Home » Opini » Penghancuran Hingga Perampasan Ruang Hidup

Penghancuran Hingga Perampasan Ruang Hidup

Efrial Ruliandi Silalahi

Opini

Bincangperempuan.com– Brazil memiliki kemiripan dengan Indonesia, dimana tengah berhadapan dengan situasi yang cukup serius mengenai kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup akibat pembangunan besar-besaran. Masyarakat adat menjadi salah satu kelompok yang paling rentan. Kebijakan yang membuka lebar pembangunan ini mengakibatkan masyarakat adat tergusur dari tanahnya sendiri serta dijauhkan dari sumber penghidupan hingga tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan tersebut.

Berbicara mengenai masyarakat adat setidaknya kita harus memahami dulu genealogi (asal usul) terkait dengan identitas budaya, sistem nilai dan pengetahuan, adanya wilayah adat, hukum adat serta kelembagaan adatnya. Keterkaitan masyarakat adat dengan hutan dan alam sangatlah tinggi. Mulai dari mencukupi kebutuhannya sehari-hari, keperluan tradisi, obat, hingga nilai-nilai leluhur yang mereka lindungi. Namun adanya keberadaan perizinan di wilayah adat menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat adat akan mengalami banyak perubahan pola hidup, lunturnya nilai dan budaya, hingga sulitnya mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Hutan tanaman industri, perkebunan dan lainnya dapat membuka pemahaman adanya tumpang tindih areal perizinan di wilayah adat yang disertakan juga dengan kebijakan pengakuan perlindungan masyarakat adat. Untuk melihat sebaran konflik bisa dilihat dengan mengakses www.tanahkita.id. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semuanya bermula dari areal perizinan di wilayah adat.

Baca juga: Wenni, Asanya untuk Komunitas Adat di Bengkulu

Setidaknya ada beberapa permasalahan masyarakat adat yang dapat diurai bersama, misalnya terkait dengan pengakuan hak masyarakat adat. Catatan dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyampaikan bahwa capaian pengakuan masyarakat adat masih sangat rendah hanya sekitar 14% dari peta teregistrasi BRWA karena lemahnya komitmen pemangku kepentingan. Berikutnya terkait regulasi bahwa sampai saat ini RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan sehingga masyarakat adat harus mengikuti kebijakan sektoral yang sangat rumit dan mahal.

Bicara partisipasi dalam pembangunan juga tidak kalah penting. Masyarakat adat tidak memiliki kesempatan terlibat secara bermakna dalam perencanaan pembangunan yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Selain itu juga mengenai rendahnya anggaran dalam pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat. Terakhir yakni penyingkiran masyarakat adat, banyak terjadi konflik agraria di wilayah adat karena meluasnya proyek-proyek dan perizinan berusaha yang ekstraktif berbasis lahan dan perairan sehingga mengabaikan hak atas tanah leluhur dan mengusir masyarakat adat dari wilayah adatnya.

Penguasaan yang dilakukan secara brutal yang dilakukan sekelompok oknum terhadap sumber daya alam yang berada di wilayah adat berimplikasi pada konflik agraria dan sumber daya alam, perampasan ruang hidup, menghancurkan kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat.    

Langkah mulus investasi dan percepatan proyek-proyel tersebut telah membawa rakyat hidup dalam krisis agraria selama satu dekade terakhir. Situasi ini dapat kita lihat dari semakin meningkatnya konflik agraria tanpa ada penyelesaian yang berkeadilan untuk rakyat. Fenomena dimana semakin mudahnya perampasan tanah rakyat yang difasilitasi oleh sejumlah regulasi demi kepentingan investasi. Semakin meningkatnya ketimpangan penguasaan tanah sehingga tanah pertanian, hutan dan kebun serta kawasan pesisir semakin terkonsentrasi pada elit pemodal.

Konflik agraria membuat masyarakat adat kerap kali disingkirkan dari tempat tinggal mereka yang mengakibatkan ketidakpastian tempat untuk tinggal. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih belum diakuinya hak atas wilayah adat. Situasi ini ternyata diperparah dengan adanya perampasan wilayah. Pemukiman Masyarakat adat atau wilayah adatnya secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan Hutan (Lindung dan Konservasi).

Baca juga: Aksi Solidaritas 50 Petani Perempuan di Desa Sumber Jaya

Cara-cara kekerasan di wilayah konflik terjadi akibat tidak adanya evaluasi dan perubahan dalam menangani konflik agraria. Tindakan represif dan diskriminatif dikarenakan masih saja menggunakan pendekatan hukum positif, dengan menggunakan praktek ini tentunya akan membuat semakin brutal. Hal ini terjadi pada sebelas pejuang Masyarakat Membalong yang berjuang untuk mempertahankan tanah adatnya namun malah dikriminalisasi.

Derasnya investasi dan arus pembangunan yang dipaksakan selama satu dekade terakhir telah meningkatkan eskalasi konflik yang bermuara pada krisis agraria yang semakin terjal. Permasalahannya bukan pada pembangunan dan investasi yang datang, tetapi karena cara pandang yag luput untuk menghormati hak-hak rakyat di wilayah target pembangunan dan investasi sehingga ujung-ujungnya yaitu penggusuran dan perampasan tanah.   

Situasi krisis agraria selama satu dekade terakhir diumpakan seperti dipinggir jurang. Adanya ketimpangan, konflik agraria, kemiskinan struktural hingga krisis pangan. Sehingga penting untuk menempatkan agenda reforma agraria sejati sebagai pijakan pembangunan ke depan. Memastikan pengalokasian tanah dan kekayaan alam yang senafas dengan cita-cita kemerdekaan, konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria menjadi komitmen bersama, dalam hal ini pemegang kekuasaan haruslah menghadirkan sila kelima yakni keadilan sosial.

Setidaknya ada beberapa catatan yang harus dikoreksi bersama, diantaranya meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria, melakukan reformasi sistem pengadministrasian tanah dan sumber daya alam untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria dan sumber daya alamnya baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak kalah penting yakni melakukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan Perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bersikap Malas, Untuk Hal yang Tidak Penting

Jurnalis perempuan dan UU TPKS

Jurnalis Perempuan dan UU TPKS

Mengurai Pengetahuan dan Hak Kolektif Perempuan Adat

Mengurai Pengetahuan dan Hak Kolektif Perempuan Adat

Leave a Comment