Home » News » Gen Z Bicara Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan 

Gen Z Bicara Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan 

Siti Nurmasyitah

News

Gen Z Bicara Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan 

Bincangperempuan.com-   “Ini bukan hanya soal perempuan, tetapi soal kemanusiaan. Kekerasan itu salah, siapapun korbannya,” kata Rian, pemuda dari Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM) Samarinda.

Rian adalah salah satu partisipan dalam mimbar bebas puisi dan orasi yang menjadi bahasa perlawanan pada peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), bagian dari rangkaian acara 30 Hari Menuju Hari HAM Sedunia, yang digelar di Taman Universitas Mulawarman (Unmul). Dalam acara tersebut, berbagai pihak menyuarakan pentingnya melawan kekerasan terhadap perempuan melalui puisi dan orasi.

Ada juga Khoirul Umam, anggota dari Tarekat Menulis Samarinda, juga menyampaikan pandangannya bahwa kesadaran masyarakat tentang isu kekerasan terhadap perempuan masih sangat rendah. Hal ini, menurutnya, berkaitan dengan budaya patriarki yang masih mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.

“Kita punya akar patriarki yang kuat, dan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Orang tua sering kali tidak menyadari bahwa mereka ikut melestarikan budaya ini,” jelasnya.

Pentingnya Perjuangan Berkelanjutan

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperingati setiap 25 November untuk mengenang pembunuhan terhadap tiga aktivis perempuan Mirabal bersaudara di Republik Dominika pada 1960. Mereka menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran Trujillo saat itu. 

Sejak 1981, tanggal 25 November ditetapkan sebagai hari internasional oleh gerakan feminis di seluruh dunia dan diresmikan oleh PBB pada 1999. Meskipun peringatan ini telah ada selama lebih dari 20 tahun, perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan masih panjang.

Di Indonesia, kasus kekerasan seksual masih menjadi masalah besar. Tahun 2019 tercatat sebagai tahun dengan angka kekerasan tertinggi, mencapai 431.471 kasus. Meski angka tersebut menurun menjadi 289.111 kasus pada 2023, hal ini tetap mencerminkan pentingnya terus memperjuangkan perlindungan bagi perempuan di Indonesia.

Baca juga: Lebih dari Sekedar Finansial, Alasan Gen Z Menunda Pernikahan

Menyuarakan Isu Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat Media Sosial

Menghadapi masalah ini, Generasi Z—yang sering distereotipkan sebagai generasi apatis—justru menunjukkan peran aktif dalam mengatasi kekerasan seksual. Gen Z memanfaatkan platform digital dan media sosial untuk mengedukasi diri mereka sendiri dan masyarakat luas tentang pentingnya melawan kekerasan terhadap perempuan.

Sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, Gen Z memiliki akses yang luas ke informasi melalui media sosial. Hal ini dimanfaatkan oleh mereka, yang dikenal sebagai “Native of Technology”, untuk menggalang kampanye terkait isu-isu penting, termasuk kesadaran terhadap kekerasan seksual.

Salah satu contoh nyata adalah kampanye #MeToo yang banyak diadopsi di media sosial. Dengan menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, Gen Z membagikan cerita, pengalaman, dan informasi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya melawan kekerasan seksual. Mereka juga sering menggalang petisi daring melalui platform seperti Change.org atau mendukung donasi melalui aplikasi pembayaran digital.

Namun, perjuangan mereka tidak selalu berjalan mulus. Tantangan dalam pemanfaatan media sosial untuk kampanye ini termasuk ancaman cyberbullying, penyebaran berita palsu (fake news), dan algoritma media sosial yang sering membatasi jangkauan konten mereka. 

Meskipun demikian, Gen Z terus menunjukkan kreativitas dalam mengatasi kendala ini, misalnya dengan menggunakan tren viral seperti challenge atau video pendek untuk menyampaikan pesan mereka secara efektif.

“Saya melihat Gen Z punya keingintahuan besar. Mereka menggunakan media sosial untuk mencari pengetahuan, dan itu penting untuk terus dikembangkan sebagai alat perubahan,” jelas Naya.

Namun, meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran, ruang digital juga sering kali menjadi tempat suburnya komentar seksis dan pelecehan verbal yang justru melemahkan perjuangan. Rian menyebutkan, “TikTok, misalnya, dipenuhi komentar-komentar tentang tubuh perempuan. Algoritmanya tidak membantu menciptakan ruang aman.”

Selain itu, algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan konten sensasional juga menciptakan tantangan baru. Banyak isu penting yang sering tenggelam di tengah hiruk-pikuk tren sesaat. Rian menekankan bahwa meskipun tren dapat mendongkrak momentum, hal itu tidak cukup untuk membawa perubahan yang berkelanjutan.

“Momentum memang penting, tetapi kita butuh upaya konsisten untuk menciptakan perubahan,” tambah Rian.

Acara mimbar bebas di Unmul ini adalah salah satu langkah kecil untuk membangun kesadaran. Rian, Umam, dan Naya berharap agar kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut dan melibatkan lebih banyak pihak.

“Generasi muda memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Dengan cara mereka sendiri, mereka bisa membantu mengubah budaya dan membangun masyarakat yang lebih inklusif,” tutup Naya.

Baca juga: Diligent: Generasi Alpha Bengkulu Siap Beraksi

Pentingnya Pendidikan Seksual di Masyarakat Patriarki

Pendidikan seksual kini semakin dianggap penting untuk membekali anak-anak, terutama perempuan, dengan pemahaman mengenai tubuh mereka dan hak-hak pribadi mereka, terutama dalam menghadapi budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. 

Sri Murlianti, akademisi Universitas Mulawarman, menegaskan bahwa pendidikan seksual tidak hanya berkaitan dengan hubungan seksual, tetapi juga dengan konsep otonomi tubuh.

Menurut Sri, salah satu tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan seksual di masyarakat adalah stigma yang sering melekat pada topik ini. Di banyak masyarakat, berbicara mengenai seks masih dianggap tabu, terutama bagi perempuan. Padahal, ketidaktahuan ini sering kali menyebabkan korban kekerasan seksual merasa tidak memiliki hak untuk berbicara atau melaporkan peristiwa tersebut. 

“Pendidikan seksual itu kan sekarang ini kadang-kadang masih sering disalahpahami sebagai pendidikan hubungan seks. Padahal, yang lebih penting adalah tentang otonomi tubuh, tentang tidak boleh orang lain mengintervensi tubuh kita secara seksual tanpa persetujuan orang yang bersangkutan,” ujar Sri. 

Ia juga menyoroti perlunya pendidikan seksual yang lebih mendalam, apalagi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial yang membuat anak-anak muda semakin mudah mengakses berbagai informasi. “Pendidikan seksual saya kira wajib, apalagi sekarang kita berhadapan dengan media yang memungkinkan semua orang mengakses apapun, termasuk pornografi,” lanjutnya.

Sri menekankan pentingnya melibatkan generasi muda, khususnya Gen Z, dalam mengedukasi masyarakat tentang keadilan gender dan kekerasan seksual. Menurutnya, generasi yang lahir pada rentang 1997-2012 ini memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi melalui media sosial dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.

“Gen Z itu yang paling strategis sekarang karena mereka yang punya kemampuan mewacanakan itu dengan bahasa yang asik. Jadi kalau diwacanakan dengan bahasa gaul, bahasa populer, itu barangkali akan lebih banyak membuka kesadaran lapisan masyarakat yang lainnya,” kata Sri.

Semakin berkembangnya teknologi dan media sosial, Sri berharap gerakan-gerakan berkelanjutan yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keadilan gender dan perlindungan tubuh dapat terus berkembang. 

“Gerakan-gerakan yang ada sekarang ini perlu terus diperkuat dan disuarakan agar semakin banyak orang yang sadar dan bisa berbicara tentang isu ini,” ujarnya.

Melalui edukasi yang tepat dan pemahaman yang mendalam tentang hak-hak tubuh dan keadilan gender, diharapkan generasi mendatang dapat hidup dalam masyarakat yang lebih adil dan bebas dari kekerasan seksual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan Harus Mengambil Peran Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan

Lenny N. Rosalin, Wakil Menteri untuk Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Riset: Stigma Negatif Perempuan Perokok di Indonesia Halangi Usaha Pengendalian tembakau

Leave a Comment