Janice Loreck, The University of Melbourne
Gaze adalah istilah yang menggambarkan bagaimana penonton terlibat dengan media visual. Berasal dari teori dan kritik film pada tahun 1970-an, gaze mengacu pada bagaimana kita melihat representasi visual. Ini termasuk iklan, program televisi, dan bioskop.
Ketika para kritikus film berbicara tentang gaze_, mereka sering kali mengacu pada male gaze. Namun, apa yang dimaksud dengan hal tersebut? Dan apakah ada padanannya untuk perempuan?
Dari mana ide ‘male gaze’ berasal?
Male gaze mengacu pada politik seksual dari tatapan dan menunjukkan cara pandang seksual yang memberdayakan laki-laki dan mengobjektifikasi perempuan. Dalam male gaze, perempuan diposisikan secara visual sebagai “objek” dari hasrat laki-laki heteroseksual. Perasaan, pikiran, dan dorongan seksualnya sendiri tidak terlalu penting dibandingkan dengan dirinya yang “dibingkai” oleh hasrat laki-laki.
Ide kunci dari teori film feminis, konsep male gaze diperkenalkan oleh cendekiawan dan pembuat film Laura Mulvey dalam esainya yang terkenal di tahun 1975, Visual Pleasure and Narrative Cinema.
Dengan menggunakan bahasa psikoanalisis, Mulvey berargumen bahwa film-film Hollywood tradisional merespons dorongan dalam diri yang dikenal sebagai scopophilia: kenikmatan seksual yang terlibat dalam melihat. Mulvey berpendapat bahwa sebagian besar film populer difilmkan dengan cara yang memuaskan scopophilia yang maskulin.
Meskipun terkadang digambarkan sebagai male gaze, konsep Mulvey lebih tepat digambarkan sebagai tatapan yanga mewakili kelompok heteroseksual dan maskulin.
Media visual yang merespons sudut pandang maskulin cenderung men-seksualisasi perempuan untuk pemirsa laki-laki. Seperti yang ditulis Mulvey, perempuan dicirikan oleh “untuk dilihat” dalam sinema. Wanita adalah “tontonan”, dan pria adalah “yang melihat”.
Film The Postman Always Rings Twice (1946) menawarkan contoh terkenal dari male gaze. Dalam adegan di bawah ini, penonton diperkenalkan kepada Cora Smith, karakter utama wanita dalam film tersebut. Dengan menggunakan close-up, kamera memaksa penonton untuk menatap tubuh Cora. Hal ini menciptakan cara pandang yang seksual dan berkaitan dengan sudut pandang protagonis pria. https://www.youtube.com/embed/WGFer3-Aguw?wmode=transparent&start=0 The Postman Always Rings Twice (1946).
Film ini juga menetapkan beberapa poin plot yang penting: bahwa sang pahlawan menginginkan Cora, dan bahwa Cora mengenali nafsunya. Tapi pesan terkuatnya adalah bahwa Cora itu seksi. Memang, penonton mengetahui bahwa Cora seksi bahkan sebelum mereka mengetahui namanya.
Bahkan jika penonton tidak tertarik pada wanita dalam “kehidupan nyata”, adegan itu masih masuk akal. Seumur hidup melihat wanita diseksualisasi di televisi, video musik dan iklan telah membuat kita sangat nyaman dengan mengasumsikan male gaze.
Menemukan male gaze
The male gaze takes many forms, but can be identified by situations where female characters are controlled by, and mostly exist in terms of what they represent to, the hero. As Budd Boetticher, who directed classic Westerns during the 1950s, put it:
Male gaze memiliki banyak bentuk, tetapi dapat diidentifikasi melalui situasi di mana karakter perempuan dikendalikan oleh sesuatu dan sebagian besar ada dalam hal apa yang mereka wakili, sang tokoh utama pria. Seperti yang dikatakan oleh Budd Boetticher yang menyutradarai film-film Barat klasik pada tahun 1950-an:
Yang penting adalah apa yang diprovokasi oleh sang tokoh perempuan, atau lebih tepatnya apa yang dia wakili. Dialah, atau lebih tepatnya cinta atau ketakutan yang ia rasakan terhadap tokoh pria, atau kepedulian yang ia rasakan padanya, yang membuatnya bertindak seperti yang ia lakukan. Dalam dirinya sendiri, perempuan itu tidak memiliki kepentingan sedikit pun.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai cara kamera yang berulang kali memposisikan kita untuk melihat tubuh perempuan. Pikirkan tentang Rear Window (1954), untuk pembingkaian harfiah tubuh perempuan, atau She’s All That (1999), yang berkutat pada perubahan penampilan. Sebagai contoh modern, seri film Transformers (2006-2014) menampilkan perempuan sebagai objek seksual yang diinginkan.
Para pembuat film sering kali berusaha untuk menghindari menampilkan karakter perempuan sebagai objek seksual “belaka” dengan memberikan mereka kisah-kisah yang kompleks, motivasi yang kuat, dan peran aktif dalam plot cerita mereka. Namun, tatapan maskulin masih menjadi hal yang biasa. Catwoman dalam The Dark Knight Rises(2012) memiliki motivasi pribadi yang signifikan, namun dia masih jelas ada untuk dilihat. https://www.youtube.com/embed/aAzXwlmQ0b4?wmode=transparent&start=0 Catwoman in The Dark Knight Rises (2012).
Cara pandang yang berbeda
Meskipun ditulis 40 tahun yang lalu, esai Mulvey masih memancing reaksi yang kuat. Salah satu tanggapan yang umum adalah bahwa baik perempuan maupun pria diobjektifikasi dalam film.
Lagipula, bukankah Johnny Farrell (Glenn Ford) sama seksinya dengan Gilda Mundson (Rita Hayworth) dalam film Gilda (1946)?
Bukankah Fitzwilliam Darcy secantik Elizabeth Bennet dalam serial televisi BBC Pride and Prejudice (1995)? Tentunya hal ini mengindikasikan adanya female gaze (yang bersifat heteroseksual).
Argumen tersebut tidak mempertimbangkan bagaimana perempuan ditampilkan sebagai objek seksual.
The Hawkeye Initiative adalah sebuah proyek yang menarik perhatian pada perbedaan cara pahlawan super laki-laki dan perempuan ditampilkan dalam komik dan film. Ambil ilustrasi ini sebagai contoh, yang memposisikan para pahlawan pria di The Avengers dalam posisi hiper-seksual yang sama dengan protagonis perempuan satu-satunya dalam film, Black Widow.
Ilustrasi ini menunjukkan dengan baik tentang standar ganda. Namun, humornya berasal dari fakta bahwa tidak lazim melihat pria diseksualisasi dengan cara yang sama seperti perempuan.
Argumen lainnya adalah bahwa bioskop tidak mengundang perempuan untuk menginginkan tubuh pria. Sebaliknya, penonton perempuan diposisikan untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh utama yang diinginkan oleh laki-laki. Menurut logika ini, bukan Fitzwilliam Darcy kaos dalam basah yang mengobarkan semangat penonton perempuan dalam Pride and Prejudice. Sebaliknya, kerinduan Darcy pada Elizabeth-lah yang benar-benar menarik.
Apakah female gaze benar-benar ada?
Banyak film yang merepresentasikan hasrat wanita melakukannya dengan cara yang tidak berhubungan dengan gaze. Film The Piano (1993) karya Jane Campion mengekspresikan sifat penuh gairah dari tokoh utama wanita melalui musik yang terkenal dari film tersebut.
Film The Virgin Suicides (1999) karya Sofia Coppola menyampaikan pengalaman perempuan melalui estetika suara dan visual, menggambarkan kehidupan batin tokoh utama remaja. Adegan ini menggunakan warna-warna hangat (kuning, salmon), simbol feminin (bunga, unicorn), dan musik untuk mengekspresikan masa remaja perempuan. https://www.youtube.com/embed/YRPXQ3XcpKc?wmode=transparent&start=0 The Virgin Suicides (1999).
Coppola menggunakan strategi serupa dalam Marie Antoinette (2006), menggunakan desain set yang penuh bunga untuk mengkomunikasikan kehidupan wanita yang sesak di Versailles.
Argumen bahwa hasrat perempuan baik diekspresikan melalui sensasi daripada tatapan mata mungkin membangkitkan klise bahwa hasrat pria bersifat “visual” sedangkan wanita bersifat “sensorik”. Tetapi kehidupan batin pria selalu disampaikan melalui suara dan sensasi. Film-film aksi seperti Rambo (2008) atau Casino Royale (2006), misalnya, membombardir indera kita dengan kesedihan dan agresi pria.
Jadi, apakah female gaze ada? Tentu saja, pria-pria tampan berlimpah di sinema. Tapi saya berpendapat bahwa tidak ada padanan langsung dari male gaze yang setara dengan female gaze. Male gaze menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Ini mendukung status quo patriarki, melanggengkan objektifikasi seksual perempuan dalam kehidupan nyata.
Karena alasan ini, female gaze tidak bisa dikatakan mirip dengan male gaze.
Sebaliknya, film yang memusatkan pengalaman perempuan adalah film yang sangat subversif. Sebut saja Fish Tank, sebuah kisah coming-of-age tentang kerentanan seorang gadis yang kurang beruntung, atau In the Cut (2003), sebuah kisah tentang penemuan seksual seorang perempuan.
Film-film tentang seksualitas perempuan sering kali menghadapi cara-cara penyensoran yang membuktikan perlawanan mereka. Sebagai contoh, para pembuat film The Cooler (2003), Boys Don’t Cry (1999) dan Blue Valentine (2010) mengklaim bahwa film mereka diberi rating R atau NC-17 karena menggambarkan adegan merangsang alat kelamin perempuan dengan lidah. Adegan-adegan seperti itu berfokus pada kesenangan perempuan dan merusak bagaimana perempuan harus dilihat . Namun, badan sensor seperti Motion Picture Association of America, tampaknya memperlakukan adegan seks tersebut sebagai “lebih grafis” daripada bentuk seks lainnya.
Film-film seperti The Piano, In The Cut atau Marie Antoinette menunjukkan bahwa sinema dapat menggunakan musik, adegan erotis dan estetika visual untuk mengekspresikan sudut pandang feminin. Dengan demikian, film-film tersebut melawan pandangan tersebut, menggambarkan perempuan sebagai subjek dan bukannya objek yang dilihat. Meskipun tidak meniru male gaze secara persis, film-film tersebut menantang dominasi pandangan dunia maskulin yang bertahan lama dalam film dan media.
Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Janice Loreck, Lecturer in Screen and Cultural Studies, The University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.