Home » Tokoh » Dibesarkan Rahim Hutan: Menjadi Pemimpin KUPS Perempuan

Dibesarkan Rahim Hutan: Menjadi Pemimpin KUPS Perempuan

Bincang Perempuan

Tokoh

Dibesarkan Rahim Hutan Menjadi Pemimpin KUPS Perempuan

Bincangperempuan.com- Saya adalah seorang perempuan yang berasal dari Desa Malitu. Nama lengkap saya Sefrida Silintowe Tuwuncaki. Saya seorang ibu rumah tangga yang gemar terlibat di berbagai kegiatan desa. Kegiatan yang berhubungan dengan pemerintah desa, kegiatan keagamaan di gereja, sampai kegiatan kerja di kebun atau ladang, semuanya saya ikuti.

Saat ini, saya merupakan Sekretaris di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Malitu. Tahun ini, genap empat tahun keterlibatan saya dalam pemerintahan di desa. Selain itu, saya juga menjadi ketua kelompok tani dan pengurus Persekutuan Perempuan yang ada di desa kami.

Selama menjalankan berbagai peran ini, saya seringkali menemukan tantangan-tantangan dari masyarakat. Misalnya, pandangan miring warga yang meragukan kapasitas saya sebagai perempuan maupun pertentangan pendapat di antara sesama pengurus yang menimbulkan konflik. Kondisi ini pelan-pelan melatih kemampuan kepemimpinan saya karena saya harus terlibat langsung dalam mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.

Setelah kedatangan Sikola Mombine di desa saya, saya merasa sangat senang karena Sikola Mombine mengikutsertakan perempuan perempuan seperti saya di berbagai kegiatan mereka. Sikola Mombine juga memperkenalkan saya dan warga desa lain dengan skema Perhutsos. Mereka mengajarkan kami bagaimana perempuan seperti saya memegang peran penting dalam upaya menjaga hutan. Salah satu caranya melalui usaha-usaha pengelolaan hasil hutan yang selama ini kami lakukan.

Kegiatan dari Sikola Mombine yang membahas Perhutsos ini mengingatkan saya dengan kisah saya 20 tahun lalu, tepat saat Poso bergejolak karena kerusuhan di tahun 2001. Saya masih ingat betul, waktu itu Maret 2001, ketika saya melahirkan anak pertama saya. Namun, rasa bahagia yang meliputi keluarga kami karena kehadiran buah hati segera berganti dengan ketegangan. Oktober 2001, suasana Poso memanas. Terjadi peristiwa pembakaran rumah besar besaran. Kami sekeluarga harus menyelamatkan diri. Saat itu, suami saya masih di Tentena, sebuah kecamatan tetangga yang berjarak sekitar 2 jam dari Poso. Ia di sana untuk menjual gula aren.

Baca juga: Dari Penggerak Muda ke Pengurus KUPS: Kisah Melanjutkan Perjuangan

Jadi, saya harus berpikir sendirian untuk mencari tempat perlindungan bagi anak saya yang masih bayi. Seluruh sudut kota sudah tidak aman. Satu-satunya tempat berlindung yang ada di pikiran saya hanya hutan. Maka, di tengah kondisi Poso yang semakin mencekam, saya berdua saja dengan kakak ipar saya membawa bayi saya ke hutan.

Di dalam hutan, kami melangkah hati-hati agar tidak mengeluarkan suara yang bisa mengundang kecurigaan. Kami berjalan terus dan terus hingga gelap. Kami menelusuri sungai selama berjam-jam. Kami tidak makan apapun. Bayi saya tidak makan apapun. Bayi saya juga tidak minum ASI. Kondisi saya saat itu tidak memungkinkan untuk menyusui. Jadi, jika bayi saya haus, saya akan memberinya air sungai yang kami lewati.

Kami berjalan menelusuri sungai di dalam hutan selama sehari semalam. Hingga pada suatu titik, akhirnya kami tiba di sebuah desa. Desa Pandiri namanya. Di desa itu, kami mendapat pertolongan dari warga setempat.

Kini, kejadian itu sudah berlalu lebih dari dua puluh tahun. Tapi, perjalanan sehari semalam di dalam hutan itu tidak akan pernah saya lupa. Saya masih ingat gemericik air sungai yang menjadi ASI bagi bayi saya. Saya masih ingat suara gesekan daun, ranting yang patah, dan angin yang bertiup lirih yang menemani perjalanan kami. Hati saya masih selalu bergetar mengingatnya.

Sampai kapan pun, saya tidak akan lupa bagaimana hutan memberikan kami perlindungan. Saya juga tidak akan lupa bagaimana hutan menjadi rahim kehidupan bagi bayi saya. Saya berhutang budi pada hutan.

Kesadaran penuh akan jasa hutan yang menyelamatkan nyawa saya dan keluarga membuat saya berkeinginan untuk selalu menjaga hutan. Oleh karena itu, ketika Sikola Mombine datang dengan program pendampingan untuk skema Perhutsos saya semangat untuk ambil bagian.

Melalui program dari Sikola Mombine, masyarakat Desa Malitu jadi tahu mana hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang bisa diolah oleh masyarakat. Sebagai tindak lanjut, kami juga telah membentuk KUPS sebanyak tiga kelompok, yaitu: (1) KUPS Lestari Gula Semut; (2) KUPS Madago Raya Gula Batu; dan (3) KUPS Fargesia (Kerajinan Tangan dari Bambu).

Dari tiga kelompok di atas, saya dipercayakan oleh teman-teman menjadi ketua KUPS Lestari Gula Semut. Meskipun, di awal masyarakat meragukan kemampuan saya, tetapi saya tidak memilih mundur. Keraguan mereka saya jawab dengan bersungguh sungguh berjuang untuk memajukan KUPS ini. Dengan dukungan dari anggota kelompok dan keluarga, saya merasa apa yang saya lakukan bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau keluarga sendiri, tapi untuk kemajuan perekonomian desa.

Saat ini, perjalanan pengurusan izin pengelolaan Perhutsos di desa kami berjalan dengan baik dan lancar. Pengurus LPHD sudah memasang tapal batas di dalam hutan. Pemasangan spanduk hutan desa yang menjadi kawasan hutan produksi juga sudah dilakukan. Pemasangan tapal batas dan spanduk ini dimaksudkan agar semua masyarakat Desa Malitu mengetahui mana hutan desa yang bisa diolah dan siapa saja yang bisa mengolah.

Untuk mendapatkan izin pengelolaan Hutan Desa, kami bersama-sama melakukan pengajuan permohonan ke KPU Sintuwu Maroso yang didampingi oleh Sikola Mombine. Pada prosesnya, pihak-pihak yang terlibat tidak hanya kelompok laki-laki, tapi kelompok perempuan desa juga banyak terlibat dengan penuh semangat.

Saya bersyukur, karena saya dikaruniai suami dan anak-anak yang sangat mendukung seluruh kegiatan saya sehingga saya tidak kesulitan untuk meyakinkan mereka bahwa saya bisa melakukan semua ini tanpa melupakan mereka. Sering juga mereka menunjukkan dukungannya dengan membantu pekerjaan saya dengan membantu pekerjaan saya di rumah. Misalnya, anak saya yang kedua sering kali mengambil alih pekerjaan rumah kalau saya sedang sibuk. Padahal, ia juga sibuk dengan aktivitasnya di perkuliahan.

Selain itu, salah satu strategi yang saya lakukan adalah dengan melakukan pembagian waktu. Pagi hari biasanya menjadi waktu untuk keluarga. Saat semua anggota keluarga sudah keluar dari rumah untuk melakukan aktivitasnya masing-masing, maka di saat itulah saya bisa melakukan aktivitas rumah tangga. Selebihnya, waktu akan saya gunakan untuk menunaikan tanggung jawab di organisasi.

Kiprah saya di berbagai organisasi desa dan keagamaan semakin membangun kepercayaan diri saya sebagai seorang perempuan. Sampai akhirnya, saya menjadi satu dari delapan perempuan Desa Malitu yang terpilih untuk mewakili desa dalam Pelatihan Kepemimpinan Perempuan dalam Perhutsos di Palu.

Pada saat itu pula, kami membawa dokumen permohonan izin pengelolaan Hutan Desa dan diserahkan ke KPH Provinsi. Mereka menyambut dengan baik apa maksud dan tujuan kami, sehingga berapa bulan kemudian, datanglah tim verifikasi untuk mengecek wilayah hutan Desa Malitu. Atas kerja sama yang baik dari semua pihak ini, Desa Malitu akhirnya mendapatkan izin pengelolaan hutan desa dengan luas area 1.131 Ha.

Tidak sampai di sana, setelah kami mendapatkan izin pengelolaan hutan desa, saya bersama dengan teman-teman perempuan pengurus KUPS di Desa Malitu, khususnya KUPS Gula Semut dan KUPS Gula Batu, berjuang untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Jarak tempuh yang kami lalui untuk pengurusan NIB tersebut cukup jauh, namun itu tidak mengurangi semangat saya bersama teman-teman perempuan lain untuk mendapatkan apa yang kami harapkan. Akhirnya, setelah sekian lama berproses, kami berhasil mendapatkan NIB untuk KUPS Gula Semut dan KUPS Gula Batu.

Baca juga:Harapan Baru Sepak Bola Perempuan di Bengkulu

Setelah proses pengurusan NIB selesai, kami menghadapi tantangan lain. Mayoritas penduduk Desa Malitu dan pengurus KUPS yang terlibat dalam proses produksi produk kami beragama Kristen. Hal ini cukup menjadi tantangan ketika akan memasarkan produk kami ke pasar tradisional atau toko swalayan.

Oleh karena itu, kami pun melanjutkan perjuangan kami dengan mengurus label halal. Saya berharap, semoga semua unsur yang terkait di dalamnya bisa memberikan izin tersebut agar produk kami bisa dipasarkan ke toko-toko swalayan dan juga pasar tradisional.

Adapun perjuangan kami untuk mendapatkan izin halal tersebut mendapat dukungan yang baik dari Dinas Kumperindag (Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan) Kabupaten Poso yang memfasilitasi pelaksanaan audit halal secara gratis.

Kini, dengan NIB dan label halal yang sudah rampung diurus, KUPS Gula Semut dan KUPS Gula Batu di Desa Malitu diharapkan bisa melebarkan sayap usahanya lebih luas lagi sehingga upaya ini bisa menyejahterakan masyarakat sekaligus berkontribusi pada pengelolaan hutan Desa Malitu yang lebih lestari.

Semoga perjuangan saya ini bisa membayar hutang budi saya pada hutan yang telah menjadi rahim tempat berlindung bagi anak saya yang masih bayi. Walaupun, saya sadar, sampai kapan pun, hutang itu tidak akan pernah bisa saya lunasi.(**)

**) Tulisan ini direpublikasi dari Kisah perempuan pengelola perhutanan sosial di Sulawesi Tengah : Mengabdikan Perjuangan, Menggapai Kesetaraan yang diterbitkan Yayasan Sikola Mombine dan didukung The Asia Foundation.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, perempuan dan hutan, perempuan penyelamat hutan, perhutanan sosial

Artikel Lainnya

Perempuan, Ujung Tombak Produksi Kepiting Bakau yang Berkelanjutan

Marie Curie: Perempuan Pertama Penerima Nobel

Sekolah Alam Mahira

Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Leave a Comment