Home » Opini » Kenapa Masih Banyak Perempuan Takut Speak Up Soal KDRT ?

Kenapa Masih Banyak Perempuan Takut Speak Up Soal KDRT ?

Bincang Perempuan

Opini

Kenapa Masih Banyak Perempuan Takut Speak Up Soal KDRT

Oleh : Fitrah Ningsih

Bincangperempuan.com- Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami Cut Intan, selebgram Indonesia, baru-baru ini viral di media sosial. Hal ini mengundang perhatian luas dari publik. Namun, apa yang terjadi pada Cut Intan hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus KDRT yang sering kali tidak terungkap ke permukaan. Di balik setiap cerita yang menjadi viral, ada banyak perempuan lain yang terus terperangkap dalam siklus kekerasan, terbungkam oleh ketakutan, dan terhalang oleh stigma sosial.

Lalu, mengapa mereka takut untuk speak up?

Sebagai seorang Mental Health First Aider yang telah dilatih dan terakreditasi oleh Mental Health First Aid Australia, saya seringkali dihadapkan dengan berbagai kasus yang melibatkan depresi, kecemasan, dan trauma yang dialami oleh orang sekitar. Ketika kasus seperti ini menjadi perbincangan publik, saya melihat masih banyak netizen bahkan sesama perempuan tidak mampu menunjukan rasa empati. Sehingga mereka secara terang-terangan berkomentar di media sosial yang bernada menyalahkan korban, seperti, “Sudah tahu suami suka memukul, kenapa tidak ditinggalkan dari awal?” Komentar seperti ini tidak hanya menunjukkan kurangnya empati, tetapi juga ketidaktahuan tentang kompleksitas situasi yang dihadapi oleh korban.

Bukannya memberi dukungan, komentar tersebut justru memperparah kondisi mental korban, mengukuhkan rasa malu, dan memperkuat penghalang untuk melangkah keluar dari situasi berbahaya.

Dalam psikologi, kita memahami bahwa KDRT bukan hanya tentang kekerasan fisik, ini juga tentang kontrol psikologis dan emosional yang merusak. Rasa takut yang menghantui korban sering kali tidak berdiri sendiri. Ia bersanding dengan ketergantungan ekonomi, tekanan sosial, dan bahkan perasaan cinta yang paradoksal terhadap pelaku.

Lingkungan sosial menjadi faktor penguat, perempuan yang berada dalam hubungan beracun sering merasa terperangkap karena takut dihakimi oleh masyarakat atau kehilangan dukungan dari keluarga dan teman. Stigma yang melekat pada korban KDRT seringkali menghalangi mereka untuk berbicara, karena mereka takut dianggap sebagai pihak yang lemah atau tidak mampu melindungi diri.

Penting untuk memahami bahwa kekerasan psikologis yang dialami korban seringkali jauh lebih sulit terlihat, namun dampaknya sangat mendalam. Perasaan tidak berharga, ketakutan akan masa depan, dan sensasi terjebak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, menjadikan keluar dari situasi tersebut terasa mustahil. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak korban memilih untuk diam, bukan karena mereka tidak tahu harus bertindak, tetapi karena mereka merasa tidak memiliki kekuatan atau dukungan yang cukup untuk melakukannya.

Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk mengubah narasi ini. Alih-alih menyalahkan korban, kita perlu membangun empati dan dukungan. Kita harus memberikan ruang yang aman bagi mereka untuk berbicara tanpa rasa takut, serta memahami bahwa setiap korban menghadapi tantangan yang unik dalam upaya mereka keluar dari lingkaran kekerasan. Dukungan dari lingkungan sosial, teman, dan keluarga sangatlah krusial dalam proses pemulihan. Tanpa dukungan ini, banyak korban yang merasa tidak memiliki kekuatan untuk melarikan diri dari situasi yang mereka hadapi.

Selain itu, media sosial memainkan peran yang signifikan dalam dinamika ini. Di satu sisi, platform ini dapat menjadi alat yang kuat untuk memperkuat suara korban dan meningkatkan kesadaran publik. Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat menjadi arena di mana korban diserang, dihakimi, dan disalahkan. Penting bagi kita sebagai pengguna media sosial untuk lebih bijaksana dalam memberikan komentar, dengan memilih untuk mendukung daripada menghakimi.

Kita semua memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang lebih peka dan peduli. Dengan memperkuat solidaritas dan menunjukkan dukungan nyata, kita dapat membantu lebih banyak perempuan yang mengalami KDRT untuk berani speak up dan mengambil langkah pertama menuju kehidupan yang lebih baik. Edukasi tentang kesehatan mental, dukungan sosial, dan pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas kita semua. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan perubahan yang bermakna dan memberikan harapan serta masa depan yang lebih baik bagi mereka yang menjadi korban KDRT.

Empati, dukungan, dan pemahaman adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata dan memastikan bahwa suara-suara yang selama ini terbungkam dapat didengar dan dihargai.

*) Penulis adalah Master of Strategic Communications sekaligus Founder of Global Voice Connect; tempat pelatihan Komunikasi dan persiapan beasiswa Luar Negeri untuk membantu anak-anak Indonesia khususnya Maluku Utara agar bisa menggapai jenjang pendidikan lebih tinggi dan lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Rendahnya partisipasi politik perempuan

Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Solusi Datang dari Keluarga

Mengurai Pengetahuan dan Hak Kolektif Perempuan Adat

Mengurai Pengetahuan dan Hak Kolektif Perempuan Adat

Pumping ASI Eksklusif

Edukasi Kebutuhan ASI Eksklusif, Melalui Pumping pada Ibu Pekerja

Leave a Comment