Bincangperempuan.com- “Kami berharap ada anggaran dari KemenPPA dan Pemda yang dialokasikan berkesinambungan untuk pendampingan kasus, serta dapat diakses oleh lembaga layanan,” kata Direktur Cahaya Perempuan (CP) Women Crisis Center (WCC), Tini Rahayu, disela-sela sambutannya usai memaparkan kiprah 23 tahun CP WCC Bengkulu, Jumat (09/11).
Ia juga menekankan agar Pemerintah segera menyediakan rumah aman untuk korban yang difasilitasi secara utuh. Termasuk pembagian peran dan fungsi yang jelas antar lembaga layanan.
“Selama ini kerja-kerja lembaga disupport oleh donor, jumlahnya terbatas, sementara kami tidak mungkin mengabaikan laporan yang sudah masuk ke lembaga layanan. Sangat diharapkan ke depan ada sinergitas lembaga layanan dengan pemerintah secara maksimal,”
Sejak berdiri tahun 1999 hingga saat ini, CP WCC sudah menangani 2.264 kasus kekerasan korban perempuan dan anak. Sementara sepanjang Januari hingga November 2022 ada 62 korban kekerasan yang mendapatkan layanan langsung dari WCC, 31 kasus diantaranya kekerasan seksual.
Masih tingginya akumulasi kasus tersebut, lanjut Tini, selain relasi kuasa, pelaku kadang memanfaatkan kepercayaan masyarakat, bahwa orang yang dikenal itu tidak mungkin menjadi pelaku. Akibatnya kontrol sosial dari lingkungan, keluarga dan masyarakat berkurang. Termasuk ketidaksiapan menghadapi kemajuan teknologi.
“Pelaku menganggap korban adalah hak milikinya, korban dalam posisi lemah. Selain itu korban dijanjikan akan diberi uang, jajan dan makanan, hingga dijanjikan akan dinikahi. Termasuk pelaku juga membatasi ruang gerak korban di luar rumah,” katanya.
Kekerasan seksual, lanjut Tini, memberikan dampak yang cukup berat bagi korban, tidak hanya dampak psikologis, sosial dan ekonomi, tetapi juga berdampak pada keluarga korban. Tidak sedikit ditemukan CP WCC korban harus kehilangan hak pendidikannya, pekerjaan dan dikucilkan dari lingkungan sosialnya.
Tini mengatakan, memaksimalkan edukasi dan sosialiasi di akar rumput, menjadi salah satu upaya pencegahan agar angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terus meningkat. Cahaya Perempuan WCC membentuk beberapa kelompok belajar, termasuk di sekolah.
“Saat ini ada 3 sekolah yang menjadi fokus edukasi dan sosialisasi kami, selain 17 kelompok perempuan muda dan 17 kelompok perempuan dewasa,” lanjutnya.
Di usia ke- 23 tahun, kata Tini, CP WCC Bengkulu tetap konsisten memberikan layanan untuk perempuan korban, sehingga tercipta ruang aman dan mencegah terjadinya kasus serupa. Peringatan tahun ini, sekaligus peringatan 16 Hari anti kekerasan terhadap Perempuan, CP WCC menggandeng Forum Aktivis Perempuan Muda (FAPM) Indonesia) dan Forum Penyedia Layanan (FPL).
“Kami melaksanakan kegiatan diseminasi informasi tentang UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di 2 sekolah serta aksi kolektif Forum Perempuan Muda (FPM) dan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) tingkat propinsi bengkulu, kemudian ditutup dengan kegiatan pelatihan pendidik sebaya dan konselor sebaya,” papar Tini.
Bagaimana implementasi UU TPKS?
Menyinggung implementasi UU TPKS di masyarakat dan APH, Tini mengatakan semenjak disahkan sosialisasi UU tersebut belum terdengar secara masif. Sementara jumlah kasus kekerasan seksual yang masuk ke CP WCC terus meningkat.
“Kehadiran UU TPKS diharapkan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor, apalagi jika sosialisasi UU ini dilakukan secara masif di semua lini,” katanya.
Ada 5 poin penting dari hadirnya UU TPKS. Pertama adanya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual, sehingga pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu.
Kedua, adanya dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual, sehingga ada dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual. Ketiga, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.
Keempat, adanya ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban, agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku. Kelima, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.
“Berharap UU ini dapat menjadi landasan hukum dan kerja dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual. Baik untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, membangun lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak terulang kekerasan seksual,” pungkasnya. (**)