Bincangperempuan.com- Tulisan ini disadur dari jurnal dengan judul yang sama dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Cerita di dalamnya ditulis oleh sepuluh jurnalis wanita dari Asia dan Pasifik. Mereka menulis soal makna menjadi jurnalis perempuan, hambatan yang telah dilewati, hingga proses liputan pada isu gender dan keadilan di negara masing-masing.
Tiap-tiap kontributor memiliki pengalaman unik karena latar belakang yang berbeda-beda. Meski demikian, mereka memiliki sikap yang sama bahwa jurnalisme bukan sekadar pekerjaan. Namun, sebuah panggilan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat. Alasan itu pula yang membuat mereka menegaskan semakin pentingnya dorongan bagi perempuan di industri media.
Suara perempuan dalam keamanan dan perdamaian – Afganistan, Zuhal Ahad
Ahad menjelaskan jika wanita hanya menjadi sebagian kecil jurnalis di Afghanistan, tetapi mewakili 50% dari jumlah jurnalis yang dibunuh. Mereka terus melantangkan suara rakyat Afghanistan walau dengan bayang-bayang risiko keamanan itu.
Ahad bekerja dengan melaporkan dampak perang terhadap hak asasi perempuan dan kesetaraan gender. Kembalinya Taliban pada Agustus 2021 membuat ia dan kawan-kawannya semakin sulit menemukan serta meyakinkan perempuan di sana untuk berbagi cerita. Dalam pekerjaannya itu, Ahad pernah menghadapi ancaman dan pelecehan. Walau demikian, ia percaya wartawan perempuan Afghanistan akan terus mengangkat suara mereka yang tertindas dan suatu hari bisa kembali merasakan ruang redaksi yang aman.
Pola pikir patriarki membungkam jurnalis perempuan – Bangladesh, Banani Mallick
Kekuatan partriarki di Bangladesh membuat peluang perempuan untuk menjadi jurnalis kian menyusut. Pandangan misoginis, intoleransi, dan lingkungan kerja yang tak sehat jadi praktik sehari-hari.
Mallick sendiri menghadapi laki-laki yang bertindak ofensif karena melihat potensi jurnalis perempuan. Mereka mempersulit karirnya dengan melakukan pelecehan dan penguntitan. Sejumlah rekan prianya bersekongkol untuk merusak reputasinya dengan mencap Mallick sebagai wanita yang tak bermoral.
Menurutnya, pelatihan dan diskusi soal isu-isu gender dalam industri media perlu digencarkan. Hal tersebut sebagai upaya untuk melahirkan orang-orang dengan pemahaman gender sekaligus menghilangkan ancaman terhadap kebebasan berekspresi bagi jurnalis perempuan. Mallick juga berharap akar patriarki dapat segera digantikan oleh empati dan nilai-nilai kemanusiaan.
Mempertahankan ruang sipil melalui jurnalisme – India, Siddhi Shah
Anak perempuan yang lahir di India secara otomatis akan dibebani tanggung jawab domestik. Budaya yang melanggenggkan misogini itu membuat Shah mesti berhati-hati dalam melakukan reportase. Hal itu demi menghindari pelanggaran terhadap nilai-nilai komunitas di India sekaligus melepaskan diri dari sasaran tindak kekerasan. Terkadang, menghindari topik-topik tertentu jadi satu-satunya pilihan.
Adanya kebasan sipil dan serangan kebencian terhadap perempuan juga semakin melemahkan ia dan kawan-kawannya. Jurnalis muda tersebut menekankan pentingnya kebijakan dan undang-undang yang kuat untuk melindungi kebebasan berekspresi. Baginya, itu adalah syarat mutlak untuk melepaskan diri dari belenggu yang melemahkan demokrasi dan pemikiran kritis.
Pers sebagai pilar demokrasi – Indonesia, Betty Herlina Anwar
Betty membutuhkan satu dekade untuk tumbuh menjadi jurnalis yang memiliki perspektif sensitif gender dan ikut mempromosikan pemberdayaan perempuan. Menurutnya, banyak rintangan dalam menuju masyarakat yang bebas dari bias gender. Jurnalis memiliki peran krusial dalam menggapai cita-cita itu.
Perusahaan media mesti membekali jurnalisnya dengan pemahaman soal hak-hak perempuan. Komitmen untuk mereformasi diri menuju kesetaraan dan keragaman gender harus digalakkan. Ini adalah bentuk tanggung jawab media karena selama ini ikut melanggengkan patriarki dan merugikan perempuan dalam banyak aspek. Menurut Betty, jurnalis memiliki kemampuan untuk menarik perhatian para pembuat kebijakan sehingga pemenuhan hak-hak perempuan dapat diwujudkan.
Keamanan perempuan di ranah publik dan privat – Pakistan, Lubna Jerar Naqvi
Topik gender di Pakistan sebagian besar terbatas pada halaman khusus wanita. Menulis soal gender dan hak-hak minoritas di sana selalu sulit dilakukan karena menarik kritik dan kebencian dari pembaca. Masyarakat mengganggap reportase semacam itu sebagai ancaman terhadap adat dan tradisi.
Hingga pada Januari 2018, jenazah Zainab, gadis berusia enam tahun ditemukan dalam tumpukan sampah. Itu adalah salah satu kejadian perkosaan pertama yang banyak dibahas di media. Masyarakat yang selalu mengklaim kejahatan perkosaan tidak terjadi dalam kalangan Islam terpaksa mengubah pandangan mereka.
Menurut Naqvi, tidak banyak media yang memiliki keterampilan untuk melaporkan isu gender dan keadilan. Ini terbukti dari gambar Zainab yang disebar luas tanpa memperhatikan kode etik. Oleh sebab itu, pelatihan mengenai cara melaporkan topik-topik sensitif dengan mengikuti perkembangan hukum jadi sangat diperlukan.
Keamanan siber, gender, dan jurnalisme – Filipina, Regina Cabato
Filipina secara konsisten menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi jurnalis. Perkembangan terkini turut menenggelamkan peringkat kebebasan persnya. Cabato sendiri pernah menerima dua kampanye kebencian selama pandemi. Keduanya dipicu oleh laporan yang ia tulis di Twitter. Akunnya ditandai dengan ancaman dan dibanjiri dengan spam.
Cabato sendiri sudah menonaktifkan Facebook selama lebih dari 10 tahun. Ia menganggap media sosial itu sebagai lingkungan beracun karena masifnya risiko peretasan, pelanggaran data, kampanye pelecehan, hingga masuknya pertemanan dari orang asing. Menurutnya, ada kecenderungan yang mengerikan dari orang-orang yang menyebarkan kebencian misoginis terhadap pekerja media wanita. Serangan daring tersebut bersifat seksual dan kutukan gender. Oleh sebab itu, akuntabilitas jadi upaya yang mesti terus diusahakan.
Bagaimana media dapat mengubah persepsi publik – Sri Lanka, Nirasha Piyawadani
LGBTQI+ semakin mendapat perhatian di Sri Lanka, termasuk oleh perusahaan media. Namun, jurnalis masih dihadapkan dengan stigma sosial saat meliput isu ini. Piyawadani berpandangan hal ini terjadi karena tidak adanya pendidikan yang layak tentang komunitas yang dipinggirkan serta hak-hak asasi mereka yang dilanggar.
Jurnalis perempuan akan dikira lesbian karena melaporkan masalah gender dan keadilan. Terlebih, apabila mereka belum menikah. Piyawadani sendiri pernah mendapatkan stigma tersebut. Walau demikian, dengan komitmen dan upaya yang dilakukan oleh organisasi maupun aktivis, ia percaya Sri Lanka secara bertahap bisa merangkul komunitas yang terpinggirkan.
Wartawan perempuan untuk keadilan sosial – Vietnam, Soraya Kishtwari
Jurnalis perempuan lokal di Vietnam menjadi pelopor liputan tentang ketidaksetaraan sosial. Salah satu jurnalisme terbaik dilakukan oleh Phụ nữ Việt Nam, Koran Wanita Vietnam yang seluruh tim editorialnya terdiri dari wanita. Bagi komunitas LGBTQI+ di sana, jurnalis perempuan juga telah memungkinkan mereka untuk menjadi warga negara yang aktif.
Isu lingkungan yang justru jadi tantangan. Pada tahun 2020, Phụ nữ Việt Nam dalam versi daringnya melaporkan kerusakan di dua kawasan lindung oleh sebuah perusahaan. Surat kabar tersebut langsung ditutup sementara, wartawannya diintimidasi, bahkan editornya dipaksa keluar dari pekerjaannya. Menurut Kishtwari, jurnalis perempuan seringkali jadi yang pertama dalam melaporkan ketidasetaraan sosial sehingga mereka juga yang menjadi sasaran.
Hukum keamanan nasional dan jurnalis perempuan – Filipina, Celine Isabelle Samson
Secara global, jurnalis menjadi sasaran undang-undang kontra-terorisme dan keamanan nasional. Peraturan tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi negara dan warganya, tetapi apabila tidak diterapkan secara proporsional justru dapat mengancam kebebasan pers dan membungkam jurnalis.
Samson berserta medianya pernah dituduh sebagai bagian jaringan kelompok yang berencana merusak citra pemimpin politik. Ketika diselediki, ternyata pelapornya tidak memverifikasi diagram tersebut meski bersumber dari nomor tak dikenal. Kebohongan dan ancaman semakin membahayakan jurnalis Filipina. Terlebih, apabila telah dicap dengan teroris. Adanya undang-undang anti-terorisme itu memungkinkan penangkapan tanpa surat dan penahanan hingga 24 hari.
Reportase investigasi oleh jurnalis perempuan – Ruhina Ferdous, Bangladesh
Perempuan, anak-anak, komunitas minoritas, dan kelompok terpinggirkan jadi pihak yang paling terpengaruh ketika terjadi bencana. Kala pandemi melanda, Ferdous melakukan reportase investigasi dari pabrik garmen yang menipu upah dan hak-hak pekerjanya. Dampak dari liputannya itu, ia menerima panggilan telepon anonim yang mengatakan tentang hal-hal vulgar kepadanya. Seniornya menyarankan untuk ia berhenti sementara, tetapi Ferdous teguh pada kerja penyelidikannya.
Menurutnya, pelecehan dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak hanya tentang menghambat kerja jurnalisme. Perkara itu adalah pembungkaman terhadap perempuan secara luas. Bangladesh memerlukan penerapan kebijakan setara gender dan non-diskriminasi yang kuat. Kerja kolaboratif yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan jadi prioritas yang harus segera dilakukan.
Jurnal ini diakhiri dengan daftar rekomendasi tentang cara mendukung jurnalis perempuan di kawasan Asia dan Pasifik. Seperti diantaranya :
- Menjamin pembebasan segera dan tanpa syarat semua jurnalis dan pekerja media yang telah ditangkap, ditahan, atau dihilangkan karena menggunakan kebebasan berekspresi mereka.
- Ciptakan dan pertahankan, dalam hukum dan praktik, lingkungan offline dan online yang aman dan memungkinkan bagi jurnalis perempuan untuk melakukan pekerjaan mereka.
- Mengadopsi mekanisme dan langkah-langkah untuk memastikan keselamatan dan keamanan jurnalis perempuan dan pekerja media yang menggunakan kebebasan berekspresi mereka.
- Mencegah, menyelidiki, dan menuntut tindak pidana yang dilakukan terhadap jurnalis perempuan dan pekerja media, baik online maupun offline, dan memberikan pemulihan bagi korban.
- Berinvestasilah pada jurnalis perempuan dan pekerja media.
- Membangun industri media yang inklusif gender dan beragam.
Women Journalist Journal ini dikembangkan di bawah program Enhancing Access to Justice for Women in Asia and the Pacific: Bridging the gap between formal and informal systems through women’s empowerment and reduction of gender biases. Kegiatan ini didukung oleh UNWomen, International Commission of Jurists (ICJ), Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), dan Swedish International Development Cooperation Agency (Sida).(Delima Purnamasari)