaimana bisa Mama capek memperjuangkanmu? Itu hampir mustahil. Kamu separuh jiwaku. Kasih ibu sepanjang jalan. Mama sudah bersumpah, selama Tuhan mengijinkan maka perjuangan tidak akan padam. Ketidakadilan harus terus dilawan. Kami selalu berjuang sampai kamu dan teman-teman bebas.
Bincangperempuan.com- Itu adalah sepenggal puisi yang dibacakan oleh Andayani pada aksi Kamisan di Tugu Yogyakarta, Kamis (15/06/2023) lalu. Suaranya tersengal. Berulangkali ia gunakan tisu untuk menghapus air matanya. Ia adalah ibu dari Andi Muhammad Husein Mazhahiri, salah satu pelaku salah tangkap kasus klitih di Gedongkuning.
Klitih sendiri dikonotasikan sebagai tindakan kriminal jalanan. Biasanya, dilakukan sebagai syarat masuk geng bagi anggota baru. Hal tersebut bertujuan untuk mengasah nyali dan komitmen mereka.
Andi dijadikan tersangka bersama empat orang lain, yakni Fernandito Aldrian Saputra, Hanif Aqil Amrulloh, Ryan Nanda Saputra, dan M. Musyaffa Affandi. Mereka dituduh menjadi pelaku yang menewaskan Daffa Adzin Al Basith, putra anggota DPRD Kebumen Ketua Fraksi Nasdem, Madkhan Anis. Menurut hasil visum, kepalanya dihantam benda tumpul dan membuat luka terbuka berukuran 6 cm.
“Anak kami tidak berdaya. Ditangkap dan mengalami penyiksaan. Karena takut mati, dia terpaksa mengaku jadi pelaku,” jelas Andayani ketika ditemui saat aksi selesai.
Saat ini, dirinya bersama empat orang tua lain aktif memperjuangan hak anak mereka dengan mengatasnamakan diri aliansi Orang Tua Bergerak. Mereka membuat petisi, mengikuti berbagai aksi dan diskusi, hingga mencari bukti dan saksi secara mandiri. Mereka juga melapor ke berbagai lembaga, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI di Yogyakarta, Kompolnas, dan KontraS. Andayani sendiri menulis buku berjudul “Memburu Keadilan” yang diterbitkan bersama Social Movement Intitute.
Kronologi dan dugaan rekayasa aparat
Tragedi berawal pada bulan April 2022. Sekitar pukul 20.00, Andi dijemput polisi karena terlibat tawuran. Meski panik, Andayani mengaku ingin kooperatif. Satu hari berselang, ia justru menerima tiga surat sekaligus, yakni surat pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan/penetapan tersangka walaupun ia sendiri masih belum boleh menemui anaknya. Pada hari ketiga, anaknya bersama empat orang lain sudah ditampilkan sebagai pelaku pembunuhan dalam jumpa pers.
“Kami kaget karena anak belum ada pengacara. Meski awam, kami tahulah dikit-dikit. Ini ada kejanggalan,” tuturnya. Andi mulai didampingi pengacara pada hari keempat. Andayani sendiri baru bisa menemui Andi pada hari kesembilan.
Keterangan polisi memang sempat membuatnya percaya jika Andi adalah pelaku. “Ibu engga tahu kan anak ibu gimana?” Andayani menirukan ucapan polisi. Mereka menerangan anaknya ikut mengejar motor korban seperti orang kesetanan.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri menjelaskan kronologi kejadian berdasar hasil penyelidikannya. Hal ini dipaparkan oleh Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi pada siaran pers, Selasa (05/04/2022).
Menurutnya, kejadian berawal dari saling ejek dan pamer suara motor. Kelompok korban terdiri dari 5 kendaraan roda dua yang digunakan 8 orang. Sedangkan kelompok pelaku, terdiri dua motor yang dikemudikan 5 orang. Setelah kejadian itu, kelompok korban menuju warung makan Indomie di daerah Gedongkuning. Saat memesan makanan kelompok pelaku ternyata kembali datang dan memberi umpatan. Karena tidak terima, kelompok korban kembali mengejar para pelaku.
“Pelaku berbalik arah seperti menunggu kedatangan kelompok korban dengan membawa gir yang sudah diikat. Salah satu pembonceng kena dan motornya terjatuh,” ujar Ade.
Tidak berselang lama, Ade menjelaskan jika patroli Sabhara datang dan membawa korban ke rumah sakit untuk mencari pertolongan. Namun, setelah ditangani, korban meninggal dunia.
Andi memang mengaku melakukan tawuran di daerah Bantul. Namun, mereka sama sekali tidak pernah berada di Gedongkuning. “Karena terlanjur viral, polisi mendapat pressure yang selanjutnya mendorong mereka melakukan asal tangkap. Kelima orang dijadikan tersangka agar polisi berhasil mengejar target dari pimpinan pada khususnya dan publik pada umumnya,” tulis Andayani dalam bukunya.
Hari-hari selanjutnya, para orang tua tersangka mulai membangun keyakinan dan melawan. Mereka mencari bukti secara mandiri dan menemukan berbagai kejanggalan. Misalnya, terdakwa berboncengan dengan orang yang berbeda dengan tuduhan polisi. Selain itu, ada perbedaan pakaian yang dipakai oleh Andi dengan pelaku sebenarnya. Pada salah satu CCTV perusahaan yang mereka temukan, terlihat jika pada jam yang sama, anak-anak mereka berada di lokasi yang berjarak 8 km dari TKP.
Polisi memaksa lima anak tersebut mengaku sebagai pelaku dengan berbagai kekerasan fisik. Mulai dari ditindih kuku kakinya dengan kursi, ditodong pistol, disuruh berjoget, lehernya diinjak, sampai dipukul dengan selang air. Berbekal pengakuan mereka yang disiksa itu, polisi melimpahkan berkas ke meja hijau. Ryan divonis 10 tahun penjara karena dianggap sebagai tersangka utama. Sedangkan yang lain, mendapat hukuman selama 6 tahun.
“Berkali-kali di tingkat pengadilan itu kalah. Kali ini kami masih berjuang di tingkat pengadilan berikutnya,” ucap Andayani.
Melindungi keluarga
Dalam bukunya, Andayani mengaku sempat mengalami tekanan psikologis. Ia merasa sensitif saat malam hari oleh suara pagar atau kendaraan lewat karena mengingat saat polisi menjemput Andi. Ketika bercerita, rasa sakit dan takut pun masih terus timbul. Dengan mengulang-ngulang cerita kepada banyak orang, luka yang dirasakan semakin dalam. Hingga tiga bulan pertama, ia menjalani sebagian besar hari di rumah dan menghindari pertemuan dengan banyak orang. Ia mesti menguatkan anak sekaligus menguatkan dirinya sendiri. Pada saat yang sama, harus melakukan pembelaan.
“Tidak bisa membayangkan apa yang mereka pikirkan tentang aku dan keluargaku. Aku mengisolasi diri. Aku merasa insecure ketika bertemu orang banyak. Kami hanya orang awam dan orang kecil namun harus berhadapan dengan aparat penegak hukum,” tulisnya.
Sore itu, Andayani bercerita jika keluarganya juga mendapat berbagai stigma. Beberapa tetangga menyebut tempat tinggal mereka sebagai rumah pelaku pembunuhan hingga anaknya disebut salah pergaulan. Ia memutuskan untuk pindah rumah.
“Adiknya Andi masih kecil-kecil. Takutnya nanti trauma. Saya menghindari lingkungan yang bisa merusak,” katanya.
Meski merasa rapuh, ia selalu mencoba menguatkan diri. Andayani bahkan bercerita jika ia berusaha untuk menahan air mata kala menjenguk Andi. Dalam kondisi ini, justru anaknya itu yang menguatkannya. “Kalau mama capai memperjuangkan aku, ya mama istirahat saja. Aku sudah enggak takut dihukum,” Andayani menirukan ucapan anaknya.
Ia menjelaskan jika pembelaan ini dilakukan bukan serta-merta karena Andi adalah anaknya. Namun, demi kebenaran dan keadilan. Ia yakin Andi dan keempat kawannya tak bersalah.
“Kalau saat ini Andi dan kawan-kawan mengalami rekayasa kasus maka siapa saja termasuk Anda juga bisa mengalami hal yang sama. Jangan diam dan terus lawan!” Itu adalah kalimat penutup pada buku yang ditulisnya.
Runyam dan panjangnya perjuangan litigasi
Dalam kasus semacam ini diperlukan solidaritas masyarakat. Selain itu, perjuangan dalam ranah litigasi atau penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan juga amat penting. Diskusi “Kiprah Perempuan Melawan Ketidakadilan: Anakku Korban Salah Tangkap” membahas perkara ini. Acara tersebut diselenggarakan pada Kamis (22/12/2022) lalu bertepatan dengan Hari Ibu. Rekaman acara tersebut masih bisa dilihat pada Instagram @orangtua.bergerak.
Dian Andriasari dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Yogyakarta menuturkan sikap aparat yang abai pada fakta persidangan. Ia sendiri menjadi salah satu orang yang menyusun memori banding. “Dalil-dalil yang kita mohon dalam memori banding itu tidak satupun yang ditanggapi atau dibantah,” kata Dian.
Salah satu dalil yang ia ajukan adalah pelanggaran asas keseimbangan dalam pemeriksaan karena adanya ketidakberimbangan hakim ketika memeriksa saksi dari jaksa dan penasehat hukum. Hal esensial seperti menguji validitas dan keabsahan CCTV juga tidak dilakukan sehingga penasehat hukum terdakwa mesti menghadirkan saksi ahli secara swadaya.
Gir yang dianggap sebagai senjata untuk melukai kepala korban sejatinya juga ditemukan di rumah teman kelima terdakwa bernama Agus. Di gudang rumahnya memang berisi alat-akat bengkel sehingga ada beberapa gir bekas.
“Kita tidak punya banyak sumber daya seperti negara. Kita hanya kumpulan masyarakat sipil yang digerakan oleh satu kata, kemanusiaan,” tutur Dian.
Sebagai penasehat hukum, dirinya mengaku ada rasa lelah, sedih, marah yang timbul. Namun, semangat para orang tua ini yang justru menjadi suplemen gerakan. Dian menambahkan, untuk memahami kasus ini tidak perlu menjadi seorang ahli yang mengerti kitab hukum. Pertemuan para orang tua dengan anaknya yang dipersulit saja sudah bisa menunjukan ketidakadilan
“Saya menangis saat mendengar putusan hakim PN Jogja. Keadilan prosedur aja tidak terlihat, apalagi keadilan substansif,” keluhnya.
Diskusi tersebut turut dihadiri oleh Asfinawati sebagai Aktivis HAM. Menurutnya, penahanan yang lama di Indonesia memang membuka peluang terjadinya penyiksaan. Ini berbeda dengan negara lain ketika terdakwa harus segera dihadapkan pada hakim. Dengan begitu, polisi tidak bisa menutupi fakta apabila terjadi pemukulan.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017-2021 tersebut menjelaskan jika penyiksaan hanya dilakukan oleh polisi yang tidak mampu melakukan interview dan investigasi. Penyiksaan juga menunjukan jika institusi kepolisian tidak pernah berubah bahkan sejak era orde lama. Baginya, penyiksaan ini kontras dengan kepentingan negara untuk meningkatkan pembangunan masyarakat karena kerap menyebabkan hilangnya penghidupan yang layak, trauma, dan sakit secara fisik.
“Besar kemungkinkan orang yang mendengarkan cerita ini tidak percaya. Mereka ragu kalau anak-anak ini disiksa aparat sampai mereka jadi korban selanjutnya. Keadilan bagi mereka yang terkena kasus ini adalah keadilan bagi kita semua,” pungkas Asfinawati. (Delima Purnamasari)