Home » News » Childfree Bukan Hanya Urusan Perempuan, Tapi Kesepakatan Pasangan

Childfree Bukan Hanya Urusan Perempuan, Tapi Kesepakatan Pasangan

Ais Fahira

News

Childfree Bukan Hanya Urusan Perempuan, Tapi Kesepakatan Pasangan

Bincangperempuan.com– Pilihan untuk tidak memiliki anak, atau yang dikenal dengan istilah childfree, semakin sering menjadi topik perbincangan di masyarakat Indonesia. Salah satu figur publik yang mengangkat isu ini adalah Gita Savitri Devi, seorang influencer yang secara terbuka menyatakan keputusannya untuk hidup tanpa anak bersama suaminya, Paul. 

Meskipun keputusan tersebut diambil bersama pasangan, Gita menerima banyak hujatan dan kritik dari publik. Fenomena ini menyoroti kecenderungan masyarakat untuk mempersoalkan keputusan childfree yang diambil perempuan, sementara peran pasangan laki-laki sering diabaikan. Mengapa masyarakat lebih menitikberatkan keputusan childfree kepada perempuan, dan mengapa keputusan ini sering dipandang buruk?

Baca juga: Thirst Trap Ekspresi Diri, Bukan Undangan untuk Melecehkan!

Mengapa Childfree Dipandang Buruk?

Keputusan untuk childfree memang kerap menuai kritik di masyarakat. Karena dinilai melawan norma tradisional yang menganggap memiliki anak sebagai tujuan utama kehidupan. 

Budaya masyarakat kita sangat menghargai garis keturunan, sehingga tidak memiliki anak sering dilihat sebagai kegagalan memenuhi tanggung jawab sosial. Keluarga, terutama perempuan, kerap dibebani ekspektasi untuk meneruskan warisan dan identitas keluarga. Padahal, keputusan untuk memiliki anak adalah hak setiap individu, bukan kewajiban yang harus dipenuhi.

Alasan lainnya adalah keyakinan bahwa anak adalah investasi untuk masa depan, seseorang yang akan merawat orang tua di hari tua. Namun, pandangan ini sering mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua anak dapat atau ingin merawat orang tua mereka. Banyak faktor, seperti hubungan keluarga, kondisi ekonomi, hingga perubahan gaya hidup modern, memengaruhi kemampuan anak untuk memberikan perawatan tersebut. Dengan demikian, memiliki anak bukanlah jaminan kebahagiaan di masa tua.

Selain itu, anak sering dianggap sebagai sumber kebahagiaan utama dalam keluarga. Namun, konsep kebahagiaan sangat subjektif dan tidak bisa diseragamkan. Menurut penelitian yang terbit PubMed Central,   memiliki anak tidak selalu berkorelasi positif dengan kebahagiaan, terutama di negara-negara berpenghasilan tinggi. Sementara pasangan yang memilih childfree dapat merasa bahagia karena memiliki tujuan hidup yang jelas serta hubungan sosial yang baik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kebahagiaan dan memiliki anak sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Itulah mengapa keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak seharusnya dilihat sebagai preferensi pribadi yang tidak dapat digeneralisasi.

Ada juga anggapan bahwa keputusan childfree dapat menyebabkan kepunahan manusia atau berdampak buruk pada keberlangsungan populasi. Pandangan ini biasanya didasarkan pada ketakutan terhadap penurunan angka kelahiran global yang dilaporkan terjadi di beberapa negara. Namun, ada sisi lain dari narasi ini, sebagian pasangan memilih childfree karena alasan lingkungan. Mereka merasa bahwa memiliki anak akan menambah jejak karbon dan memperburuk kondisi planet yang sudah mengalami krisis sumber daya. Alih-alih dianggap tidak peduli, keputusan ini justru merupakan bentuk tanggung jawab terhadap bumi.

Terakhir, muncul argumen filosofis bahwa anak tidak memilih untuk dilahirkan. Dalam sudut pandang ini, membawa anak ke dunia berarti memberikan tanggung jawab besar kepada mereka tanpa persetujuan mereka. Keputusan childfree pun dianggap lebih etis bagi sebagian pasangan yang tidak ingin mewariskan beban emosional, finansial, atau lingkungan kepada generasi berikutnya. Pandangan ini tidak hanya menantang norma sosial, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang kebebasan memilih jalan hidup yang berbeda.

Keputusan untuk childfree memang sering dipandang buruk karena melawan norma-norma yang sudah mengakar. Namun, setiap individu atau pasangan memiliki alasan yang valid dan beragam untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Daripada menghakimi, penting bagi masyarakat untuk membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan memahami keputusan ini sebagai hak asasi yang perlu dihormati.

Baca juga: Hal yang Harus Kamu Ketahui Ketika Memilih Childfree 

Maternitas Bukan Hanya Kewajiban Perempuan

Masyarakat dalam budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan yang dianggap “utuh” adalah mereka yang hamil dan melahirkan. Perempuan yang tidak atau belum menjalani fungsi reproduksi tersebut sering dianggap belum utuh atau tak lengkap. Ini menunjukkan kesalahpahaman mendasar, padahal reproduksi adalah hak, bukan kewajiban. Bahkan, Komnas Perempuan menyatakan bahwa hak atas maternitas harus dilindungi, termasuk kebebasan perempuan untuk memilih apakah ingin memiliki anak atau tidak.

Persepsi bahwa perempuan memiliki kewajiban mulia untuk menggunakan maternitasnya sering kali membebani mereka. Padahal, keputusan untuk tidak memiliki anak biasanya merupakan keputusan bersama. Bagaimana mungkin pilihan hidup yang berdampak besar pada kehidupan pasangan dan keluarga tidak melalui diskusi terlebih dahulu?

Yang menjadi masalah justru ketika keputusan childfree hanya diambil oleh satu pihak tanpa persetujuan pasangan. Ketidaksepakatan seperti ini bisa menyebabkan konflik dalam pernikahan karena menunjukkan ketidakselarasan visi bersama antara suami dan istri.

Selain Gita dan Paul,  pasangan publik figur Indonesia Rina Nose dan suami secara terbuka menyatakan keputusan childfree sebagai hasil diskusi bersama. Rina Nose dan suaminya, Josscy Vallazza Aartsen memilih untuk tidak memiliki anak karena alasan fokus pada karier dan menjalani hidup yang sesuai dengan prioritas mereka. Dalam wawancaranya, Rina mengakui bahwa keputusannya bisa saja berubah di masa depan, tetapi hingga kini, setelah lima tahun menikah, mereka tetap sepakat untuk tidak memiliki momongan. Keputusan ini mencerminkan bahwa childfree bukan hanya pilihan individu, melainkan keputusan bersama yang didasarkan pada pertimbangan dan kesepakatan kedua belah pihak.

Oleh karena itu pernikahan seharusnya dipandang sebagai kemitraan antara sepadang individu yang saling mendukung dan membuat keputusan bersama. Keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak adalah salah satu keputusan penting yang memengaruhi kehidupan pasangan. Oleh karena itu, anggapan bahwa keputusan childfree hanya ditentukan oleh perempuan adalah hal yang keliru.

Penting untuk diingat bahwa keputusan ini biasanya diambil bersama oleh kedua pasangan, dan bukan semata-mata tanggung jawab atau pilihan perempuan. Keputusan untuk childfree juga seharusnya dipandang sebagai bagian dari hak asasi, yang tidak boleh dikaitkan dengan stigma atau tekanan sosial. Dengan menghargai keputusan bersama ini, masyarakat dapat mulai memahami bahwa pernikahan bukan sekadar tentang menghasilkan keturunan, tetapi tentang membangun hubungan yang saling mendukung dan menciptakan kebahagiaan yang sesuai dengan prioritas pasangan tersebut.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan Desa Harus Bisa Inovasi

Girl Math Baik atau Buruk Bagi Perempuan

Girl Math “Baik atau Buruk” Bagi Perempuan?  

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Leave a Comment