Bincangperempuan.com – Pada Ramadan 2025, Ghea Resort by Amanda dan Janna Soekasah meluncurkan koleksi istimewa bertajuk “Purity,” yang menyoroti keindahan serta makna mendalam dari motif Lotus. Motif Lotus dipilih karena merepresentasikan Purity (Kesucian), Liberation (Kebebasan), dan Rebirth (Kelahiran kembali), nilai-nilai yang selaras dengan makna Ramadan serta semangat perubahan.
Layaknya bunga lotus yang tumbuh dari lumpur tetapi tetap bersih dan indah, koleksi ini merefleksikan kekuatan, kebebasan, serta kesempatan dan kesetaraan bagi anak perempuan untuk bertumbuh dan mencapai potensi terbaik mereka.
“Bunga lotus adalah bunga yang indah, tumbuh dalam keadaan yang tidak baik, di air yang keruh, tetapi tetap bisa tumbuh dengan sangat indah,” jelas Janna Soekasah, Creative Director Ghea Resort by Amanda Janna, saat peluncuran koleksi “Purity” di Jakarta Barat pada Minggu (23/3).
Baca juga: Wenni, Asanya untuk Komunitas Adat di Bengkulu
Kolaborasi bersama Plan Indonesia Dukung Pendidikan Anak Perempuan di NTT

“Purity” bukan hanya sekadar koleksi busana, tetapi juga bentuk dukungan Ghea Resort terhadap hak dan kesetaraan anak perempuan. Dalam upaya ini, Ghea Resort bermitra dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) untuk mendukung Girls Fund, sebuah inisiatif yang berfokus pada pendidikan, pemberdayaan, dan perlindungan anak perempuan, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Melalui koleksi “Purity,” Ghea Resort mengajak lebih banyak orang untuk berkontribusi dalam mendukung Girls Fund, sehingga semakin banyak anak perempuan yang dapat meraih masa depan yang lebih cerah. Kampanye ini diwujudkan dalam inisiatif ‘Rise and Bloom,’ yang terinspirasi dari bunga Lotus sebagai simbol pertumbuhan, harapan, dan perubahan.
Sebagai bentuk dukungan nyata, 10 persen dari hasil penjualan koleksi “Purity” akan disalurkan untuk mendukung Girls Fund. Selain itu, Plan Indonesia juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berdonasi melalui plan-international.or.id/ffy. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan lebih banyak anak perempuan yang memperoleh kesempatan untuk berkembang, bertumbuh, dan meraih masa depan yang gemilang.
Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia, menyambut baik kolaborasi ini sebagai upaya nyata dalam memperjuangkan hak anak perempuan.
“Setiap anak perempuan berhak memiliki impian dan memperoleh pendidikan yang layak. Namun, di NTT, banyak dari mereka masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pendidikan. Girls Fund hadir untuk menjembatani kesenjangan ini,” ujarnya.
Baca juga: Menghadapi Perubahan Iklim, Perempuan Petani Kopi Ajukan Ranperdes
Sulitnya Akses Pendidikan bagi Anak Perempuan di NTT
Ningsi dan Ocha, anak-anak NTT penerima manfaat program Girls Fund, membagikan kisah mengenai sulitnya akses pendidikan bagi anak perempuan di NTT.
Ocha mengungkapkan bahwa anak-anak perempuan di NTT menghadapi kendala ekonomi, sehingga orang tua mereka menganggap pendidikan bukan sebagai prioritas.
“Ketika anak-anak yang punya potensi dan mimpi yang begitu besar lulus SMA, mereka bingung mau kuliah kemana. Beberapa contoh teman-teman yang sudah lulus tes kedokteran, mau lanjut tapi tidak bisa karena terkendala biaya pendidikan,” kisah Ocha.
Selain itu, Ningsi bercerita jarak antara rumah dan sekolah yang jauh pun menjadi hambatan dalam mengakses pendidikan.
“Untuk SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu terlalu jauh, dan kita harus menempuh jarak tujuh kilo. Kalau pulang pergi itu 14 kilo,” kisah Ningsi.
Anak-anak perempuan di NTT juga menghadapi beban ganda, dengan harus mengambil air bersih dari sumber mata air yang berjarak dua kilometer dari rumah sebelum mereka bersekolah.
“Ketika kita sudah sampai ke sekolah, kita sudah tidak fokus mengikuti proses belajar di sekolah,” katanya.
Hal lainnya yang menjadi hambatan pendidikan di NTT adalah kentalnya budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai sosok yang tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga. Pandangan ini membuat banyak keluarga lebih memilih menikahkan anak perempuan mereka daripada melanjutkan pendidikan.
“Mereka berpikir bahwa anak perempuan itu, mau dia sekolah setinggi apa pun… dia akan kembali ke dapur mengurus anak dan suami,” kisah Ningsi.
Akibatnya, banyak anak perempuan di NTT yang terpaksa putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk mengejar impian mereka.
Ningsi dan Ocha Bercita-cita Berdayakan Perempuan NTT
Ningsi dan Ocha memiliki mimpi yang sama, yaitu memberdayakan perempuan di NTT.
“Kalau saya dan Ocha, kami sudah punya tujuan untuk berkolaborasi membangun bisnis kain tenun. Kami ingin membantu para ibu di desa secara finansial karena mereka memiliki kemampuan untuk berkarya, tetapi target pasar mereka masih terbatas,” papar Ningsi. Ningsi ingin apa yang dipelajarinya di kampus dapat bermanfaat untuk ekonomi perempuan di NTT.
Ocha menambahkan bahwa tujuan utama mereka bukan hanya sekadar menjual kain tenun, tetapi juga menjadi perantara yang menghubungkan para pengrajin dengan pasar yang lebih luas.
“Jadi, kami lebih fokus pada pemberdayaan dan menjadi jembatan agar mereka bisa dikenal di pasar yang lebih besar,” tuturnya.
Dengan inisiatif ini, Ningsi dan Ocha berharap dapat membuka peluang lebih luas bagi perempuan di NTT untuk berkembang dan meningkatkan kesejahteraan mereka.