Bincangperempuan.com- B’Pers pernah melihat perempuan mandiri di media sosial? Kenapa mereka sering diglorifikasi, sementara laki-laki tidak? Alasannya secara sederhana adalah sistem ekonomi masih tidak berpihak pada perempuan. Upah lebih rendah, akses kredit sulit, hak buruh sering diabaikan. Perempuan dipaksa bergantung pada sektor kerja rentan dan jadi korban eksploitasi di industri besar.
Sistem ekonomi saat ini masih memperkuat patriarki dan kapitalisme yang meminggirkan perempuan. Lantas, bagaimana ketidakadilan ini terus berlangsung? Dan bagaimana kita bisa mengubahnya?
Sistem Ekonomi Patriarki: Mengapa Tak Adil bagi Perempuan?
Sistem ekonomi patriarki adalah struktur yang menempatkan laki-laki sebagai aktor utama dalam aktivitas ekonomi, sementara peran perempuan diremehkan atau bahkan diabaikan. Hal ini terlihat dalam berbagai aspek, seperti:
Kesenjangan Upah
Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa rata-rata upah per jam pekerja laki-laki di Indonesia adalah Rp20.125, sedangkan perempuan hanya Rp16.779. Kesenjangan ini bukan hanya angka, tetapi cerminan dari bias gender yang sudah mengakar di pasar tenaga kerja.
Segregasi Pekerjaan
Perempuan sering terkonsentrasi di sektor yang dianggap ‘feminin’ seperti industri garmen dan tekstil—pekerjaan yang sering kali kurang dihargai dan bergaji rendah. Ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak.
Baca juga: Setelah Dua Abad, Rafflesia Mekar di Tangan Peneliti Perempuan
Terbatasnya Akses ke Sumber Daya Ekonomi
Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia hanya 52,5%, jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang mencapai 81,5% (World Bank Gender Data Portal). Bahkan perempuan dengan pendidikan tinggi masih mendapatkan upah lebih rendah dibanding laki-laki dengan tingkat pendidikan yang sama (UN Women Asia-Pacific).
Kasus: PHK Massal di Industri Garmen dan Dampaknya bagi Perempuan
Selain itu tingginya angka gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kebanyakan terjadi di sektor garmen yang didominasi olejpekerja perempuan. Gelombang PHK massal dalam beberapa tahun terakhir telah memperburuk kerentanan ekonomi mereka.
Contohnya, kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) baru-baru ini, menyebabkan 20.000 pekerja kehilangan pekerjaan, mayoritas perempuan. Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kepada Tempo, bahwa PHK massal di sektor ini merupakan masalah sosial
“Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial,” ujarnya.
Achmad menilai dampak dari fenomena tersebut adalah krisis sosial yang lebih besar dan meningkatnya kesenjangan gender. Sebab perempuan tidak hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga kehilangan otonomi finansial—memperkuat ketergantungan mereka pada pasangan atau keluarga.
Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit: Tidak Hanya Dieksploitasi, tetapi Juga Berisiko
Belum lagi dengan para perempuan di perkebunan sawit. Umumnya bekerja sebagai buruh harian lepas tanpa kontrak formal, tanpa jaminan sosial, dan dengan upah yang jauh dari layak. Mereka kerap dipaksa bekerja dalam kondisi berbahaya tanpa alat pelindung diri (APD) serta hanya dibayar berdasarkan sistem borongan yang sering tidak mencapai upah minimum.
Menurut Human Rights Watch (2021), buruh perempuan di sektor ini bertugas menyemprotkan pestisida dan memanen buah sawit di bawah terik matahari, dengan risiko kesehatan yang sering diabaikan. Mongabay mengutip Koordinator TPOLS, Rizal Assalam, yang menyebut eksploitasi berbasis gender di perkebunan sawit sebagai ancaman serius. Banyak buruh perempuan menghadapi risiko tinggi karena tidak diberikan APD standar dan tidak mendapat pemeriksaan kesehatan yang layak.
Dampaknya tak hanya pada keselamatan kerja, tetapi juga kesehatan reproduksi. Minimnya akses air bersih memaksa buruh perempuan bertahan hingga delapan jam dengan pembalut yang sama saat menstruasi, memperburuk kondisi kesehatan mereka.
Baca juga: Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi
Perempuan dan UU Pekerja Rumah Tangga: Mengapa Belum Juga Disahkan?
Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan. Padahal, banyak pekerja rumah tangga adalah perempuan yang:
- Rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan tanpa perlindungan hukum.
- Tidak memiliki jaminan sosial atau upah layak.
- Dipaksa bekerja dalam kondisi yang melelahkan tanpa batasan waktu kerja.
Tanpa perlindungan hukum, perempuan dalam sektor ini tetap berada dalam posisi yang rentan dan bergantung pada belas kasihan majikan mereka.
Di Balik Glorifikasi Kemandirian Perempuan
Berbagai tantangan inilah sebabnya perempuan yang berhasil mandiri secara finansial sering diglorifikasi—karena sistemnya memang membuat hal itu sulit. Ketika akses ekonomi dibatasi, pilihan hidup perempuan pun ikut dipersempit. Mereka harus berjuang lebih keras untuk sekadar mendapat hak yang seharusnya setara. Maka, wajar jika pencapaian finansial perempuan dianggap luar biasa, bukan karena mereka kurang mampu, tetapi karena sistemnya memang tidak berpihak pada mereka.
Selain itu, masalah-masalah yang sifatnya konstruktif juga menghalangi perempuan untuk mandiri secara finansial. Misalnya, beberapa sektor pekerjaan melarang pekerjanya menikah, ada aturan yang mewajibkan izin suami untuk merantau, atau orang tua yang tidak mengizinkan anak perempuannya bekerja. Untuk membangun usaha, tak semua perempuan punya modal. Belum lagi upah dan hak-hak mereka yang sering dinomorduakan, seperti yang telah dipaparkan di atas.
Membangun Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan untuk Perempuan
Oleh karena itu, kita seharusnya membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan untuk perempuan Oleh karena itu, ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan harus diperjuangkan.
- Menghargai Pekerjaan Perempuan
Pekerjaan domestik dan sektor informal harus diakui sebagai bagian penting dari ekonomi, bukan sekadar dianggap sebagai tugas perempuan tanpa nilai ekonomi. - Memperkuat Akses dan Kemandirian Ekonomi
Perempuan harus memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan sumber daya ekonomi agar dapat mandiri secara finansial. - Melindungi Hak Pekerja Perempuan
Kebijakan ketenagakerjaan yang responsif gender perlu diterapkan, termasuk kesetaraan upah, kondisi kerja yang layak, serta perlindungan hukum bagi pekerja perempuan di semua sektor. - Mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT)
Payung hukum yang kuat bagi pekerja rumah tangga harus segera disahkan agar mereka mendapatkan hak dan perlindungan yang layak. - Menghormati Perempuan Adat dan Perannya dalam Merawat Alam
Perempuan adat yang menjaga lingkungan dan sumber daya alam harus dilibatkan dalam kebijakan ekonomi dan diakui kontribusinya dalam keberlanjutan. - Mengembangkan Koperasi Perempuan
Koperasi perempuan bisa menjadi solusi ekonomi berbasis komunitas yang memberdayakan perempuan secara kolektif dan mandiri. - Memperkuat Advokasi Hak Perempuan dalam Dunia Kerja
Advokasi kebijakan yang melindungi perempuan di dunia kerja harus terus diperjuangkan agar tidak ada lagi diskriminasi dan eksploitasi.
Sistem ekonomi yang lebih adil tidak hanya akan mengangkat perempuan dari ketidaksetaraan, tetapi juga menciptakan perubahan struktural yang berdampak luas bagi seluruh masyarakat. Dengan membuka akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, mengakui kerja mereka yang sering tak terlihat, serta membangun solidaritas kolektif, kita bisa menciptakan ekonomi yang lebih manusiawi—bukan hanya bagi perempuan, tetapi bagi semua orang yang selama ini tersisih oleh sistem ekonomi yang timpang.
Referensi:
- Badan Pusat Statistik. (n.d.). Upah rata-rata per jam pekerja menurut jenis kelamin. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://www.bps.go.id
- Mongabay Indonesia. (2025, 12 Februari). Buruh perkebunan sawit terus terpinggirkan. Diakses dari https://www.mongabay.co.id
- Tempo. (2025, 12 Februari). Sritex dinyatakan pailit: Ekonom sebut PHK massal industri tekstil picu krisis sosial. Diakses dari https://www.tempo.co
- UN Women Asia Pacific. (2020, September). Infographic: Gender pay gaps in Indonesia. Diakses dari https://asiapacific.unwomen.org
- UN Women Asia Pacific. (2020, September). Gender pay gap statistic in Indonesia. Diakses dari https://asiapacific.unwomen.org
- World Bank. (n.d.). Indonesia gender data. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://genderdata.worldbank.org