Home » News » Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta, Tak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta, Tak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Ais Fahira

News

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta Bahwa Tidak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Bincangperempuan.com- Kasus Gisèle Pelicot mengguncang dunia, bukan hanya karena kebrutalan yang dialaminya, tetapi juga karena keberaniannya dalam mengungkap kebenaran pahit yang jarang dibicarakan. Bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di tempat yang dianggap paling aman sekali pun yaitu “rumah”.

Kekerasan seksual bukan lah sekadar tindakan spontan, tetapi sering direncanakan secara sistematis. Itulah yang telah dialami Gisèle, seorang perempuan yang diperkosa oleh lebih dari 50 lelaki, termasuk oleh suaminya sendiri, Dominique Pelicot. 

Kronologi Kasus

Kasus Gisèle Pelicot mencuat pada 2019, di mana pelaku utamanya adalah suaminya sendiri Dominique Pelicot. Ia merekam  aksi pemerkosaan terhadap Gisèle dalam rentang waktu dari tahun 2011 hingga tahun 2019. Aksi pemerkosaan tersebut melibatkan 50 lelaki. Bahkan satu pelaku adalah penjaga penjara, dan bukti berupa video memperlihatkan banyak laki-laki lain dengan sadar ikut memperkosa Gisèle. Sebagian besar dari 50 pelaku berasal dari kota-kota dan desa-desa dalam radius 50 km dari Mazan, tempat tinggal keluarga Pelicot.

Selama kejadian tersebut Gisèle tidak sadarkan diri karena suaminya telah membiusnya entah itu dengan obat tidur mau pun pil anestesi. Walau demikian, ia memilih menayangkan bukti video di pengadilan, ia menunjukkan keberanian luar biasa untuk memutarbalikkan stigma bahwa rasa malu seharusnya ditanggung oleh pelaku, bukan korban.

Jaksa menyebut, bukti-bukti yang terkumpul menjadikan kasus ini unik. Karena pelaku kesulitan membantah tuduhan pemerkosaan. Tetapi, sebagian besar dari mereka menilai bahwa hal tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai pemerkosaan karena tidak ada unsur “paksaan”.

Undang-undang pemerkosaan di Prancis sendiri mendefinisikan pemerkosaan sebagai tindakan seksual apa pun yang dilakukan dengan “kekerasan, paksaan, ancaman, atau kejutan”, undang-undang ini tidak merujuk pada perlunya persetujuan. Sehingga para terdakwa juga berpendapat bahwa mereka tidak bisa ditetapkan bersalah melakukan pemerkosaan karena mereka tidak menyadari Gisèle Pelicot tidak dalam posisi untuk memberikan persetujuannya. 

Seperti dilaporkan BBC, sebagian besar pelaku mengklaim dimanipulasi dan ditipu oleh Dominique. Dari 50 orang, hanya Jean-Pierre M, seorang pria 63 tahun yang dijuluki “murid” Dominique, yang tidak dituduh memperkosa. Namun, ia membantu Dominique dalam membius Gisèle.

Selain itu, penyidik kesulitan menemukan bukti kuat bahwa para pelaku datang secara sukarela. Meski begitu, tidak ada satu pun yang melapor ke polisi. Jacques C, seorang pemadam kebakaran berusia 73 tahun, mengaku sempat mempertimbangkan melapor tetapi merasa tidak perlu. Sementara itu, Patrice N, teknisi listrik 55 tahun, mengatakan ia tidak ingin “membuang waktu di kantor polisi.”

Gisèle menyayangkan tindakan tersebut, ia tidak hanya dikhianati oleh suaminya, tetapi juga oleh masyarakat yang membiarkan kekejaman ini terjadi tanpa melaporkannya.

Baca juga: Sudah Terjadi 13 Kasus: Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah

Kekerasan Seksual: Sistem yang Gagal Melindungi Perempuan

Megan Clement, dalam artikelnya di Les Glorieuses, menegaskan bahwa kasus ini bisa menjadi momentum perubahan bagi para penyintas kekerasan seksual. Clement menilai kondisi Prancis masih jauh dari kata aman bagi perempuan, karena sebagian besar pelaku terbebas dari jerat hukum. Sebelum kasus Gisèle mencuat, sebanyak 94% laporan kekerasan seksual yang diterima kepolisian dibatalkan oleh jaksa sebelum masuk ke persidangan. Jika Dominique Pelicot dan terdakwa lainnya dijatuhi hukuman, mereka akan menjadi bagian kecil dari pelaku pemerkosaan yang berhasil diadili, sebuah realitas yang tragis mengingat tingginya angka laporan kasus serupa. Data menyebutkan, hanya sekitar 15% pelaku kekerasan seksual di Prancis yang benar-benar dihukum.

Clement menegaskan bahwa kekerasan seksual bukan peristiwa yang “alami” atau spontan, melainkan kejahatan yang direncanakan secara sadar oleh pelaku. Dalam kasus Gisèle, meskipun sebagian terdakwa beralasan telah dimanipulasi oleh Dominique Pelicot, tidak ada bukti yang mendukung bahwa mereka dipaksa untuk melakukan pemerkosaan. Mereka tetap membuat keputusan untuk bertindak. 

Selain itu pengadilan tertutup sering dijadikan cara untuk melindungi korban dari rasa malu, tetapi Clement menyoroti bahwa proses ini justru membatasi pemahaman publik tentang dampak kekerasan seksual. Gisèle Pelicot justru menolak pendekatan ini ia meminta agar persidangan dilakukan secara terbuka dan bahkan mengizinkan pemutaran bukti video pemerkosaan. Keputusannya ini bertujuan untuk membalikkan stigma bahwa korban tidak seharusnya malu, melainkan pelaku dan sistem yang melindungi mereka yang harusnya malu. Gisèle ingin menunjukkan bahwa pemerkosaan bukan hanya tindakan individu, tetapi kejahatan sistematis yang merusak secara kolektif.

Baca juga: Bayang-bayang Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan dan Anak di Tanah Syariat

Membuka Fakta Bahwa Tidak Ada Ruang Aman untuk Perempuan

Kasus ini juga membuktikan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di lingkungan yang dianggap paling aman yakni rumah sendiri. Gisèle menjadi korban kekejaman suaminya, Dominique, serta pengkhianatan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Sistem hukum dan struktur sosial yang patriarkal justru sering kali menjadi alat yang memungkinkan kekerasan

Kisah Gisèle Pelicot adalah pengingat bahwa tidak ada ruang yang benar-benar aman bagi perempuan jika kekerasan seksual terus dinormalisasi. Dari rumah hingga tempat kerja, dari institusi hingga media, perempuan menghadapi ancaman kekerasan yang sering kali direncanakan dengan detail dan dilakukan dengan dukungan struktur sosial yang mendukung patriarki.

Namun, keberanian Gisèle Pelicot juga membawa secercah harapan. Dengan suaranya yang lantang menolak diam, ia menginspirasi dunia untuk lebih terbuka dalam menghadapi fakta kekerasan seksual. Kasus ini mengingatkan kita bahwa korban memiliki hak untuk berbicara dan menuntut keadilan, sementara sistem hukum dan sosial harus berbenah untuk melindungi mereka, bukan sebaliknya.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Cerita Twineester Melawan Stigma Penari Hip Hop di Aceh

Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim 

Care Worker

Komnas Perempuan: Bahas dan Sahkan RUU PPRT

Leave a Comment