Bincangperempuan.com- Menurut Merriam-Webster Dictionary, abusive adalah tindakan yang menggunakan atau melibatkan kekerasan fisik, verbal, atau emosional, serta berisi penghinaan atau perlakuan kasar yang dapat melukai secara psikologis maupun fisik.
Dalam konteks pasangan, relasi yang sehat mengedepankan kepercayaan, dukungan, dan penghargaan antar pasangan. Tanpa elemen tersebut, sulit rasanya sebuah hubungan dapat bertahan.
Namun, tidak semua kisah cinta bak di dalam novel atau layar kaca. Tidak sedikit yang memilih untuk mengakhiri hubungan dengan perpisahan. Banyak penyebabnya, di antara yang menjadi pemicu adalah adanya kekerasan fisik (physical abuse). Tidak jarang pula akibat kekerasan emosional (emotional abuse) yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Apa Itu Abusive?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, abusive adalah tindakan yang melibatkan kekerasan. Secara garis besar, tindakan abusive dibagi dua: fisik dan mental/emosional. Kali ini kita khusus membahas tentang emotional abuse.
Berbeda dengan physical abuse, kekerasan yang wujudnya nyata berupa memar ataupun lebam, emotional abuse menjadi bentuk kekerasan yang sifatnya menyerang korban secara mental. Sehingga sering kali korban tidak menyadarinya. Akibat pengaruh persepsi dan kesadaran terhadap situasi yang dialami.
Baca juga: Backburner Relationship, Ketidakjelasan dalam Hubungan
Dilansir dari laman psychology today, emotional abuse atau pelecehan emosional merupakan pola perilaku di mana pelaku menanamkan rasa takut pada seseorang dengan cara menghina atau mempermalukan agar mudah dikendalikan. Seseorang yang mendapatkan emotional abuse akan merasa kurang percaya diri, ketakutan, sulit berkonsentrasi, kecemasan hingga menarik diri dari kehidupan di sekitarnya.
Laki-laki dan perempuan, siapapun bisa menjadi korban emotional abuse. Namun faktor sosial, budaya, dan psikologis menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan yang paling sering menjadi korban emotional abuse.
Budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender yang masih mengakar di banyak masyarakat dapat menciptakan dinamika kekuasaan yang mendukung perilaku kekerasan emosional terhadap perempuan. Sikap dominan yang didukung oleh budaya patriarki bisa memungkinkan pelaku merasa berhak mengendalikan dan merendahkan perempuan.
Termasuk beberapa stereotip gender juga menggambarkan perempuan sebagai lebih lemah, emosional, dan tidak berdaya dibandingkan pria. Ini dapat memengaruhi pandangan pasangan dan mengarah pada perlakuan yang merendahkan.
Pasangan yang Abusive Adalah Nyata, Tapi Mengapa Korban Jarang Menyadarinya?
Berada dalam hubungan yang abusive adalah sebuah “blind spot”. Korban lebih sering tidak menyadarinya. Kalaupun sadar, beberapa tetap memilih untuk bertahan. Ada banyak faktor yang menyebabkan korban emotional abuse tidak menyadari situasi tersebut, di antaranya:
1. Manipulasi dan Pemalsuan Realitas (Gaslighting)
Pelaku sering menggunakan manipulasi, mengubah kenyataan untuk membuat korban meragukan persepsi mereka sendiri. Gaslighting adalah taktik yang sering digunakan ketika pelaku membuat korban merasa bahwa apa yang mereka lihat, rasakan, atau ingat adalah salah atau tidak benar. Ini dapat membuat korban merasa bingung dan ragu-ragu tentang kenyataan situasi.
2. Perasaan Bersalah
Pelaku kekerasan emosional sering memanipulasi perasaan korban dengan menempatkan rasa bersalah pada mereka. Mereka bisa menyalahkan korban atas perilaku mereka sendiri atau membuat korban merasa bahwa mereka harus “lebih baik” atau “berusaha lebih keras” untuk membuat hubungan berfungsi. Ini membuat korban merasa bahwa mereka bertanggung jawab atas masalah dalam hubungan tersebut.
3. Siklus Kekerasan dan Perubahan Perilaku
Kekerasan emosional sering terjadi dalam pola siklus di mana periode kekerasan diikuti oleh periode cinta, penyesalan, dan janji perubahan. Pelaku mungkin menunjukkan perubahan perilaku sesaat setelah kejadian kekerasan, membuat korban berharap bahwa semuanya akan berubah dan menjadi lebih baik.
4. Pentingnya Hubungan
Korban mungkin sangat terikat secara emosional dengan pelaku dan merasa bahwa hubungan tersebut memiliki nilai yang besar. Ini dapat membuat mereka mengabaikan atau meremehkan tanda-tanda kekerasan emosional karena mereka berharap hubungan akan membaik.
5. Kurangnya Kesadaran tentang Kekerasan Emosional
Kekerasan emosional cenderung kurang dikenal dibandingkan dengan kekerasan fisik. Korban mungkin tidak menyadari bahwa perilaku yang mereka alami adalah bentuk kekerasan karena itu tidak terlihat seperti tindakan fisik kasar.
Baca juga: Perempuan-perempuan, Penjaga Air, Sumber Listrik dan Pangan di Desa Renah Kasah
6. Masa Lalu dan Pengaruh Sosial
Pengalaman masa lalu, terutama jika korban telah tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat atau memiliki pengalaman traumatis sebelumnya, dapat memengaruhi persepsi mereka tentang hubungan dan standar apa yang layak mereka terima.
7. Kecintaan dan Harapan
Korban mungkin sangat mencintai pelaku dan berharap bahwa pelaku akan berubah. Mereka dapat menganggap perilaku pelaku sebagai sifat sementara yang dapat diubah.
8. Rasa Takut dan Ketergantungan Finansial atau Emosional
Korban dapat merasa takut kehilangan dukungan finansial, tempat tinggal, atau hubungan emosional jika mereka mencoba mengakhiri hubungan atau menghadapi pelaku.
9. Penyangkalan dan Rasa Tidak Percaya
Korban mungkin tidak percaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain yang mencoba membantu mereka. Mereka mungkin menyangkal bahwa mereka menjadi korban karena menganggap bahwa situasi tersebut “tidak seburuk” seperti yang dipersepsikan oleh orang lain.
Kombinasi dari faktor-faktor ini dapat membuat korban kekerasan emosional tetap berada dalam hubungan yang merusak dan sulit bagi mereka untuk menyadari situasi sebenarnya. Dukungan dari teman, keluarga, atau profesional dapat membantu korban mengatasi penyangkalan dan manipulasi yang sering kali ada dalam situasi kekerasan emosional.
Ciri-Ciri Pasangan yang Abusive
Apabila hubungan tersebut terus dilanjutkan, emotional abuse dapat menyebabkan depresi, gangguan mental, keinginan mengakhiri hidup, dan lainnya. Dalam hal ini, penting untuk mengenali ciri-ciri pasangan yang melakukan emotional abuse agar dapat melakukan tindakan yang tepat.
1. Posesif
Memberikan perhatian pada pasangan merupakan bentuk kasih sayang. Namun apabila terlalu berlebihan hingga menjadi posesif justru akan membuat hubungan menjadi tidak sehat. Pasangan yang posesif cenderung meminta pasangannya memberikan informasi pribadi seperti kata sandi untuk semua akun media sosialnya. Tindakan ini dapat memicu seseorang bersikap kasar kepada pasangannya.
2. Silent treatment
Kebanyakan orang melakukan tindakan ini menganggap jika pasangan akan sadar apabila didiamkan. Padahal tindakan ini secara tidak langsung dianggap sebagai hukuman kepada pasangan agar mereka merasa bersalah dan dapat dikendalikan secara emosional. Orang yang mendapatkan perlakuan ini akan mengalami overthingking, merasa tidak pantas hingga depresi.
3. Meremehkan
Biasanya, seorang pelaku emotional abuse meremehkan pasangannya saat konflik dengan cara menolak mentah-mentah atau mendiamkan pasangan ketika berpendapat sehingga korban merasa tidak dihargai. Hal lain dilakukan oleh pelaku ialah merendahkan kepercayaan diri seseorang sehingga mereka merasa tidak layak dicintai. Padahal, dukungan dari pasangan diperlukan untuk menciptakan hubungan yang sehat.
Baca juga: Perempuan di Pesisir Utara Jakarta: Meniti Kehidupan di Pinggiran Kota yang Mulai Tenggelam
4. Mengancam
Tindakan kekerasan emosional dengan cara mengancam dilakukan dalam bentuk mengambil alih hidup pasangan seperti tidak memberikan uang untuk kebutuhan rumah, menyebarkan rahasia pasangan, meninggalkan pasangan, dan lainnya. Korban yang merasa tidak berdaya akan menuruti keinginan pelaku dan dapat terus dikontrol.
5. Menyalahkan pasangan
Pelaku akan menyalahkan pasangan atas masalah yang terjadi meskipun itu kesalahan sang pelaku. Umumnya, mereka akan menutupi kesalahannya dengan memutarbalikkan fakta sehingga pasangan yang menjadi korban akan terus merasa bersalah. Apabila korban menolak untuk meminta maaf, pelaku akan terus memojokkan korban sampai korban menyerah.
6. Mengisolasi
Kekerasan emosional yang dilakukan oleh pasangan yang abusive adalah menjauhkan pasangannya dari keluarga dan orang terdekatnya. Mereka akan melakukan berbagai cara agar pasangannya hanya bergantung padanya. Alhasil, pelaku memiliki kuasa untuk bertindak semena-mena dan merusak mental korban dengan lebih leluasa.
Baca juga: Jangan Trauma Menikah
Cara Menghindari Emotional Abuse dalam Hubungan
Terjebak dalam hubungan yang memiliki emotional abuse akan merugikan kesehatan emosional seseorang. Untuk itu, seseorang dapat menghindari atau mencegah kemungkinan terjadinya emotional abuse melalui beberapa cara, yaitu:
1. Mengenali tindakan kejam pasangan
Hal pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah pasangan melakukan emotional abusive adalah menghentikan mereka melakukan perilaku kasar dan kekerasan. Meski terdengar mudah dilakukan, banyak orang tidak menyadari jika mereka diperlakukan dengan tidak hormat. Tujuan utama dari pelaku adalah menghancurkan harga diri korban agar terus bergantung kepadanya. Untuk itu, diperlukan komunikasi antar pasangan untuk memberikan batasan dalam hubungan sehingga tidak terjadi kekerasan emosional atau fisik.
Selain itu, perlunya mempelajari cara bicara pasangan yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan emosional dalam rumah tangga agar tidak mudah dimanipulasi dan dikendalikan. Meskipun dirasa perlu untuk menuruti keinginan pasangan, memastikan jika permintaan tersebut tidak mengganggu kesejahteraan pribadi sangat diperlukan untuk mencegah tindakan menyalahkan diri atau rasa tidak berdaya di depan pasangan.
2. Berdamai dengan diri sendiri
Mulai berdamai dan mencintai diri sendiri untuk melepaskan diri dari hubungan abusive. Menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan tidak takut melakukan kesalahan merupakan bentuk mencintai diri sendiri. Cara lain yang dapat dilakukan adalah merangkul diri sendiri untuk mengatasi tekanan emosi seperti malu, marah atau takut. Jangan pernah menghina atau menyakiti diri sendiri karena itu dapat menghilangkan rasa penghargaan pada diri sendiri.
3. Mengakhiri hubungan dengan pasangan abusive
Pasangan yang abusive akan terus berusaha untuk menjebak korbannya agar keinginannya tercapai. Untuk itu, mengakhiri hubungan dengan pasangan yang abusive menjadi pilihan terbaik. Seseorang harus memperhatikan kesehatannya daripada mempertahankan rasa cinta dalam hubungan yang tidak sehat.
Emotional abuse menjadi bentuk kekerasan mental yang jarang disadari dan membutuhkan waktu yang lama untuk diobati. Berdarah-darah. Untuk mencegah hal ini, baik mengenali pasangan dan melakukan komunikasi terbuka sebagai cara menghindari kemungkinan hubungan yang abusive. (Yuni Camelia Putri/eL)
Sumber :
- Psychology Today,. “Emotional Abuse”, dalam Psychology Today
- Qurrota A’yuni, 2019. “Istri Patuh pada Suami; Adakah Batasnya?”, dalam Bincang Muslimah
- Adelia Marista Safitri, 2021. “8 Tanda Anda Mengalami Kekerasan Emosional Dalam Hubungan Asmara”, dalam hellosehat
- Ajeng Quamila, 2022. “Melepaskan Diri dari Jeratan Hubungan yang Abusive”, dalam hellosehat