Bincangperempuan.com- Hustle culture atau budaya kerja keras tanpa henti telah menjadi norma dalam dunia profesional yang semakin kompetitif. Budaya ini mendorong individu untuk mengutamakan pekerjaan di atas segalanya, mengabaikan batasan antara kehidupan profesional dan pribadi. Meskipun hustle culture sering kali dipandang sebagai jalan menuju kesuksesan, kenyataannya, budaya ini cenderung lebih menguntungkan mereka yang memiliki privilese. Sementara mereka yang tidak memiliki akses yang sama, seperti perempuan, justru dirugikan. Ketimpangan gender yang sudah ada di tempat kerja semakin diperburuk oleh budaya ini, menciptakan lingkungan yang tidak adil bagi sebagian besar perempuan.
Dalam hustle culture, kesuksesan sering kali diukur dari seberapa banyak waktu dan energi yang dihabiskan untuk bekerja. Mereka yang memiliki privilese, seperti laki-laki, terutama mereka yang tidak terbebani oleh tanggung jawab rumah tangga, cenderung lebih mampu mengikuti ritme ini. Laki-laki yang memiliki akses ke jaringan profesional yang kuat, pendidikan tinggi, dan dukungan dari keluarga, sering kali lebih mudah mencapai posisi puncak di tempat kerja.
Privilese ini memungkinkan mereka untuk bekerja lebih lama dan lebih intens, tanpa harus khawatir tentang tugas-tugas rumah tangga atau perawatan anak. Sementara itu, perempuan, terutama mereka yang berperan ganda sebagai pekerja dan pengasuh di rumah, sering kali tidak memiliki fleksibilitas yang sama. Akibatnya, laki-laki lebih cepat mendaki tangga karier dan memperoleh penghargaan yang datang dengan kesuksesan profesional, seperti kenaikan gaji, promosi, dan pengakuan di industri mereka.
Ketimpangan gender yang diperparah hustle culture
Di sisi lain, hustle culture memperparah ketimpangan gender di tempat kerja dengan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan. Perempuan sering kali menghadapi hambatan yang lebih besar dalam mengejar karier, terutama karena tanggung jawab rumah tangga yang masih banyak diemban oleh mereka. Meskipun ada upaya untuk membagi tanggung jawab ini secara lebih adil, kenyataannya, perempuan sering kali masih menjadi pengasuh utama di keluarga.
Dalam konteks hustle culture, perempuan yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga sering kali dianggap kurang produktif dibandingkan dengan rekan kerja laki-laki mereka. Ini bisa menyebabkan perempuan kehilangan kesempatan untuk dipromosikan atau menerima kenaikan gaji. Selain itu, perempuan yang mencoba mengikuti ritme hustle culture sering kali harus mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka, termasuk kesehatan mental dan fisik, demi memenuhi ekspektasi tempat kerja.
Selain itu, hustle culture juga menciptakan tekanan sosial bagi perempuan untuk tidak hanya sukses dalam karier, tetapi juga menjalankan peran tradisional sebagai ibu dan istri yang sempurna. Tekanan ini dapat membuat perempuan merasa harus menjadi ‘superwoman’ yang mampu melakukan segalanya, tanpa mengakui bahwa mereka juga membutuhkan istirahat dan dukungan. Akibatnya, banyak perempuan yang akhirnya mengalami *burnout* dan kelelahan yang berkepanjangan.
Baca juga: Dekonstruksi Maskulinitas dalam Dunia Kerja yang Kompetitif
Bagaimana hustle culture menghambat kemajuan perempuan
Salah satu dampak paling signifikan dari hustle culture terhadap ketimpangan gender adalah penghambatan kemajuan perempuan di tempat kerja. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, perempuan yang tidak dapat mengikuti ritme kerja yang intens sering kali dianggap tidak cukup ambisius atau tidak berkomitmen terhadap karier mereka. Stereotip ini dapat menghambat kesempatan perempuan untuk dipromosikan atau mendapatkan peran kepemimpinan.
Selain itu, hustle culture cenderung mengabaikan kebutuhan akan fleksibilitas kerja yang sangat penting bagi perempuan, terutama mereka yang memiliki anak kecil atau anggota keluarga yang membutuhkan perawatan. Perusahaan yang menganut hustle culture sering kali tidak memberikan dukungan yang memadai bagi karyawan yang membutuhkan waktu fleksibel atau cuti untuk urusan keluarga. Ini membuat perempuan semakin sulit untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.
Baca juga: Perempuan dalam Lingkaran Hustle Culture
Menuju tempat kerja yang lebih inklusif dan setara
Untuk mengatasi dampak negatif hustle culture terhadap ketimpangan gender, diperlukan perubahan budaya kerja yang lebih inklusif dan adil. Salah satu langkah penting adalah menciptakan lingkungan kerja yang menghargai keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi. Perusahaan harus mengakui bahwa produktivitas tidak hanya diukur dari jumlah jam kerja, tetapi juga dari kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
Selain itu, perusahaan perlu memberikan dukungan yang lebih besar bagi karyawan, terutama perempuan, yang memiliki tanggung jawab rumah tangga. Ini bisa mencakup fleksibilitas waktu kerja, cuti keluarga yang memadai, dan program dukungan bagi orang tua yang bekerja. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, perusahaan tidak hanya akan membantu mengurangi ketimpangan gender, tetapi juga akan meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan karyawan secara keseluruhan.
Selain itu, penting juga untuk mendekonstruksi narasi bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai melalui hustle culture. Perusahaan dan masyarakat perlu meredefinisi arti kesuksesan dengan mempertimbangkan keseimbangan hidup dan kesejahteraan pribadi. Kesuksesan tidak seharusnya hanya diukur dari pencapaian materi dan profesional, tetapi juga dari kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan yang seimbang dan bermakna.