Home » News » Dekonstruksi Maskulinitas dalam Dunia Kerja yang Kompetitif

Dekonstruksi Maskulinitas dalam Dunia Kerja yang Kompetitif

Bincang Perempuan

News

Bincangperempuan.com-  Di era modern yang menutut segala sesuatu menjadi serba cepat hustle culture menjadi salah satu simbol kesuksesan dan produktivitas yang diidolakan banyak orang, terutama di kalangan pekerja profesional. Budaya ini tidak hanya mendorong individu untuk terus bekerja keras tanpa henti, tetapi juga mengangkat standar kesuksesan yang diukur melalui pencapaian materi dan profesional.

Namun, di balik gemerlapnya hustle culture, tersembunyi tekanan yang tidak terlihat, terutama bagi laki-laki, yang seringkali harus berhadapan dengan norma-norma maskulinitas tradisional.  Norma-norma ini mengajarkan bahwa untuk dianggap sebagai laki-laki yang ‘sejati,’ seseorang harus selalu tampil kuat, kompetitif, dan sukses dalam hal finansial.

Hustle culture memperkuat pandangan ini, membuat banyak laki-laki merasa terjebak dalam siklus kerja yang tiada henti, di mana mereka harus terus membuktikan diri melalui prestasi dan pencapaian. Tekanan untuk selalu berada di puncak ini tidak hanya mempengaruhi keseimbangan hidup, tetapi juga kesehatan mental mereka, yang sering kali diabaikan demi memenuhi ekspektasi sosial yang ada.

Maskulinitas dan tekanan untuk sukses

Budaya kerja yang kompetitif, maskulinitas seringkali diukur berdasarkan seberapa sukses seorang laki-laki dalam kariernya. Tekanan ini tidak hanya datang dari lingkungan kerja, tetapi juga dari masyarakat luas yang mengharapkan laki-laki untuk selalu mendominasi dan unggul dalam berbagai bidang. Hustle culture memanfaatkan ekspektasi ini, mendorong laki-laki untuk terus bekerja keras dan mengesampingkan kebutuhan pribadi mereka.

Dampaknya, tekanan yang diciptakan oleh hustle culture ini tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga pada kesehatan mental laki-laki. Tuntutan untuk selalu tampil kuat dan kompetitif seringkali membuat laki-laki menekan perasaan dan kebutuhan pribadi mereka. Mereka mungkin merasa tidak boleh menunjukkan kerentanan atau mengakui bahwa mereka sedang mengalami kesulitan, karena hal itu dianggap sebagai tanda kelemahan.

Studi menunjukkan bahwa laki-laki lebih jarang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental dibandingkan dengan perempuan. Ini sebagian besar disebabkan oleh stigma yang melekat pada maskulinitas tradisional, yang mengharuskan laki-laki untuk selalu terlihat ‘tangguh’. Akibatnya, banyak laki-laki yang menderita dalam diam, menghadapi stres, kecemasan, dan depresi tanpa mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.

Selain itu, hustle culture juga mendorong laki-laki untuk mengorbankan aspek lain dalam hidup mereka demi karier. Banyak laki-laki yang merasa harus mengorbankan waktu bersama keluarga, teman, atau bahkan waktu untuk diri sendiri demi mencapai target pekerjaan. Ini dapat menyebabkan perasaan terisolasi dan kehilangan keseimbangan hidup, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi mental mereka.

Baca juga: Mengenal 6 Tipe Kepribadian Perempuan, Apa Bedanya?

Maskulinitas yang terdefinisi ulang

Adanya peningkatan kesadaran tentang dampak negatif hustle culture, ada kebutuhan yang mendesak untuk mendekonstruksi norma-norma maskulinitas yang selama ini mendikte bagaimana laki-laki harus berperilaku di dunia kerja. Maskulinitas tidak seharusnya diukur hanya dari seberapa sukses seseorang dalam karier atau seberapa kompetitif mereka di tempat kerja.

Sebaliknya, maskulinitas yang sehat seharusnya mencakup kemampuan untuk mengenali dan menghargai perasaan serta kebutuhan pribadi. Laki-laki harus merasa bebas untuk menunjukkan kerentanan mereka dan mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya, tanpa takut dianggap lemah. Dengan mengubah cara pandang ini, laki-laki dapat menemukan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan profesional dan pribadi mereka.

Baca juga: Perempuan Indonesia Masih Diharuskan Meninggalkan Pekerjaan yang Berbayar untuk Memenuhi Kebutuhan Perawatan

Mengatasi tekanan hustle culture

Menghadapi hustle culture dan tekanan yang ditimbulkannya memang bukan hal yang mudah, terutama bagi laki-laki yang telah lama hidup dengan norma-norma maskulinitas tradisional. Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membantu laki-laki mencapai keseimbangan yang lebih sehat.

Pertama, penting bagi laki-laki untuk menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini bisa berarti menetapkan jam kerja yang realistis dan disiplin dalam menghormati waktu istirahat. Mengambil waktu untuk beristirahat dan melepaskan diri dari tekanan kerja dapat membantu mencegah burnout dan menjaga kesehatan mental.

Kedua, laki-laki perlu belajar untuk mengakui dan menghargai kebutuhan pribadi mereka. Ini termasuk kebutuhan untuk beristirahat, bersosialisasi, dan menikmati kegiatan yang mereka sukai di luar pekerjaan. Menghargai diri sendiri dan memberikan ruang untuk kesejahteraan pribadi adalah langkah penting dalam menciptakan keseimbangan hidup yang sehat.

Ketiga, penting bagi laki-laki untuk mencari dukungan ketika mereka membutuhkannya. Baik itu dalam bentuk konseling profesional atau dukungan dari keluarga dan teman-teman, mencari bantuan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Dengan membuka diri terhadap bantuan, laki-laki dapat lebih baik dalam menghadapi stres dan tekanan yang datang dari hustle culture

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Sunat Perempuan di Indonesia

Kontroversi Sunat Perempuan di Indonesia

Implementasikan Prinsip Non-Punishment bagi Korban TPPO

Tubuh Perempuan saat Masa Menopause

Leave a Comment