Home » News » Dari Sukatani hingga Payung Hitam: Pola Lama Represi Seni di Indonesia

Dari Sukatani hingga Payung Hitam: Pola Lama Represi Seni di Indonesia

Ais Fahira

News

Dari Sukatani hingga Payung Hitam Pola Lama Represi Seni di Indonesia

Bincangperempuan.com- Pada 20 Februari 2025, personel Sukatani Band mengunggah video klarifikasi atas lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar. Lagu ini memuat lirik yang menyoroti praktik pungutan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk:

Mau bikin SIM bayar polisi  

Ketilang di jalan bayar polisi  

Touring motor gede bayar polisi  

Angkot mau ngetem bayar polisi

Lirik tersebut dianggap mencemarkan nama baik institusi tertentu, sehingga memicu kontroversi. Sejumlah pihak menilai lagu ini sebagai kritik sosial yang wajar dalam skena punk, sementara yang lain menganggapnya sebagai provokasi. Akibatnya, Sukatani Band menghadapi tekanan, termasuk potensi pelarangan tampil di beberapa acara. Beberapa festival yang sebelumnya mengundang mereka dikabarkan mempertimbangkan kembali keputusan tersebut akibat tekanan eksternal.

Video klarifikasi tersebut akhirnya viral dan memicu berbagai reaksi dari para aktivis, seniman, serta komunitas punk di Indonesia. Mereka mengecam tindakan represi ini dan memulai kampanye dengan tagar #BersamaSukatani, menyerukan kebebasan berekspresi dan menolak upaya pembungkaman seni. Beberapa komunitas seni bahkan menyelenggarakan diskusi dan aksi solidaritas sebagai bentuk dukungan terhadap band ini. Gerakan ini semakin meluas, dengan para akademisi, jurnalis, dan aktivis HAM turut menyuarakan kekhawatiran atas semakin sempitnya ruang berekspresi bagi seniman di Indonesia.

Baca juga: Perempuan Pekerja Seni, dan Beban Ganda yang Kerap Diabaikan 

Represi Seni: Deja Vu Orde Baru?

Kasus represi terhadap Sukatani Band bukanlah yang pertama tahun ini. Sebelumnya, pameran seni Pak Yos dan pertunjukan teater Payung Hitam juga mengalami pembubaran atau tekanan dari otoritas tertentu. Situasi ini mengingatkan pada pola yang terus berulang dalam sejarah Indonesia: seni yang bersifat kritis sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak berwenang.

Selama rezim Orde Baru, banyak karya seni dibredel karena dianggap membahayakan stabilitas negara atau menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ideologi penguasa. Beberapa contoh kasus terkenal meliputi:

– LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat): Dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), banyak seniman anggotanya mengalami penghilangan paksa, pemenjaraan, hingga pembunuhan.

– Teater Koma: Sering mengalami pelarangan pementasan karena naskah-naskahnya yang mengkritik sistem pemerintahan.

– Lagu Iwan Fals: Lagu-lagu seperti Bongkar dan Surat Buat Wakil Rakyat sering dicekal karena menyuarakan keresahan rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

Meskipun Orde Baru telah tumbang, represi terhadap seni tetap berlangsung dengan pola yang lebih halus. Kini, tekanan tidak selalu datang dalam bentuk pembredelan langsung, tetapi melalui pelarangan, pencabutan izin acara, atau ancaman hukum atas dasar pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Seniman dan musisi yang dianggap terlalu vokal dalam mengkritik kebijakan sering kali mendapat intimidasi tidak langsung, seperti di-*blacklist* dari panggung-panggung besar atau mengalami serangan digital di media sosial. Hal ini menimbulkan efek ketakutan dan sensor diri di kalangan kreator, yang akhirnya membatasi keberanian mereka dalam menyuarakan realitas sosial.

Bahkan di era digital, kontrol terhadap ekspresi seni semakin kompleks. Algoritma media sosial sering kali menghapus konten yang dianggap “sensitif”, sementara pemerintah dan aparat hukum menggunakan regulasi seperti UU ITE untuk menindak individu yang dianggap menyinggung pihak tertentu. Dengan demikian, meskipun bentuk represi berubah, esensinya tetap sama: mengendalikan narasi dan membungkam suara-suara yang menantang status quo.

Baca juga: Gulung Tukar: Wadah Perempuan Tulungagung Lestarikan Kesenian

Seni Sebagai Alat Perlawanan

Seni, terutama dalam skena punk dan pergerakan independen, sering kali menjadi medium untuk menyuarakan kegelisahan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Band-band punk seperti Sukatani Band membawa isu-isu sosial ke dalam lirik lagu mereka, termasuk korupsi, ketimpangan ekonomi, dan represi aparat. Namun, justru karena kritik ini, mereka sering kali menghadapi tekanan dari pihak berwenang.

Dalam banyak kasus, komunitas punk dan seniman independen menggunakan seni sebagai alat perlawanan terhadap sistem yang menekan kebebasan berekspresi. Beberapa kelompok teater jalanan di Indonesia secara rutin menampilkan pertunjukan yang menyinggung kebijakan pemerintah atau isu sosial lainnya. Begitu pula dengan mural dan graffiti yang sering kali menjadi bentuk ekspresi politik, meskipun banyak yang akhirnya dihapus oleh otoritas setempat. 

Beberapa seniman juga mulai mencari cara lain untuk mempertahankan kebebasan berekspresi, seperti mendistribusikan karya mereka melalui platform daring yang lebih sulit dikendalikan oleh otoritas. Misalnya, kolektif seni tertentu menggunakan teknologi blockchain untuk mencatat karya mereka secara permanen dan tidak bisa disensor. Selain itu, festival seni independen mulai berkembang sebagai alternatif bagi seniman yang karyanya kerap ditolak oleh institusi mainstream.

Kasus Sukatani memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Seni yang seharusnya menjadi ruang refleksi dan kritik malah dibungkam dengan berbagai cara. Jika pola ini terus berulang, bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke masa ketika seni hanya boleh hidup selama tidak mengusik penguasa. Situasi ini juga menimbulkan kekhawatiran lebih luas di kalangan akademisi dan aktivis hak asasi manusia, yang menilai bahwa pembungkaman terhadap seni bisa menjadi indikasi kemunduran demokrasi.

Represi terhadap seni tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi masih menjadi realitas hingga hari ini. Hal ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi harus terus diperjuangkan agar seni tetap bisa menjadi suara bagi mereka yang tak didengar.

Apakah kita akan terus membiarkan sejarah berulang, atau saatnya melawan represi dengan lebih lantang? Jika kita tidak mengambil sikap hari ini, bukan tidak mungkin represi akan terus berkembang, menjangkau lebih banyak seniman, musisi, dan kreator lainnya. Kini saatnya membangun solidaritas untuk melawan segala bentuk pembungkaman seni demi masa depan yang lebih bebas dan demokratis. 

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Resep Data : Memetakan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Bengkulu

Memilih dan Mencuci Bra dengan Benar

Memilih dan Mencuci Bra dengan Benar

Lindungi Masa Depan Edukasi HPV Bagi Remaja Indonesia

Lindungi Masa Depan: Edukasi HPV Bagi Remaja Indonesia

Leave a Comment