Bincangperempuan.com- Belakang ini, tren ‘ani-ani’ marak dibahas di media sosial. Ani-ani adalah pelesetan dari istilah ‘sugar baby’ yaitu perempuan muda yang menjadi simpanan pria hidung belang. Jika dilihat lebih jauh, tren ani-ani dikaitkan dengan hubungan dimana perempuan muda mendapatkan dukungan finansial dari laki-laki yang lebih tua dengan imbalan hubungan seperti pertemanan, persahabatan, kekasih, dan lainnya.
Ironinya, tren ini justru menimbulkan kekhawatiran yang dapat mengancam kredibilitas perempuan di mata masyarakat. Tren ini dapat menciptakan eksploitasi atas perempuan muda yang dijadikan objek seksual bagi laki-laki. Lantas, apa yang membuat banyak perempuan muda memilih untuk menjadi sugar baby? Triyono Lukmantoro selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro mengatakan bahwa tren sugar baby dipengaruhi oleh lingkungan dan media sosial yang dilihat oleh masyarakat.
Kepopuleran dari tren ‘ani-ani’ ini telah mempengaruhi banyak perempuan muda untuk melakukan hal yang sama. Hal ini didorong atas keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sedang berkembang di masyarakat. Kebanyakan dari perempuan muda ini tidak mencari tahu tentang kemungkinan dampak terburuk yang akan mereka dapatkan nantinya.
Baca juga: #MeToo, Dukungan untuk Penyintas Kekerasan Seksual
Dampak Menjadi Ani-Ani (Sugar Baby)
Meskipun profesi ani-ani terdengar menggiurkan, ada banyak dampak serius yang akan dihadapi oleh perempuan yang memilih profesi ini. Dampak ini mungkin tidak dirasakan ketika baru memulai menjadi sugar baby karena kebutuhan finansial mereka yang tercukupi. Umumnya, dampak ini akan dirasakan ketika perempuan tersebut telah cukup lama menjadi seorang sugar baby.
Dilansir dari psychology today, perempuan muda yang menjadi ani-ani berisiko ditipu dan dipaksa untuk melakukan hal yang tidak diinginkannya. Tentu saja hal ini akan berdampak pada kesehatan mental perempuan muda tersebut. Jessica Setbbins, terapis pernikahan dan keluarga menemukan bahwa perempuan muda yang menjadi sugar baby cenderung mengalami luka emosional seperti malu, rasa bersalah, cemas, depresi, dan lainnya. Belum lagi persepsi negatif masyarakat terhadap sugar baby yang memaksa mereka untuk siap menghadapi serangan dari berbagai arah.
Jessica berpendapat bahwa permasalah dalam hubungan antara sugar baby dan sugar daddy adalah hubungan yang terjalin sebatas perjanjian uang tanpa adanya perasaan yang berkembang diantara keduanya. Kondisi inilah yang mempengaruhi perilaku dan pandangan atas diri sendiri sehingga menimbulkan konsekuensi negatif lainnya. Selain mempengaruhi emosional, perempuan yang menjadi sugar baby juga berisiko mendapatkan kekerasan seksual dan menjadi korban dari aksi kriminalitas seperti pembunuhan.
Baca juga: Simalakama Biaya Penitipan Anak di Ibukota
Meragukan Kesuksesan Perempuan
Tren ‘ani-ani’ atau sugar baby kini telah merambah ke tuduhan atau kecurigaan terhadap kemampuan perempuan yang mencapai kesuksesannya. Sebagian dari netizen menganggap bahwa kesuksesan yang dicapai oleh perempuan dalam waktu singkat didapatkan dari dukungan pria hidung belang yang menjadi sugar daddy. Tren ini seakan memandang bahwa perempuan tidak dapat mencapai kesuksesan tanpa bantuan dari pria meskipun mereka telah bekerja keras dan berdedikasi untuk membangun kariernya.
Padahal, banyak perempuan sukses yang mengatakan bahwa jerih payah mereka di masa lalu yang membawa mereka di posisi saat ini. Mereka melewati kesulitan dan beragam tantangan untuk mencapai kesuksesannya. Selain itu, mereka terus mencoba untuk menemukan ruang bagi diri sendiri agar bisa mengenal dan melakukan proses yang tepat untuk masa depannya.
Tentu saja, pandangan bahwa perempuan yang sukses dalam waktu singkat hanyalah seorang ani-ani perlu dibantah. Kenapa kesuksesan perempuan harus dicurigai? Toh, ada banyak perempuan yang sukses setelah melalui banyak tantangan.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah kesuksesan yang dicapai seseorang tidak selalu memerlukan waktu yang lama, sebagian dari orang yang sukses berhasil melihat peluang yang ada disekitarnya. Hal yang sama berlaku juga terhadap perempuan. Perempuan yang sukses dalam waktu singkat biasanya memiliki tujuan yang tegas dan strategi yang tepat dalam mencapai puncak kariernya.
Kehadiran tren ‘ani-ani’ atau sugar baby yang viral di media sosial dan dikaitkan dengan kesuksesan perempuan dalam waktu singkat telah mencerminkan tekanan masyarakat yang seolah meremehkan kemampuan dari seorang perempuan. Budaya patriarki yang melekat di masyarakat seakan memandang rendah usaha dan kerja keras perempuan untuk mencapai kesuksesannya.
Secara tidak langsung, tren sugar baby telah melangengkan stereotip gender yang memandang bahwa perempuan tidak dapat mencapai kesuksesannya sendiri. Padahal, mereka jelas melihat jika perempuan telah sukses berkontribusi dalam perubahan dunia termasuk bisnis, pendidikan, ekonomi, dll. Penting untuk menyaring lagi isu yang viral agar tidak melukai hak perempuan.
Masyarakat seharusnya berfokus untuk memberdayakan perempuan, alih-alih terus meragukan kemampuan mereka. Perempuan yang berdaya akan mencapai kesuksesan yang dapat memberikan dampak positif terhadap sekitarnya. Pada akhirnya, kesuksesan perempuan muda tidak dapat terus dikaitkan dengan tuduhan bahwa mereka adalah sugar baby dari pria hidung belang. (***)
Sumber:
- Emma Bennett, 2020. “The Appeal, and the Danger, of Sugar-Daddy Relationships”, dalam Psychology Today
- Azrul Hakimie, 2021. “Isu Sugar Daddy: Kesan psikologi teruk bekas Sugar Baby”, dalam ismaweb