Bincangperempuan.com- Tahun ini Mei (bukan nama sebenarnya) genap berusia 23 tahun. Sebagai bagian dari Generasi Z (Gen Z) yang lahir di awal 2000-an, Mei mulai memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikan tinggi selama empat tahun di salah satu universitas ternama. Setelah lulus, Mei bekerja sebagai karyawan kontrak di sebuah perusahaan media di Jakarta.
Memulai langkah pertamanya di dunia kerja, Mei menghadapi berbagai tantangan baru. Ia dituntut untuk memiliki kemampuan yang mumpuni, harus menyesuaikan gaya kerjanya dengan budaya kantor, dan berusaha mengimbangi rekan kerjanya. Selain itu, ia pun menghadapi stigma negatif terhadap Gen Z.
“Terutama di pekerjaan, kita bisa lihat di diskursus Twitter (sekarang X), atasan atau rekan kerja menganggap kita (Gen Z) terlalu banyak drama, terlalu banyak menuntut, atau performanya kurang dibanding generasi sebelumnya,” jabar Mei.
Tak hanya Mei, Dian, seorang Gen Z sepantaran Mei, pun mengalami tantangan serupa. Terkadang ia mendengar stigma yang melekat pada generasinya, seperti dianggap pemalas atau tidak tahan banting.
Dian dengan tegas menolak anggapan tersebut. Menurutnya, banyak Gen Z, termasuk dirinya, memiliki kegigihan dan kekuatan, seperti dirinya yang saat ini bekerja di tiga perusahaan sekaligus.
“Jadi kalau ada yang bilang Gen Z tuh malas dan lembek, coba lihat aku. Aku Gen Z tapi kerja di tiga perusahaan,” tegasnya.
Baginya, bekerja di tiga perusahaan sekaligus bukanlah bentuk kemalasan atau kelemahan. Sebagai perantau yang harus bekerja keras demi bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan Jakarta, ia melakukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Gen Z, seperti Mei dan Dian, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, kini menjadi sorotan. Pasalnya, mayoritas penduduk Indonesia didominasi Gen Z. Berdasarkan sensus penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Gen Z mencakup 27,94 persen dari total populasi Indonesia, menjadikannya sebagai kelompok demografis terbesar di negara ini.
Namun, di balik dominasi jumlahnya, Gen Z sering menghadapi berbagai tantangan dan tekanan dari generasi sebelumnya. Mereka kerap dilabeli dengan beragam stigma negatif, seperti halnya Mei dan Dian, dianggap pemalas, tidak tahan banting, hingga dijuluki “generasi stroberi”.
Mengutip ycabfoundation.org, istilah “generasi stroberi” pertama kali muncul di Taiwan pada 1980-an untuk menggambarkan generasi yang dianggap “lunak” seperti stroberi: terlihat menarik dari luar, tetapi mudah hancur di bawah tekanan. Awalnya, label ini diberikan kepada Generasi Milenial. Namun, seiring waktu, istilah tersebut mulai digunakan untuk menggambarkan Gen Z.
Gen Z sering disebut “generasi stroberi” karena mereka dianggap sebagai generasi yang tampak segar dan menarik di luar, tetapi mudah terluka atau rapuh di dalam—mirip dengan stroberi yang tampak indah namun mudah hancur saat ditekan. Sebutan ini seringkali muncul dalam konteks kritikan bahwa Gen Z kurang tangguh atau tidak memiliki ketahanan mental dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca juga: Gen Z, Generasi Stroberi atau Pahlawan Serba Bisa?
Gen Z Hadapi Stigma Generasi Stroberi di Dunia Kerja
Ya, Gen Z, lu kerja drama banget
Sedikit-sedikit healing, sedikit-sedikit ke psikiater
Dasar generasi stroberi!
Kalimatt-kalimat tersebut sering terdengar dalam percakapan keseharian Mei. Sebagai bagian dari Gen Z, Mei menyadari bahwa stigma terhadap generasinya seolah tidak pernah surut.
“Kalau tentang Gen Z, aku sering banget dengar stigma-stigma ini,” ujar Mei saat diwawancara, ia sendiri pernah mengalaminya saat bekerja. “Paling aku dibilangnya pemalas atau drama. Yah, berhubungan dengan stereotip Gen Z, lah. Walau hanya bercanda, tetapi kena juga,” katanya.
Selain soal etos kerja, isu kesehatan mental juga sering menjadi bahan cibiran yang menyudutkan Gen Z di dunia pekerjaan. Mei pernah menemui komentar miring seperti “dikit-dikit ke psikiater”, yang dilontarkan dengan nada meremehkan. Cibiran ini muncul dikarenakan Gen Z menempati angka penderita gangguan kesehatan mental tertinggi, membuat mereka terlihat lemah secara mental.
Melansir DataIndonesia.id, sebuah survei dari McKinsey Health Institute terhadap 41.960 orang di 26 negara, menemukan bahwa Gen Z paling banyak merasa kondisi kesehatan mental mereka buruk. Sebanyak 18 persen Gen Z melaporkan hal ini, diikuti oleh Generasi Milenial dengan persentase 13 persen, Generasi X sebanyak 11 persen, dan Boomer sebesar enam persen.
Namun, Mei tidak setuju bahwa besarnya angka gangguan kesehatan mental terhadap Gen Z disebabkan karena Gen Z lemah. “Angka penderita gangguan jiwa memang tinggi di generasi kita, tapi bukan karena kita lemah atau generasi stroberi seperti yang sering dibilang,” jelasnya.
Menurut Mei, tingginya angka gangguan kesehatan mental pada Gen Z dilatarbelakangi oleh keterbukaan mereka terhadap isu kesehatan mental. Sehingga mereka tidak ragu untuk melaporkan kondisi kesehatan mentalnya ketika dirasa sudah mengganggu keseharian. Hal itulah yang menyebabkan laporan gangguan kesehatan mental pada Gen Z cukup tinggi.
“Kita (Gen Z) udah bisa mengidentifikasi diri kita sendiri. Misalnya, pas kita merasa tertekan di organisasi atau pekerjaan, kita bisa bertanya ke diri sendiri, ‘Apa gue udah di tahap depresi ya?’. Dari sana, karena kita sadar nggak mau terus-terusan tertekan, akhirnya kita datang ke psikolog atau psikiater,” jelas Mei.
Selain “dikit-dikit ke psikiater”, stigma “dikit-dikit healing” yang sering dikaitkan dengan Gen Z juga kerap ditemukan. “Healing” merujuk pada proses pemulihan, baik fisik maupun mental, dari tekanan atau beban kehidupan. Dalam konteks kekinian, istilah ini bermakna menyembuhkan gejala psikologis. Namun, penggunaan istilah ini kerap dipandang negatif oleh generasi lain.
Fenomena ini dijumpai oleh Dian. Berdasarkan pengamatannya, terkadang orang-orang menyalahartikan “healing” sebagai alasan untuk bermalas-malasan atau sekedar pergi liburan. Padahal, menurutnya “healing” merupakan solusi bagi seseorang untuk memulihkan energi dan pikiran, agar dapat kembali produktif dan fokus dalam pekerjaan.
“Makanya, solusinya adalah dengan take a break (rehat). Tapi bukan berarti kita (Gen Z) mudah menyerah dan lembek. Itu berarti kita sebenarnya tahu kapasitas kita, bahwa kita tahu kapan kita harus mengambil jeda. Jadi ada keseimbangannya,” jelas Dian.
Dian menekankan pentingnya “work-life balance” di dalam bekerja, sebagai bentuk keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ia berpendapat, “healing” atau mengambil jeda sejenak dari pekerjaan diperlukan untuk mengatasi tekanan dan menjaga kesehatan mental.
Tantangan lain yang dihadapi perempuan Gen Z, seperti Mei dan Dian, di dunia kerja adalah mereka lebih rentan mengalami stigma terhadap kesehatan mental. Mengutip Klikdokter.com, perempuan lebih rentan mengalami stigma terhadap kesehatan mental dikarenakan adanya pandangan bahwa perempuan cenderung emosional (perasa) daripada laki-laki, sehingga kemampuan mereka untuk mengatasi masalah secara rasional dipertanyakan.
Tak hanya itu, sebuah artikel dari The Conversation mengungkapkan, perempuan juga lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental dibanding laki-laki. Pemicunya adalah beban ganda yang harus mereka pikul, baik di keluarga maupun di tempat kerja. Hal ini menegaskan bahwa terdapat dimensi gender yang memperparah tekanan mental perempuan Gen Z di dunia kerja.
Baca juga: Cerita Gen Z: Dunia Tak Baik-Baik Saja, tapi Kita Punya Kesadaran Berbuat Sesuatu
Pandangan Ahli, Mengapa Gen Z Mendapatkan Stigma Generasi Stroberi?
Seorang psikolog klinis dewasa, Josephine Indah Setyawati atau Vivin, turut memperhatikan stigmatisasi terhadap Gen Z. Selama berpraktik, Vivin melihat banyak stigma yang dilekatkan kepada Gen Z di dunia kerja.
“Banyak banget aku sering mendengar, seperti ‘tuh, anak yang baru masuk tuh, dikit-dikit kutu loncat (pindah-pindah pekerjaan dalam waktu singkat)’,” tutur Vivin. Selain “kutu loncat”, Vivin pun kerap menemui stigma seperti yang dialami oleh Mei dan Dian, yakni kebiasaan “healing” Gen Z.
Stigma seperti “kutu loncat” atau “healing” yang sering dilekatkan pada Gen Z tidak lepas dari anggapan bahwa generasi ini kurang tahan banting dan tidak loyal dalam dunia kerja. Orang-orang seringkali menilai bahwa berpindah-pindah pekerjaan dalam waktu singkat adalah tanda kurangnya komitmen dan ketidakmampuan untuk bertahan dalam menghadapi tekanan kerja.
Menurut Vivin, stigma tersebut muncul akibat perbedaan nilai dalam bekerja, yang berbeda antara Gen Z dan generasi sebelumnya. Gen Z cenderung tidak hanya memandang pekerjaan sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan, tetapi juga menempatkan kenyamanan lingkungan dan budaya kerja sebagai prioritas.
Sementara itu, generasi sebelumnya lebih fokus pada tujuan utama bekerja, yaitu memenuhi kebutuhan hidup, sehingga aspek-aspek seperti lingkungan kerja atau kecocokan pekerjaan cenderung tidak menjadi perhatian utama. Perbedaan nilai ini, menurut Vivin, muncul karena perubahan fokus dan kondisi yang dialami oleh masing-masing generasi.
Saat ini, dengan masifnya penggunaan media sosial, Gen Z memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi pekerjaan, termasuk berbagai pilihan dan peluang kerja. Sehingga, fokus mereka dalam bekerja tidak lagi terbatas pada aspek finansial saja.
“Karena mereka (Gen Z) bekerja gak melulu soal uang. Banyak yang diperhatikan, misalnya lingkungan, apakah pekerjaannya cocok sama mereka? Teman-temannya gimana? Budayanya gimana?” jelas Vivin, menjabarkan pertimbangan-pertimbangan Gen Z dalam bekerja.
Selain perbedaan dalam nilai bekerja, stigma terhadap Gen Z sebagai “generasi stroberi” juga muncul karena kesadaran mereka yang lebih tinggi terhadap isu kesehatan mental. Generasi sebelumnya, menurut Vivin, kerap memandang pembicaraan mengenai kesehatan mental sebagai hal yang tabu, sehingga cenderung menghindari pembahasan ini. Pandangan tersebut membuat Gen Z dianggap rapuh hanya karena mereka terbuka dalam mengenali dan mengakui kesehatan mentalnya.
Namun, Vivin menegaskan bahwa pandangan ini keliru. Kesadaran Gen Z terhadap kesehatan mental justru mencerminkan keberanian mereka untuk mengakui masalah yang dihadapi dan mencari solusi yang tepat. Berbeda dengan generasi sebelumnya, yang enggan membahas isu kesehatan mental, Gen Z percaya bahwa keterbukaan adalah langkah penting untuk mendukung kesejahteraan diri.
Mendukung argumen Vivin, dilansir dari artikel Good Stats, Gen Z memang memiliki kesadaran terhadap isu kesejahteraan mental yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Hal ini berdasarkan hasil survei IDN Research Institute, yang menemukan adanya pergeseran pandangan terhadap kesehatan mental di Generasi Z.
Sebanyak 63 persen Gen Z menganggap kesejahteraan mental setara pentingnya dengan kesehatan fisik. Hal ini menegaskan bahwa Gen Z semakin melihat kesejahteraan mental sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan.
Kesadaran ini mencerminkan pergeseran pandangan yang signifikan antar generasi. Apa yang dianggap sebagai kelemahan oleh generasi sebelumnya sebenarnya adalah bentuk keberanian dan kesadaran Gen Z untuk merawat kesejahteraan mereka secara menyeluruh. Inilah yang menjadikan mereka generasi yang tidak hanya peduli pada kesuksesan, tetapi juga pada kebahagiaan dan kesehatan dalam menjalani kehidupan.
Generasi Z dan Kesadaran Kesehatan Mental: Menepis Mitos Stroberi
Sebagai bagian dari generasi yang sering dijuluki generasi stroberi, menurut Dian kesadaran akan kondisi kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kesadaran diri.
“Dari sudut pandang Gen Z, bicara soal kesehatan mental bukan lemah atau manja. Tapi kita sadar ada masalah nyata yang harus dihadapi dan bukan disembunyikan. Tubuh sakit ke dokter, kalau pikiran sakit masa kita nggak boleh bercerita (ke psikiater)? Ya, boleh dong!” katanya dengan tegas.
Dian menambahkan bahwa dunia saat ini penuh dengan tekanan, mulai dari ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, hingga dampak media sosial, yang semuanya mempengaruhi kesehatan mental generasi muda.
“Mengabaikan kesehatan mental yang terdampak itu cuma hanya memperparah masalah,” tambahnya.
Senada dengan Dian, Vivin pun sepakat kesadaran menjaga kesehatan mental merupakan bentuk kesadaran diri, serta keberanian.
“Mencari pertolongan itu butuh keberanian. Terbuka terhadap kondisi juga merupakan keberanian. Jadi, itu bukan tanda kelemahan, melainkan keinginannya untuk menjadi lebih kuat,” katanya.
Sebagai seorang psikolog, Vivin melihat stigma generasi stroberi menjadi hal yang merugikan, baik untuk Gen Z, atau pun psikolognya. Stigma tersebut membuat Gen Z menjadi takut terbuka akan kondisi kesehatan mentalnya, yang menghambat proses pemulihan.
Dian mengatakan stigma terhadap Gen Z yang dilabeli sebagai ‘generasi stroberi’ harus perlahan dihilangkan, agar ketakutan Gen Z untuk mencari bantuan profesional bisa berkurang, tanpa harus merasa dihakimi atau dijatuhi label negatif.
“Kalau seandainya ada yang bilang kita stroberi, ya mungkin mereka kurang paham, mereka lupa kalau stroberi itu memang lembut, tapi, mereka itu tumbuh dari lingkungan yang keras,” pungkasnya.