Home » News » Mendukung Langkah Pemerintah Indonesia Padat Karya, Menilik Lebih Dalam Hak Pekerja

Mendukung Langkah Pemerintah Indonesia Padat Karya, Menilik Lebih Dalam Hak Pekerja

Sylvi Sabrina

News

Bincangperempuan.com– Sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” mendukung bahwa setiap masyarakat, khususnya warga negara Indonesia, mengemban hak untuk memiliki pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). 

“Kalau kita lihat melalui haknya (pekerja), yaitu jaminan (yang tertulis) pada UUD NRI Tahun 1945, yaitu setiap orang berhak memperoleh pekerjaan untuk hidupnya secara layak,” Ucap narasumber kali ini, yaitu Ibu Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H., yang akrab dipanggil Ibu Siti, sebagai salah satu dosen Hukum Ketenagakerjaan di Fakultas Hukum.

Lebih lanjut, hak para pekerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pada peraturan ini, tertulis bahwa hak yang melekat dengan para pekerja, yaitu:

  1. Hak untuk memperoleh upah yang layak; 
  2. Hak untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dari perusahaan tanpa diskriminasi;
  3. Hak untuk mendapatkan pelatihan kerja untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja;
  4. Hak untuk melaksanakan kerja sesuai waktu yang ditentukan; Tujuh jam dalam satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau delapan jam dalam satu hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu. 
  5. Hak atas penempatan tenaga kerja; 
  6. Hak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja; 
  7. Hak mendapatkan kesejahteraan melalui jaminan sosial tenaga kerja; 
  8. Hak ikut serta dalam serikat pekerja; 
  9. Hak mendapatkan cuti;  Minimal 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama satu tahun secara terus menerus 
  10. Hak istirahat; Setelah empat jam bekerja secara terus menerus, pekerja mendapat kesempatan istirahat selama minimal setengah jam. 
  11. Hak cuti melahirkan dan cuti haid khusus karyawan perempuan;
  12. Hak melaksanakan ibadah; 
  13. Hak melakukan mogok kerja; dan
  14. Hak mendapatkan pesangon apabila terjadi pemutusan hubungan kerja atau PHK.

“Artinya, di luar yang sudah ditentukan di peraturan, seperti jam kerja dan hari kerja, itu dapat diatur dalam pola izin, hampir mirip izin tidak kerja, tetapi intinya dia berhak untuk tidak melakukan pekerjaan yang nanti berkaitan dengan upah. (Perlu diingat) dia juga tetap berhak untuk mendapatkan upah (meskipun menggunakan haknya untuk melakukan izin),” tambah Ibu Siti. 

Apabila terdapat suatu perusahaan yang melangkahi peraturan yang sudah ditentukan tersebut maka perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi.

Perempuan dan Hak Pekerja

Walaupun hak para pekerja sudah tertulis dalam berbagai peraturan di Indonesia, tetapi sangat disayangkan masih terdapat perusahaan yang tidak menerapkan peraturan ini.

Dewasa ini, sudah umum ditemukan perempuan yang merangkap sebagai pekerja di berbagai industri. Adanya hal ini menimbulkan hak yang diperuntukan bagi perempuan dalam melaksanakan pekerjaannya. Dilihat dari sisi biologis, perempuan mengalami haid, melahirkan, ataupun nifas yang terkadang mempengaruhi aktivitas sehari-hari. 

Perempuan yang sedang mengalami haid seringkali merasakan efek tidak nyaman seperti perut yang terasa nyeri, sakit di seluruh sendi dan kepala, rasa lelah, serta perubahan suasana hati yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Selama berlangsungnya waktu haid, dapat dimungkinkan perempuan sulit untuk melakukan tugas-tugasnya secara efektif atau bahkan tidak dapat bekerja sama sekali. Dengan demikian, adanya cuti haid yang dapat diberikan kepada pekerja perempuan dapat membantu meringankan pekerjaan mereka serta mendorong untuk beristirahat dengan cukup agar nantinya dapat bekerja lebih baik secara fisik dan mental.

“Cuti haid itu disebutkan (dalam peraturan) dapat digunakan oleh si pekerja kalau dia sakit. Jadi, kalau si pekerja merasa sakit, dia tidak bisa melakukan pekerjaannya, dia boleh menyampaikan (keluhannya) dan melakukan istirahat, tidak bekerja, dan dia tetap dapat mendapatkan upahnya ketika dia haid,” ucap Ibu Siti.

Selain UU Ketenagakerjaan, peraturan mengenai cuti haid juga diatur lebih rinci dan mendalam pada dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau perjanjian kerja. 

“Biasanya diatur juga sama perusahaan, harus terdapat keterangan dokter, harus ada pemeriksaan dokter bahwa ia betul sakit (selama haid), nah, makanya penggunaan hak tersebut tidak serta merta. Pekerja (sebelumnya) harus memberitahukan bahwa ia lagi haid. Kalau dia (pekerja) tidak sakit juga tidak menjadi hilang kewajibannya untuk kerja, hal ini diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, hal ini juga berlaku pada melahirkan,” tambahnya.

Hak untuk menggunakan cuti haid tidak secara langsung berlaku, tetapi membutuhkan pemberitahuan terlebih dahulu kepada perusahaan. Sayangnya, adanya cuti haid ini terkadang disalahgunakan dalam suatu hal yang curang demi kepentingan pribadi seseorang.

“Pada teori penegakan hukum, hukum itu bisa ditegakkan, apabila terdapat empat hal, yaitu aturan hukumnya jelas, penegak hukumnya tegas, masyarakatnya memang mendukung aturan, dan budayanya. Jadi, kalau empat hal itu tidak ada, jangan harap hukum itu bisa tegak,” komentarnya.

Apabila terdapat perusahaan yang tidak menjalankan perusahaannya sesuai dengan peraturan yang ada, maka pegawai dapat melaporkan perusahaan tersebut kepada pegawai pengawas sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Tim kami berhasil untuk mewawancarai seorang Human Resource (HR), Nafa, di salah satu perusahaan di Jakarta mengenai keberlakuan cuti haid di kantor tersebut. 

“Kalau di company kita, bukan tidak diperbolehkan (cuti haid), melainkan cuti haid ini disatukan dengan sick leave yang unlimited as long as they have logical reason. So far kalau memang ada employee yang sakit karena haid, gak pernah gak di approve saat pengajuan sick leave,” ujar Nafa

Dalam kantor tersebut, terdapat adanya penggabungan antara cuti haid dan cuti sakit (sick leave) yang bersifat tidak terbatas untuk digunakan oleh para pekerja. Dalam pengajuan sick leave pada konteks nyeri haid juga tidak membutuhkan surat dari dokter sebagai hal pendukung. 

“Apabila ada pegawai yg mengalami nyeri haid, bisa mengajukan sick leave dengan syarat perlu ada komunikasi intens dengan Team Leader untuk approval-nya. So far memang tidak pernah ada yg tidak di approve untuk pengajuan sick leave ini. Kalau memang sudah apply sick leave, akan lebih baik sehingga yang bersangkutan bisa fokus dalam istirahat dan comeback healthy in the next day. Instead of fokus terhadap permintaan untuk cuti haid, lebih baik memanfaatkan benefit dari company yang ada, yaitu sick leave. Salah satu culture kita, yaitu openness and trust, so kalau memang menerapkan ini, tidak akan ada masalah dalam hal-hal kecil maupun besar. Both leader and employee bisa open and trust to each other,” tambah Nafa. 

Diharapkan kedepannya banyak perusahaan yang semakin menyadari pentingnya cuti haid pada perempuan dan semakin mengedepankan hak pekerja dalam beroperasionalnya. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang terus terjalin antara seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk memastikan bahwa hak pekerja dihormati dan dilindungi dengan baik. Demi menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan produktif bagi pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara keseluruhan. (Sylvi Sabrina)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, hak perempuan, perempuan pekerja

Artikel Lainnya

Standar Kecantikan

Rekonstruksi Perempuan dalam Kontes Kecantikan

Komi Kendy, Ketua AMSI Wilayah Perempuan Pertama di Indonesia

Keterikatan Perempuan dengan Kecantikan

Leave a Comment