Bincangperempuan.com- September hitam. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang berunjung dengan femisida mengawali September lalu. Diawali tragedi pemerkosaan serta pembunuhan siswi SMP di Palembang, hingga kematian tragis gadis penjual gorengan bernama Nia. Serta kasus pembunuhan Anyk Mariyanni yang jasadnya ditemukan di hutan dan bahkan masih nihil motif maupun pelakunya
Kurun lima tahun terakhir Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus femisida yang masih di atas angka 100. Di 2019, ada 145 kasus femisida, kemudian di 2020 jumlah kasus menunjukkan penurunan menjadi sebanyak 95 kasus. Kemudian naik kembali hingga 237 kasus pada 2021 dan 2022 menjadi gong paling nyaring dengan tercatatnya 307 kasus. Kendati di 2023 ada penurunan kasus menjadi 159 kasus, namun realita ini tidak serta merta memberi rasa aman bagi perempuan. Diluar data resmi tersebut diyakini masih ada lebih banyak korban lain yang tak tercatat.
Mayoritas pelaku femisida di merupakan laki-laki. Kasus di Indonesia rata-rata masuk pada kategori femisida intim, dimana pelaku adalah orang terdekat korban seperti suami dan pasangan.Menilik fenomena tragis ini, memunculkan pertanyaan apa yang secara spesifik menjadikan perempuan sebagai sasaran pembunuhan?
Baca juga: Stop Pelecehan Di Ruang Private dan Publik
Istilah femisida pertama kali diperkenalkan pada 1976 oleh Diana Russell, seorang peneliti feminis Amerika Serikat. Femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, dan merupakan imbas dari eksalasi kekerasan berbasis gender yang bersifat turun temurun.
Mengutip siaran pers Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengatakan umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan, maskulinitas, menolak bertanggung jawab, kekerasan seksual, menolak perceraian, atau pemutusan hubungan.
“Motif-motif ini merefleksikkan dominasi laki-laki yang merasa berhak atas “kepemilikan” perempuan,” katanya.
Otoritas dampak patriarki
Budaya patriarki memberi otoritas yang lebih tinggi pada laki-laki, menyisihkan perempuan di kelas kedua. Hierarki ini membentuk perempuan sedemikian rupa sebagai sosok yang dibatasi oleh norma-norma sosial mengikat.
Hasilnya? Ketika mengalami kekerasan, pandangan normatif cenderung menyalahartikan perilaku perempuan sebagai ‘ketidakpatuhan’ terhadap aturan yang berlaku pada budaya patriarkis. Buktinya dengan mudah kita temukan ungkapan-ungkapan yang menekan wanita agar menjaga pakaian dan senantiasa tunduk pada struktur yang lebih berkuasa katakanlah pasangan, keluarga, maupun budaya masyarakat.
Sylvia Walby, sosiolog Inggris, menjabarkan bagaimana femisida muncul sebagai mekanisme untuk mempertahankan dominasi laki-laki yang terancam ketika perempuan berusaha melawan kontrol tersebut. Kekerasan pun dijadikan sebagai sarana bagi para pelaku untuk menunjukkan dan memulihkan otoritas mereka.
Normalisasi stigma negatif menjatuhkan kesalahan berganda pada perempuan, memberi kesan bahwa merekalah yang memicu tindak kejahatan pelaku. Seakan-akan mereka yang ‘meminta’ untuk menjadi korban tanpa meninjau bahwa ego pelakulah yang sejatinya merupakan permasalahan utama. Pada beberapa konteks, femisida bahkan menjadi bagian dari honour killing, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dijustifikasi karena adanya anggapan korban merusak reputasi keluarga dan melanggar norma pada budaya patriarki.
Baca juga: Sistem Matrilineal: Pewarisan Budaya yang Unik
Patriarki yang merasuki sendi-sendi masyarakat akhirnya menempatkan perempuan pada posisi rentan untuk dipersekusi. Budaya ini melanggengkan objektifikasi yang bisa berlanjut pada diskriminasi, pelecehan, kekerasan seperti KDRT dan pemerkosaan, hingga, pada tahap yang paling ekstrem, adalah pembunuhan atau femisida itu. Apabila divisualisasikan, ranah kekerasan berbasis gender ini dapat disusun membentuk piramida, dengan femisida berada di puncaknya.
Tak lain dan tak bukan, femisida timbul karena adanya ‘toleransi’ terhadap kekerasan pada tahap-tahap sebelumnya, termasuk di antaranya tindakan merendahkan prempuan yang mirisnya masih sering dianggap “lumrah”. Bukankah sebuah ironi ketika masyarakat akrab dengan catcalling dan ujaran seksis tanpa menyadari bahwa ini adalah fondasi mendasar dari piramida kekerasan?
Penjelmaan budaya patriaki sebagai rantai yang mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan akan terus menuai titik-titik hitam. Fakta ini tidak bisa dienyahkan, bahwasanya femisida merupakan masalah struktural. Dibutuhkan rekonstruksi untuk mendobrak nilai-nilai bias yang selama ini menjadi kacamata masyarakat dalam memandang realita.
Akan tetapi, persekusi gender selama berabad-abad membuat perempuan harus mengerahkan upaya lebih keras untuk bisa bangkit. Dengan begitu, ini berarti penegakan kesetaraan tidak mampu dilakukan oleh hanya satu kaum saja. Bukan saja perempuan yang harus bersuara, kita perlu melihat semua pihak marah dan mengecam apa pun jenis tindak pelecehan dan kekerasan berlandaskan misogini. Ini adalah tamparan bagi budaya yang terus melegalkan praktik penindasan berbasis gender, bagi media yang acap kali masih memperkuat objektifikasi perempuan, pun bagi pemerintah yang belum sepenuhnya menciptakan ruang aman bebas kekerasan. Nyawa-nyawa perempuan yang direnggut oleh ketidakadilan hanya akan semakin memenuhi catatan kelam ketika para penghuni struktur kekuasaan tak juga memiliki kesadaran untuk memulai perubahan.
Femisida bukan lagi istilah baru. Tidak cukup untuk sekadar menyematkan label ‘kasus kriminal’ bagi pembunuhan berbasis gender yang secara jelas menodongkan mata pisaunya pada perempuan. Advokasi untuk melantangkan istilah femisida adalah bentuk perlawanan guna menghimpun satu tuntutan: bahwa perlindungan bagi perempuan tidak akan terwujud tanpa menumpas akar budaya patriarki itu sendiri.
Sumber:
- Siaran pers Komnas Perempuan, 2024
- Walby, Sylvia. dalam “Violence and Society: Towards a New Sociology.” Sage Publications. (2014)
- Siaran pers Komnas Perempuan Femisida: Tuntutan Pembaruan Hukum dan Kebijakan Menyikapi Ancaman
- Walker, A., et al.. Preventing sexual harassment through a prosocial bystander campaign: It’s #SafeToSay. Journal of Community Safety and Well-Being. (2023)