Home » Isu » Buruh » Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Jangan ada lagi kekerasan seksual di lingkungan kerja

Bincangperempuan.com- Kuatnya relasi kuasa yang dimiliki atasan membuat kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja jarang terungkap. Rasa takut kehilangan mata pencarian dan khawatir mendapat gunjingan dari rekan kerja membuat korban enggan melaporkan pelecehan yang dialaminya. Untuk itu, perspektif adil gender perlu diintegrasikan dalam instrumen pengawasan ketenagakerjaan sebagai langkah membasmi kekerasan seksual di lingkungan kerja. 

Pengakuan karyawati yang menjadi korban ajakan pergi berdua (staycation) oleh manajernya kembali menunjukkan tingginya potensi kekerasan seksual di lingkungan kerja. Karyawati di perusahaan Cikarang tersebut mengaku ajakan ini dilakukan pada masa perpanjangan kontrak setiap tiga bulan. Apabila permintaan tersebut tidak dituruti, sang manajer mengancam akan memutus kontraknya. Menurut penjelasannya, ancaman semacam ini sudah jadi hal umum dan telah banyak diketahui karyawan lain. Saat ini karyawati tersebut telah membuat laporan aduan ke kepolisian. 

Baca juga: Jasa Rasminah Abadi Melampaui Zaman

Kasus staycation tersebut selaras dengan kajian Perempuan Mahardhika mengenai pelecehan seksual di industri garmen pada tahun 2017. Sejumlah karyawati mengaku pernah diajak, bahkan dipaksa untuk berhubungan seksual dengan atasannya.

Kekerasan seksual juga terjadi pada buruh media. Seorang redaktur senior Harian Radar Lawu melakukan pelecehan pada seorang reporter magang. Korban mengalami pelecehan baik secara verbal maupun tindakan, seperti memeluk, meraba, mencium, bahkan mengajak tidur. Kejadian tersebut kerap dilakukan saat jam kerja di hadapan rekan korban. Walau demikian, mereka memilih diam karena segan dengan pelaku. Korban sebenarnya sempat melapor ke pemimpin redaksi, tetapi tidak direspons. 

Risiko sistem kerja kontrak

Kekerasan seksual jadi ancaman terselubung, khususnya bagi pekerja dengan sistem kontrak. Mereka memiliki posisi tawar yang lemah karena berlanjut tidaknya sebuah kontrak kerja sangat bergantung pada pertimbangan subjektif pemilik kerja atau atasan. Korban kekerasan seksual seakan tidak lantas merasa memiliki hak untuk melapor. Di sisi lain, perlindungan setelah menjadi pelapor juga kerapkali sulit didapatkan. 

Pekerja kontrak terikat periode kerja yang di dalamnya tidak terdapat kenaikan jenjang karier. Banyak di antara mereka adalah pekerja berkeahlian rendah sehingga sulit untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Pemutusan hubungan kerja menjadi kenyataan yang menyakitkan. Terlebih, banyak perusahaan yang tidak memberi pesangon pada para karyawan kontrak ini. 

Rendahnya daya tawar para pekerja ini jadi peluang bagi pelaku kekerasan seksual. Pelaku merasa memiliki kekuasaan dan otoritas pada korbannya sebab ada status yang tidak setara di lingkungan kerja. Repotnya, semakin tinggi status seorang pelaku maka makin lihai pula mereka dalam mengendalikan seseorang. Dengan kata lain, pelecehan yang dilakukan menjadi terselubung. 

Dalam jangka panjang, sistem kontrak ini juga memberi dampak yang buruk bagi kesejahteraan pekerja. Mereka rentan mengalami pelanggaran upah minimum, tunjangan hari raya, kompensasi, hingga jaminan sosial. Upah minim, beban kerja tinggi, dan risiko kekerasan seksual jadi kolaborasi luar biasa dalam melanggar hak asasi manusia mereka. 

Sayangnya, negara yang semestinya memberi perlindungan justru semakin melemahkan posisi para pekerja. Sikap itu dapat dilihat dalam pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur durasi karyawan kontrak yang bisa berlaku hingga lima tahun. Padahal sebelumnya, maksimal hanya tiga tahun. Aturan tersebut juga dapat diberlakukan pada berbagai sektor karena tidak lagi didasarkan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Ketika sistem kerja di Indonesia belum dapat memberikan perlindungan kerja, aturan tersebut justru hadir dan menambah kerentanan bagi pekerja kontrak. 

Pelaksanaan instrumen hukum 

Kekerasan seksual dimaknai sebagai tindakan untuk memanipulasi orang lain dan membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Komnas Perempuan membaginya menjadi 15 bentuk. Salah satu yang kerap terjadi adalah pelecehan seksual. Sebuah tindakan dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Baik itu main mata, siulan, ucapan bernuansa seksual, colekan, ataupun mempertunjukan materi pornografi. Tindakan tersebut mengakibatkan seseorang merasa tidak nyaman, direndahkan martabatnya, tersinggung, atau mungkin berdampak pula pada kesehatan dan keselamatannya. 

Kekerasan seksual jadi kejahatan yang sulit ditangani karena nilai-nilai moralitas di masyarakat. Para korban akan dianggap sebagai aib ketika mengalaminya. Seakan kehormatan dan kesucian mereka hilang seketika. Pada banyak kasus, korban justru dianggap jadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Fenomena-fenomena tersebut membuat para korban lebih memilih bungkam.

Baca juga: Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88/2023 tentang pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja jadi aturan yang mesti segera direalisasikan. Aturan tersebut melingkupi upaya pencegahan, penanganan, pemulihan korban, hingga pembentukan satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. 

Aturan tersebut jadi langkah konkret karena memberikan pedoman sehingga pengusaha dapat memberi sanksi pada pelaku. Mulai dari surat peringatan, pindah tugas, mengurangi kewenangan, pemberhentian sementara, hingga pemutusan hubungan kerja. Di samping itu, korban, rekan, bahkan keluarga juga tetap berhak mengajukan laporan pada kepolisan sehingga pelaku bisa mendapat sanksi pidana.

Pembentukan satgas juga diharapkan bisa ikut melindungi keamanan korban ketika berani bicara atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Di sisi lain, ikut menangani trauma yang mungkin dialami. Perusahaan juga mesti menjamin korban tetap bisa bekerja di perusahaan apabila menginginkan.

Setiap pekerja di Indonesia, baik itu laki-laki dan perempuan berhak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi dalam dunia kerja, termasuk kekerasan seksual. Untuk itu, pelaksanaan instrumen hukum bagi pekerja terutama di sektor rentan semakin diperlukan. Ini adalah upaya konkret yang mesti disegerakan demi membasmi kekerasan seksual di lingkungan kerja.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Dewan Pers Keluarkan Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers

Dewan Pers Keluarkan Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Ucapkan “Tobrut” Bisa Didenda Rp10 Juta

Gerakan #MeToo

Rendahnya Popularitas #MeToo di Indonesia

1 Comments

  1. Hallo, saya sangat berterimakasih dengan adanya artikel ini yang mana akan sangat membantu bagi para korban atau sebagai pencegahan dengan adanya hukum dan pembetukan satgas baik di lingkungan kerja maupun perguruan tinggi yang mana kerap terjadi pelecehan seksual baik secara verbal maupun kontak fisik yang membuat rugi korbannya

    Reply

Leave a Comment