Home » News » Dekriminalisasi Aborsi, Jadikan Aborsi Aman Untuk yang Membutuhkan

Dekriminalisasi Aborsi, Jadikan Aborsi Aman Untuk yang Membutuhkan

Bincang Perempuan

News

Dekriminalisasi Aborsi, Jadikan Aborsi Aman Untuk yang Membutuhkan

Bincangperempuan.com- Menyisakan hitungan bulan menuju 2025, menandai 30 tahun sejak Deklarasi dan Platform Aksi Beijing ditandatangani pada tahun 1995, penting untuk mengingatkan kembali pemerintah agar mewujudkan janji kesetaraan gender dan hak asasi manusia dengan keadilan dan kesetaraan. Salah satunya dampak aborsi yang tidak aman terhadap kehidupan dan kesehatan perempuan.

Ini disampaikan Koordinator SHE & Rights (Kesehatan Seksual Dengan Kesetaraan dan Hak) Media Initiative, Shobha Shukla, dalam webinar SHE & Rights (Sexual Health with Equity and Rights) Media Initiative and Fellowship, Rabu (25/09/2024).  Sekaligus kick off memperingati Hari Aborsi Aman Internasional diperingati setiap tanggal 28 September.

Shobha Shukla mengatakan semua orang, termasuk perempuan dan anak perempuan serta orang-orang dengan gender yang beragam, memiliki hak atas otonomi tubuh, yaitu hak untuk membuat keputusan yang bebas dan berdasarkan informasi tentang tubuh sendiri, tanpa paksaan atau kekerasan.

“Kita melihat pelanggaran otonomi tubuh terjadu ketika kurangnya pilihan dan pengambilan keputusan menyebabkan kehamilan yang tidak direncanakan, atau aborsi yang tidak aman yang merupakan penyebab utama kematian dan morbiditas ibu yang sebenarnya dapat dicegah,” kata Shobha Shukla.

Data menunjukan enam dari 10 kehamilan yang tidak direncanakan berakhir dengan aborsi yang diinduksi, dan sekitar 45% dari aborsi ini tidak aman.

Baca juga: Mendobrak Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Aborsi 

Melissa Cockroft, Pemimpin Global untuk Aborsi di International Planned Parenthood Federation (IPPF) mengatakan, aborsi yang diinduksi sebenarnya sangat umum terjadi di masyarakat. Diperkirakan 73 juta aborsi yang diinduksi terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Sekitar 61% (atau 1 dari 6) kehamilan yang tidak diinginkan berakhir dengan aborsi yang diinduksi.

“Jadi ini adalah kehamilan yang tidak direncanakan dan 29% (atau 3 dari 10) dari semua kehamilan berakhir dengan aborsi secara global. Jadi, cukup banyak kehamilan yang tidak diinginkan dan yang diinginkan berakhir dengan aborsi di seluruh dunia,” katanya.

Diperkirakan, kata Melissa, setiap tahun ada 29.000 ibu hamil, perempuan dan anak perempuan meninggal karena aborsi yang tidak aman dan 7 juta orang mengalami cedera atau cacat karena aborsi yang tidak aman di seluruh dunia. Aborsi yang tidak aman juga menimbulkan beban sosial dan finansial bagi perempuan, masyarakat, dan sistem kesehatan.

Lebih dari separuh dari semua aborsi yang tidak aman terjadi di Asia, sebagian besar di Asia Selatan dan Tengah. Di Amerika Latin dan Afrika, mayoritas (sekitar 3 dari 4) dari semua aborsi tidak aman. Di Afrika, hampir separuh dari semua aborsi terjadi dalam keadaan yang paling tidak aman. Namun, yang mungkin paling menghancurkan adalah bahwa kematian akibat aborsi yang tidak aman sepenuhnya dapat dicegah.

“Kurangnya akses ke perawatan aborsi yang aman, tepat waktu dan terjangkau merupakan  penyebab kematian ibu yang sebenarnya dapat dicegah ini,” ungkap Melissa Cockroft.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi yang tidak aman sebagai prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki informasi atau keterampilan yang diperlukan atau di lingkungan yang tidak sesuai dengan standar medis minimal, atau keduanya. Orang, keterampilan dan standar medis yang dianggap aman dalam penyediaan aborsi berbeda untuk aborsi medis dan bedah dan berdasarkan durasi kehamilan.

“Aborsi dapat dilakukan dengan aman, bahkan jika aborsi dilakukan di negara yang secara hukum melarang aborsi . Demikian pula, aborsi yang tidak aman dapat dilakukan di negara yang secara hukum mengizinkan aborsi. Jadi, status hukum aborsi tidak selalu memprediksi bahwa aborsi akan aman atau tidak aman,  namun pembatasan diketahui lebih cenderung mengarah pada aborsi yang tidak aman. Dan pembatasan hukum tidak mencegah terjadinya aborsi. Ketika perempuan, anak perempuan, dan ibu hamil menginginkan aborsi, mereka akan menemukan cara untuk mendapatkannya, bahkan jika itu tidak aman,” papar Melissa Cockroft.

Aborsi aman 

Melissa menambahkan, aborsi medis (misprostol dan mifepristone) sebenarnya lebih aman daripada obat-obatan umum seperti penisilin, Tylenol, dan Viagra! Aborsi merupakan salah satu prosedur medis dan bedah yang paling aman terutama bila ditangani oleh orang yang terlatih, termasuk perawat dan bidan, sebagaimana ditunjukkan oleh data WHO. Aborsi medis yang dikelola sendiri juga terbukti aman bila tersedia informasi, dukungan, dan jaringan rujukan yang tepat.

Pembatasan aborsi tidak mencegah atau mengurangi aborsi, tetapi justru membuatnya tidak aman. Angka aborsi di negara-negara yang secara hukum membatasi aborsi sebenarnya lebih tinggi daripada negara-negara yang menyediakan layanan aborsi atas permintaan, terutama karena perempuan, anak perempuan, dan ibu hamil juga tidak memiliki akses yang baik terhadap alat kontrasepsi.

“Ketika orang-orang dengan kehamilan yang tidak diinginkan menghadapi hambatan untuk memperoleh layanan aborsi yang aman, tepat waktu, terjangkau, dapat dijangkau secara geografis, terhormat, dan tidak diskriminatif, mereka sering kali melakukan aborsi yang tidak aman. Undang-undang dan kebijakan yang memberlakukan batasan kehamilan dan hambatan lain seperti masa tunggu atau perlunya izin dari 2 dokter hanya menjadi hambatan terhadap layanan aborsi yang aman,” jelas Melissa Cockroft.

“Tidak seorang pun wanita boleh dipaksa untuk melanjutkan kehamilannya di luar keinginannya, atau menghadapi risiko hidup, kesehatan, atau hukum akibat melakukan aborsi,” lanjutnya.

Baca juga: Luka Tak Kasat Mata: Stigma Negatif Melahirkan Caesar

Meskipun menggembirakan bahwa sejumlah negara telah bergerak menuju liberalisasi hukum dan kebijakan aborsi sejak Deklarasi Beijing 1995 dan Platform Aksi menyerukan peninjauan ulang hukum aborsi yang menghukum, masih terlalu banyak negara yang belum melakukannya. Hukum yang restriktif mendiskriminasi perempuan dengan menghukum mereka untuk prosedur kesehatan yang hanya dibutuhkan oleh perempuan, anak perempuan, dan orang hamil.

Perempuan yang tidak dapat mengakses layanan aborsi yang aman malah menjalani prosedur yang berisiko, lalu menghindari mencari pengobatan untuk komplikasi karena stigma dan ketakutan akan hukuman di tempat-tempat yang secara hukum membatasi aborsi.

“Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB menganjurkan penghapusan hambatan terhadap aborsi yang tidak aman sebagai tujuan utama untuk mencapai akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, mengurangi angka kematian ibu, dan mendorong kesetaraan gender,” tegas Melissa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Belum Resmi Diluncurkan, “Mela Lapor’ Sudah Terima 15 Aduan

Bincang Perempuan Lolos Coaching SOP KBGO Perusahan Media

Bincang Perempuan Lolos Coaching SOP KBGO Perusahan Media

Monika Maritjie Kailey Perempuan Adat Penjaga AruHan Kang, Perempuan Asia Pertama Peraih Nobel Sastra

Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru

Leave a Comment