Bincangperempuan.com- Pertanyaan seperti, “Kapan punya anak?”, atau “Sudah berapa anak?” sering kali terdengar seperti basa-basi yang wajar di masyarakat kita. Namun, di balik pertanyaan-pertanyaan ini, tersirat ekspektasi sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus memenuhi norma tradisional seperti menikah, memiliki anak, lalu menjalani peran sebagai ibu rumah tangga.
Sebuah pernyataan dari Chef Juna dalam Podcast bersama Deddy Corbuzier pada tahun 2021 sempat menjadi perbincangan, bahkan dianggap kontroversial oleh sebagian orang. Chef Juna menyatakan bahwa keputusan untuk memiliki anak, atau tidak sekalipun, adalah hak istrinya:
“Jika istri saya menginginkan anak, kami punya anak. Jika istri saya tidak ingin anak, maka kita tidak harus punya anak,”
Pernyataan ini sederhana, namun berhasil mengejutkan banyak orang, termasuk Deddy Corbuzier sendiri. Respon ini menyingkap betapa asingnya pemahaman tersebut di masyarakat. Bahkan banyak perempuan yang mengglorifikasi sikap juri MasterChef Indonesia tersebut. Mengapa hal yang sebenarnya logis dan wajar justru dianggap luar biasa?
Melahirkan adalah Hak, Bukan Kewajiban
Memiliki rahim sering kali dijadikan alasan utama untuk menempatkan tanggung jawab reproduksi sepenuhnya pada perempuan. Namun, ada perbedaan besar antara kodrat dan kewajiban. Kodrat adalah kemampuan biologis perempuan untuk hamil dan melahirkan, tetapi kewajiban berarti perempuan “harus” melakukannya. Di sinilah kesalahpahaman yang sering terjadi.
Ketika masyarakat menganggap hamil dan melahirkan sebagai kewajiban, maka tekanan sosial otomatis jatuh kepada perempuan. Narasi seperti “Kapan punya anak?” bahkan tidak hanya datang dari pasangan atau keluarga dekat, tetapi juga dari lingkaran sosial yang lebih luas. Ini menciptakan beban psikologis yang besar, terutama bagi perempuan yang belum siap, belum mampu secara fisik, atau bahkan memilih untuk tidak memiliki anak.
Bahkan, menurut Komnas Perempuan, kehamilan dan melahirkan merupakan hak asasi yang melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya. Artinya perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan apakah ia ingin menjalani proses tersebut atau tidak. Hak ini mencakup kebebasan untuk tidak memiliki anak sama sekali, atau menentukan jumlah anak sesuai dengan pilihannya.
Baca juga: Mengandung dan Melahirkan: Dua Gambaran Kekuatan Perempuan
Perempuan Bukan Satu-satunya yang Bertanggung Jawab
Pertanyaan lain yang perlu diangkat, mengapa tanggung jawab reproduksi sering dibebankan sepenuhnya pada perempuan? Keputusan untuk memiliki anak, seharusnya, adalah keputusan bersama. Namun dalam praktiknya, perempuan sering kali dibiarkan memikul beban ini sendirian.
Hamil bukan hanya soal fisik, tetapi juga emosional, mental, dan bahkan finansial. Tidak sedikit perempuan yang harus meninggalkan pekerjaan atau mengorbankan mimpinya karena tanggung jawab reproduksi. Sementara itu, partisipasi laki-laki dalam urusan ini kerap kali dianggap “tambahan”, bukan kewajiban.
Padahal, jika berbicara tentang reproduksi, tanggung jawab harus dibagi sama rata. Mulai dari perencanaan hingga pengasuhan anak, peran laki-laki tidak bisa dianggap sekadar pelengkap. Apalagi, anak yang dilahirkan adalah hasil dari keputusan dan kontribusi bersama.
Setelah melahirkan, seorang ibu tidak hanya menghadapi tantangan fisik berupa pemulihan pasca-persalinan, tetapi juga beban emosional dan mental yang besar. Dalam hal ini, peran suami sangat penting, tidak hanya sebagai pendukung moral, tetapi juga sebagai bagian aktif dalam merawat bayi dan mengelola tanggung jawab rumah tangga.
Mengapa Suami Perlu Membantu?
Melahirkan adalah proses yang melelahkan dan membutuhkan waktu pemulihan. Selain itu, banyak ibu menghadapi risiko baby blues atau bahkan depresi pascapersalinan akibat tekanan yang berlebihan. Suami dapat membantu meringankan beban ini dengan:
- Mengganti peran dalam pekerjaan rumah tangga
Membantu mencuci piring, memasak, atau membersihkan rumah adalah cara nyata untuk meringankan beban istri yang baru melahirkan. Hal ini memastikan ibu dapat fokus pada pemulihan dan merawat bayi. - Berbagi tanggung jawab merawat bayi
Mengganti popok, menidurkan bayi, atau membantu pemberian susu formula (jika tidak menyusui secara langsung) adalah kontribusi yang dapat dilakukan suami. Selain membantu ibu, ini juga membangun ikatan emosional antara ayah dan bayi. - Memberikan dukungan emosional
Kehadiran suami yang aktif dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi ibu, membantu mengurangi kecemasan dan kelelahan emosional yang sering muncul pasca-melahirkan.
Namun, semua hal ini tidak dapat terwujud jika ayah tidak mendapat hak untuk cuti. Cuti ayah (paternity leave) adalah salah satu langkah nyata yang dapat diambil oleh negara atau perusahaan untuk mendukung peran suami dalam keluarga. Langkah ini memberikan kesempatan kepada ayah untuk turut berperan aktif dalam perawatan bayi yang baru lahir sekaligus mendampingi istrinya selama masa pemulihan pasca-melahirkan.
Baca juga: Kenapa Stretch Mark di Tubuh Perempuan Dianggap “Dosa Sosial”
Pentingnya Hak Cuti Ayah
Pada pertengahan tahun 2024, RUU Kesehatan Ibu dan Anak (RUU KIA) sempat menjadi sorotan publik. Salah satu poin penting dalam rancangan undang-undang tersebut adalah usulan pemberian cuti bagi ayah yang istrinya melahirkan. Meski bertujuan baik, RUU ini menimbulkan kontroversi pada awal kemunculannya. Sebagian pihak menganggap kebijakan ini tidak relevan, terutama karena budaya yang masih mendominasi, yaitu pandangan bahwa merawat bayi adalah tanggung jawab utama perempuan.
Padahal, perempuan yang baru melahirkan tidak hanya menghadapi tantangan fisik, seperti proses pemulihan pasca-persalinan, tetapi juga kerentanan mental, seperti risiko depresi pasca-melahirkan. Oleh karena itu dukungan dari pasangan sangat penting untuk meringankan beban yang dirasakan oleh ibu baru.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa hak cuti ayah sangat penting untuk mendorong kesetaraan dalam mengemban beban reproduksi:
- Mendukung Pemulihan Ibu
Dengan adanya cuti, ayah dapat sepenuhnya hadir membantu ibu di masa-masa awal kelahiran, yang sering kali menjadi periode paling menantang. - Membangun Ikatan dengan Anak
Kehadiran ayah sejak hari pertama kehidupan bayi berdampak besar pada perkembangan emosional anak dan hubungan keluarga secara keseluruhan. - Mengurangi Beban Mental Ibu
Dukungan langsung dari suami membuat ibu merasa tidak sendiri dalam menghadapi tantangan baru sebagai orang tua.
Melahirkan: Proses yang Tidak Bisa Dianggap Remeh
Melahirkan adalah proses yang penuh risiko, baik secara fisik maupun mental. Bahkan, angka kasus kematian ibu melahirkan menurut data Badan Pusat Statistik mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat tiga besar di ASEAN.
Oleh karena itu, menganggap melahirkan sebagai sesuatu yang “wajar” atau “sudah seharusnya” adalah bentuk pengabaian terhadap kompleksitas proses ini.
Jika seorang perempuan memilih untuk hamil dan melahirkan, itu adalah keputusan besar yang memerlukan dukungan penuh, baik dari pasangan maupun lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, jika ia memilih untuk tidak melahirkan, keputusan itu juga harus dihormati tanpa mempertanyakan validitasnya sebagai seorang perempuan.
Pernyataan Chef Juna di atas, mengingatkan kita bahwa tubuh perempuan adalah miliknya, dan ia memiliki hak penuh atas keputusan reproduksinya. Reaksi yang muncul menunjukkan perlunya edukasi lebih lanjut tentang hak-hak perempuan dalam urusan ini. Masyarakat seharusnya berhenti mengukur nilai perempuan dari status reproduksinya, dan mulai menghormati setiap keputusan yang diambil, karena pada akhirnya, melahirkan adalah hak setiap perempuan, bukan kewajiban.
Referensi:
- Badan Pusat Statistik. (2020). Angka Kematian Ibu (AKI) – Maternal Mortality Rate (MMR) – Hasil Long Form SP2020 Menurut Provinsi [Data]. Badan Pusat Statistik. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjIxOSMx/angka-kematian-ibu-aki–maternal-mortality-rate-mmr—hasil-long-form-sp2020-menurut-provinsi–2020.html?
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024, Januari 25). Agar Ibu dan Bayi Selamat. Sehat Negeri Ku. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240125/3944849/agar-ibu-dan-bayi-selamat/?
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (n.d.). RUU KIA: Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Kemenpppa. https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTI1MA%3D%3D
- Komnas Perempuan. (2024, Februari 22). Pernyataan Sikap Komnas Perempuan tentang Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Komnas Perempuan. https://komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-detail/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-tentang-rancangan-undang-undang-kesejahteraan-ibu-dan-anak-ruu-kia
- Tempo. (2024, Maret 22). Pandangan soal Memiliki Anak Kembali Viral, Chef Juna Makin Disanjung Kaum Hawa. Tempo.co. https://www.tempo.co/hiburan/pandangan-soal-memiliki-anak-kembali-viral-chef-juna-makin-disanjung-kaum-hawa-491305