Bincangperempuan.com- Netflix baru saja mendistribusikan film terbarunya dengan judul “Fair Play”. Film garapan Chloe Domont ini pertama kali dirilis pada 20 Januari 2023 lalu. Berdurasi 1 jam 55 menit, film ini menggambarkan pasangan kekasih Emily (Phoebe Dynevor) dan Luke (Alden Ehrenreich) yang bekerja dalam satu firma sebagai analisis keuangan.
Awalnya hubungan keduanya baik-baik saja. Bahkan, Luke sudah melamar Emily. Namun untuk menjaga profesionalitas, pertunangan keduanya harus disembunyikan dari publik, khususnya firma tempat mereka bekerja. Setiap fajar, Emily dan Luke mengambil rute terpisah ke One Crest Capital di mana mereka berpura-pura menjadi orang asing.
Ketegangan antara keduanya mulai meningkat ketika bos mereka, Campbell (Eddie Marsan) mempromosikan Emily untuk mendapatkan posisi baru sebagai manager. Padahal sebelumnya sempat beredar kabar Luke lah yang akan diangkat sebagai manager.
“Fair Play”, menjadi sebuah karya yang mempertontonkan potret kompleks tentang perempuan di dunia kerja, terutama dalam menghadapi patriarki dan misogini yang masih merajalela di tempat kerja modern. Film ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi perempuan ketika mereka mencoba untuk mencapai posisi kepemimpinan di dunia korporat, serta bagaimana stereotip dan prasangka gender masih menjadi hambatan dalam proses tersebut.
Baca juga: Perempuan dalam Bingkai Media Massa yang Seksis dan Misoginis
Perempuan dihadapkan pada kendala patriarki
Dalam “Fair Play,” kita melihat bagaimana perempuan yang berusaha untuk menduduki posisi kepemimpinan di kantor seringkali dihadapkan pada ketidakpercayaan dan ketidaksetujuan dari rekan-rekan laki-laki mereka. Stereotip yang melekat pada perempuan, seperti anggapan bahwa mereka tidak mampu atau tidak pantas untuk memimpin, terus mewarnai pandangan dalam dunia kerja.
Selalu ada prasangka ketika perempuan mendapatkan promosi bukan karena kemampuan, namun lebih pada karena perempuan adalah objek seksual bagi laki-laki. Hal ini terungkap dalam satu lelucon yang disampaikan rekan kerja Luke, atas promosi Emily. Ini menjadi hambatan besar yang harus diatasi oleh para perempuan yang berjuang untuk meraih sukses di tempat kerja.
Misogini dalam relasi kuasa pimpinan
Film ini juga menggambarkan bagaimana misogini terkadang muncul dalam relasi kuasa antara pimpinan dan bawahan. Seorang pemimpin senior dapat menyebut bawahan perempuannya sebagai “perempuan jalang yang bodoh” tanpa ditegur, terlepas dari rekam jejaknya yang luar biasa.
Ini adalah contoh ekstrem dari bagaimana perempuan dapat dihina dan direndahkan di tempat kerja. Hal ini mencerminkan budaya yang masih menganggap perempuan sebagai objek pelecehan verbal dan memperburuk ketidaksetaraan gender. Sementara pada saat yang sama, rekan laki-laki yang kinerjanya buruk dan terus mengalami kegagalan tetap dipertahankan hanya karena titipan rekan dari pemimpin tersebut.
Ambisi dan Ambang Batas
Di sisi lain, “Fair Play” juga mengeksplorasi ambisi perempuan yang kuat untuk meraih kesuksesan di dunia kerja. Film ini menunjukkan bagaimana perempuan tidak hanya memiliki ambisi, tetapi juga kemampuan dan tekad yang sama dengan laki-laki. Namun, perempuan sering kali harus melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh patriarki dan misogini untuk mencapai tujuan mereka.
Fair Play adalah sebuah film yang membara dan menakjubkan tentang kompatibilitas antara ambisi yang membara dengan misogini di tempat kerja. Film ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi perempuan ketika mereka berusaha untuk mencapai posisi kepemimpinan, serta bagaimana stereotip dan prasangka gender masih merintangi perjalanan mereka.
Baca juga: Empat Isu Seksisme yang Disentil dalam Drakor Love to Hate You
Film ini membangkitkan kesadaran tentang pentingnya mengakhiri budaya misogini di tempat kerja dan memberikan dukungan penuh kepada perempuan yang berjuang untuk kesuksesan mereka. Dengan begitu, kita dapat menciptakan dunia kerja yang lebih adil, di mana perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.(**)