Bincangperempuan.com– Diangkat dari novel klasik karya Louisa May Alcott, adaptasi Little Women sudah malang melintang di layar lebar melalui berbagai versi. Greta Gerwig mendapat kepercayaan untuk menggarap versi teranyar Little Women yang rilis di tahun 2019 – dibintangi oleh wajah-wajah ternama seperti Saorsie Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, dan Eliza Scanlen yang memerankan karakter keempat saudari March. Versi Greta Gerwig ini juga membawakan angin segar, bukan hanya dari segi teknikal dan sinematografi memukau, namun juga penekanan yang lebih menonjol pada feminisme dan kemerdekaan perempuan–tentunya tanpa mengesampingkan ragam ekspresi feminitas yang menjadi inti utama cerita ini.
Little Women menyoroti lika-liku kehidupan Meg, Jo, Beth, dan Amy. Perjalanan mereka tumbuh dewasa serta menemukan jati dijalin dengan plot apik yang memadukan unsur keluarga, cinta, impian, serta makna ‘menjadi seorang perempuan’. Tak ayal kita akan berusaha mengaitkan diri sendiri dengan pertanyaan, “Siapa karakter saudari March yang paling mirip aku?”
Keempat March bersaudari dalam kisah Little Women mendefinisikan kebahagiaan dengan cara mereka masing-masing. Meg, Jo, Beth, dan Amy mewakili keputusan hidup perempuan yang beragam, yang tak selayaknya dikotak-kotakan, atau bahkan dibatasi dengan pandangan normatif sempit.
Baca juga: Kontroversi Pernikahan Gus Zizan dan Kamila Asy Syifa yang Dikritisi Netizen
Margaret March, menikah dan menjadi ibu juga sebuah keputusan berdaya
“Just because my dreams are different than yours doesn’t mean they’re unimportant. I want a home and a family and I’m willing to work and struggle, but I want to do it with John”
Dari keempat saudari March, Meg adalah sosok yang paling mencerminkan sifat-sifat feminitas klasik. Status sebagai anak tertua melimpahkan ia sifat keibuan yang berusaha mengayomi dan menaungi adik-adiknya. Di luar itu, dia adalah pribadi anggun yang menemukan sukacita melalui kegiatan bersolek, gaun-gaun indah, dan semarak pesta dansa.
Pada akhirnya, Meg pun mengambil jalan hidup dengan menikahi John Brooke, pujaan hatinya. Berbeda dengan Jo yang melihat pernikahan sebagai ‘pilihan konservatif’, bagi Meg pernikahan adalah perwujudan dari keinginan tulusnya untuk membangun keluarga dan rumah tangga. Kenyataan bahwa dia menikahi orang yang dicintainya, bukan karena kekayaan dan status, menunjukkan bahwa ini adalah impian yang dicapainya dengan kesadaran diri tanpa tuntutan siapa pun. Meg dengan yakin merengkuh cinta, beserta seluruh tantangan dan ketidakpastian yang menyertainya. Keputusan Meg sebagai traditional wife yang melakukan peran gender konvensional memperlihatkan bahwa menjadi ibu dan istri bukanlah sebuah keputusan untuk berpasrah diri, melainkan juga cara perempuan mengaktualisasi diri.
Josephine March, tidak ada jeruji yang membatasi kebebasan perempuan
“Women, they have minds, and they have souls, as well as just hearts. And they’ve got ambition, and they’ve got talent, as well as just beauty. I’m so sick of people saying that love is just all a woman is fit for.”
Bagi kita yang hidup di era modern, sosok Jo mungkin akan melekat demikian kuat sebagai simbolisasi perempuan yang berusaha mendobrak aturan-aturan konservatif dan stigma gender. Karakterisasinya yang kuat dan lugas–bahkan acap kali sembrono, teramat berkebalikan dengan sang kakak. Jo menunjukkan perilaku yang condong bersifat maskulin seperti pilihannya terhadap gaya berbusana, bersikap, hingga cara berbicara. Ketika budaya patriarki menempatkan perempuan pada peran gender tradisional yang berfokus pada ranah domestik, Jo justru menolak pernikahan dan memilih mengejar ambisinya menjadi penulis. She’s filled with passion and freedom, and she won’t let anything confine her.
Di saat bersamaan, kita akan melihat melihat pergulatan Jo yang tak bisa sepenuhnya menerima diri sebagai perempuan–sebuah ekspresi ketidakpuasan melihat ketimpangan dimana pria lebih diuntungkan. Pada satu titik, Jo akhirnya memperlihatkan bahwa menjadi perempuan kuat tidak berarti harus melucuti dirinya dari sifat-sifat feminin. Menjadi perempuan berarti mengizinkan Jo memvalidasi perasaan, memberinya kesempatan untuk jatuh cinta pada waktu dan orang yang tepat, dengan membiarkan dirinya tetap terbang bebas tanpa dibatasi jeruji.
Elizabeth March, cinta dan keluarga sebagai pengabdian bermakna
“There are many Beth’s in the world, shy and quiet, sitting in corners till needed, and living for others so cheerfully that no one sees the sacrifices till the little cricket on the hearth stops chirping, and the sweet, sunshiny presence vanishes, leaving silence and shadow behind.”
Kehadiran Beth layaknya benang tak kasatmata yang menyatukan keluarga March. Di saat ketiga saudarinya tumbuh dewasa dengan beragam mimpi, harapan Beth tak lebih dari menetap dari melihat keluarganya bahagia serta utuh. Beth tidak terpengaruh oleh aspek-aspek materialistik, merasa apa yang dimiliki saat ini sudah cukup dan merupakan sesuatu yang justru ingin dia rawat sebaik mungkin. Kepedulian Beth tidak terbatas pada keluarganya, melainkan juga terpancar ketika dia dengan senang hati mengulurkan bantuan pada sebuah keluarga imigran Jerman.
Sosok Beth merepresentasikan altruisme, yakni tindakan sukarela yang dilakukan untuk menolong orang lain tanpa mengharap imbalan dan lebih berorientasi pada perhatian, kasih sayang, dan kelembutan. Pada aspek feminitas, sifat ini menekankan peran perempuan sebagai pengasuh dan pelindung. Tujuan hidup Beth mungkin tak ambisius, namun menyadarkan kita betapa cinta yang tidak menuntut balasan adalah bentuk pengabdian bermakna dan kekuatan tulus untuk menopang kehidupan orang lain.
Baca juga: Menopause Bukanlah Akhir dari Kehidupan Seorang Perempuan
Amy March – keberanian mengambil keputusan adalah langkah perubahan
“And if I had my own money, which I don’t, that money would belong to my husband the moment we got married. And if we had children, they would be his, not mine. They would be his property. So don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition because it is. It may not be for you, but it most certainly is for me”.
Sosok Amy sering kali disalah artikan, terutama dengan penggambarannya di awal cerita sebagai gadis manja dan egois. Selayaknya Jo, Amy juga beraspirasi untuk mengejar karir sebagai seniman. She knows what she wants, and she will get it. Namun tidak seindah dunia pada lukisannya, Amy ‘menyadari’ bahwa dunia nyata adalah tempat yang tak berpihak pada perempuan. Amy sempat memilih jalan hidup pragmatis, yakni dengan menganggap bahwa menikahi pria kaya adalah cara ‘termudah’ memperoleh status sosial dan hidup terjamin. Di tengah budaya patriarki yang menindas, Amy berusaha bertahan dengan pemikiran strategis–yang bahkan mungkin tak bisa sepenuhnya kita salahkan.
Terlepas dari pandangannya, cerita Little Women memberi ruang bagi Amy untuk berkembang dan menemukan jalan hidupnya sendiri. Amy pun memutuskan percaya pada kata hatinya, termasuk meyakini bahwa pernikahan bukan lagi sebatas komoditas, melainkan menemukan pasangan yang menganggapnya setara. Amy bukanlah karakter sempurna, tapi pendewasaan memberinya keberanian untuk mengambil keputusan yang bisa membawa perubahan.
Ratusan tahun sudah berlalu sejak kisah ini muncul ke permukaan. Eksistensi Little Woman yang tak lekang oleh zaman seakan menegaskan bahwa buah tangan Louisa May Alcott akan selalu menjadi potret relevan perempuan pada setiap masa.
Kendati merupakan karya klasik, suatu hal yang patut diapresiasi bahwa Little Women mampu mengangkat perspektif feminisme secara fluid, merepresentasikan bahwa kebebasan perempuan untuk berdaya tidak hanya terpaku pada satu keyakinan tunggal. Meg, Jo, Beth, dan Amy tidak menentukan apa yang benar atau salah terkait keputusan hidup perempuan–sepanjang ada kebahagian serta nilai bermakna untuk dijunjung.
Tak hanya memberi pesan pemberdayaan, Little Women memancing kita untuk merefleksikan realita saat ini, ketika feminisme justru sering disalahartikan, bahkan acap kali memicu pandangan yang memecah belah perempuan. Sedikit banyaknya, ini mengingatkan kita pada kehebohan di jagat raya Twitter/X beberapa tahun silam, ketika seorang ibu rumah tangga membagikan resep bekal untuk suami yang justru menuai tanggapan egosentris dari para feminis radikal, mengesankan bahwa ketulusan “melayani suami” bersifat merendahkan perempuan.
Perdebatan tentang siapa yang lebih baik; ibu yang tinggal di rumah dan ibu yang bekerja, perempuan yang menikah dan tidak menikah, perempuan cool atau perempuan feminin, hingga trend “I’m not like the other girls” sebenarnya adalah cerminan ketimpangan saat ‘keberagaman karakteristik perempuan’ justru diadu dan digunakan untuk saling menjatuhkan, ketimbang dibiarkan berjalan beriringan. Bagaimana Little Women menggambarkan bahwa semua perempuan mampu bersinar dengan ciri khasnya masing-masing, membuat kita perlu mengingat kembali: “Bukankah menjadi berdaya berarti memberi kebebasan bagi perempuan untuk membuat keputusan secara sadar? Ingin menjadi siapakah dirinya?”
Alih-alih menanyakan, “Who is the best among March sisters?” Rasanya lebih pantas untuk langsung memungkas, “Each of them is the best version of themselves.”
Sumber:
- Little Women Wiki, dilansir dari https://littlewomen.fandom.com/wiki/The_Little_Women_Wiki
- “Appreciating All Of The March Sisters in Greta Gerwig’s Little Women: And The Lessons They Have To Teach Us”, dilansir dari https://sartorialgeek.com/appreciating-all-of-the-march-sisters-in-greta-gerwigs-little-women-and-the-lessons-they-have-to-teach-us/
- Batson, C. D., Klein, T.R., Highber, L., & Shaw., L. (2002) Critical self-ferlection and self-perceived altruism: When self-reward fails. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 594-602.