Home » Opini » Jangan Trauma Menikah

Jangan Trauma Menikah

Bincangperempuan.comBPer’s, kisah perpisahan public figure bukanlah gambaran pengalaman personalmu. Tetaplah optimis.

Tidak dipungkiri, menikah mungkin suatu impian bagi sebagian orang, sebagaimana hal tersebut didasari oleh keinginan untuk hidup bersama, faktor biologis, rasa kasih sayang, hingga sunah dari agama.

Pernikahan menjadi ritual “suci” yang terus terjadi hingga saat ini, meskipun secara kultural, sistem pernikahaan saat ini mengalami pergeseran pola dan dinamika, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tipe generasi.

Setelah membahas tentang perselingkuhan, lantas membahas pernikahan, kenapa kedua topik ini sedemikan penting untuk dikupas, dibahas, dan diinternalisasi. Sehingga tidak lagi menormalisasi sudut pandang dan perilaku patriarkis di masyarakat.

Bila dalam sistem tradisional, pernikahan sedemikian “kokoh” dijaga nilai kesakralannya, karena merupakan budaya yang luhur. Hal ini karena setiap relasi terikat oleh ikrar atas agama dan adab.

Saat ini, pernikahan menjadi sesuatu yang berkurangnya nilai dan maknanya, karena pelbagai tantangan sistem sosial sehingga menyebabkan kerentanan hubungan menjadi tinggi. Akibatnya, jika seseorang tidak berhasil melalui tantangan dan risiko maka relasi tersebut berpotensi mudah rusak bahkan bercerai.

Bila dahulu, istilah dalam pernikahan yang ditemui seputar “perselingkuhan” secara fisik dan emosional sehingga dikenal dengan WIL (Wanita Idaman Lain) dan PIL (Pria Idaman Lain).

Perselingkuhan juga, tidak dianggap sebagai permasalahan serius dan dianggap aib keluarga yang harus disembunyikan, sehingga pasangan (terutama perempuan) memiliki sikap bertahan untuk menjaga hubungan bagaimanapun bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Baca juga: Ulas Konten Anak Lewat Screen Score

Saat ini, bentuk dari pergeseran nilai dan makna pernikahan, yakni adanya pola relasi “instan” yang dijadikan sebagai suatu upaya pelarian dari hubungan pernikahan yang dianggap “klise, kuno, saklek, dan terlalu menuntut pasangan untuk menjadi subyek yang ideal”. Ideal yang dibayangkan tentu saja seperti pernikahan dalam sistem tradisional terdahulu.

Faktanya, perubahan sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik mempengaruhi perubahan di dalam institusi keluarga. Singkatnya, membentuk seseorang menjadi subyek baru yang tidak pasti. Hal ini didukung dengan kemutakhiran teknologi, yang mendidik subyek menjadi sedemikian instan, sehingga setiap orang bisa saja berubah secara cepat, baik dalam proses berpikir dan bertindak. Terutama pada saat mengalami kejenuhan dalam pernikahan, seseorang tidak dapat diprediksi saat melakukan tindakan sesuai moral ataupun anomali (menyimpang).

Saking instannya, pernikahan di masa kini memiliki variasi yang memfasilitasi pertemuan secara online dan offline. Sehingga ketika melewati fase kejenuhan dalam pernikahan, seringkali tindakan anomali ini dianggap sebagai upaya menghilangkan jenuh.

Istilah-istilah anomali yang tidak ditemukan dalam sistem pernikahan tradisional, yakni:

  • Open BO (Prostitusi yang difasilitasi oleh Media Sosial)
  • Pelakor (Perebut Laki Orang)
  • Pebinor (Perebut Bini Orang)
  • FWB (Friend With Benefit)
  • ONS (One Night Stand)
  • Short Time (Prostitusi Jangka Pendek)
  • Fetish (Tipe Khusus Terkait Seksualitas)

Anomali dalam pernikahan ini, tentu saja dapat membuat siapa saja merasa panik, takut, cemas ketika berkaitan dengan pernikahan. Ini memberikan trauma kolektif kepada generasi saat ini, untuk mempertimbangkan ulang dalam membangun komitmen saat memiliki pasangan, apakah akan dalam hubungan non-marriage (tinggal bersama tanpa pernikahan) atau mengikatkan diri dalam hubungan pernikahan sesuai aturan institusi agama dan negara.

Melihat sajian publik mengenai citra buruk pernikahan yang mereka jalani, memberikan testimoni di pelbagai media sosial seperti :

“Menikah menakutkan”

“Menikah bukan solusi”

“Menikah adalah awal mula memilih masalah seumur hidup”

“Menikah adalah kompromi dan berjuang bersama”

“Risiko terburuk menikah adalah perceraian, sehingga harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi”

“Hingga saat ini, saya tidak mempercayai suami saya 100%”

Dimana, rata-rata yang mengomentari demikian adalah perempuan, karena sebagai bentuk kesadaran kolektif mengenai “sikap buruk laki-laki yang jangan dinormalisasi”.

Baca juga: Rahim Perempuan Bukan Milik Negara

Sebagai sesama perempuan, semestinya mitos mengenai “jumlah perempuan lebih banyak dari laki- laki” sebaiknya tidak membuat perempuan takut dan panik sehingga merasa berhak memiliki “seseorang” yang menjadi pasangan orang lain. Berusahalah untuk tekun dalam mengenali diri, mengeksplor diri, dan meningkatkan value diri. Hingga suatu saat nanti menemukan pasangan yang menjadi takdir belahan hatinya. Selamat berproses!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Jomblo, “Kutukan” atau Keuntungan? Ini Penjelasannya

Menguatnya Narasi Konservasi Berbasis Hak Perempuan: Catatan Akhir 2020

Jurnalis perempuan dan UU TPKS

Jurnalis Perempuan dan UU TPKS

Leave a Comment