Yuni Daud, Pelukis Disabilitas Fisik asal Kota Bengkulu
PANDANGAN mata Yuni menatap sebuah objek lukisan yang dibuatnya. Tampak seorang laki-laki tua berpeci putih duduk sendirian di kursi. Kedua tangannya memegang tongkat penyangga ketiak. Kepalanya rebah, di atas kedua tangan. Meski tertunduk dan mulutnya tertutup masker, namun kesedihan seperti tampak jelas. Kuat. Mendalam di keheningan seakan kehilangan. Di sekelilingnya hijau dengan dedaunan dan pohon.
“Ini belum selesai, masih harus dirapikan detailnya,” kata Yuni pada bincangperempuan.com saat bertandang di kediamannya belum lama ini, sembari meraih beberapa cat akrilik dan kuas.
Jari-jarinya lincah mencampurkan warna. Ia memilih kuning dan hijau untuk menghasilkan warna hijau yang lebih muda. Perlahan kuas mulai Yuni sapukan di atas kanvas berukuran 1×1 meter. Menimpa kembali warna hijau tua dengan hijau muda. Sekejap, daun-daun di kanvas terlihat hidup.
Yuni Daud, begitu dia dikenal merupakan pelukis disabilitas fisik asal Kota Bengkulu. Melukis dengan hati untuk menghasilkan karya yang sempurna. Sudah lebih dari sebulan waktu yang Yuni habiskan untuk mempersiapkan lukisan tersebut. Rencananya untuk mengisi museum salah satu maestro seni lukis modern Indonesia, Basoeki Abdullah.
Konfirmasi undangan mengisi museum beberapa waktu lalu Yuni terima. Hatinya bahagia tidak terkira. Bagaimana mungkin, pelukis perempuan disabilitas dari kota kecil, seperti Bengkulu ternyata mendapatkan tempat. Terang, menjadi pelecut mimpi-mimpi Yuni ke depan.
“Belakangan saya bermimpi, ingat terus dengan bapak di lukisan ini. Saya minta teman saya mencari tahu tentang bapak ini. Katanya masih ada dan jualan rujak. Jika lukisan ini laku, saya ingin berbagi dengan dia,” tambah perempuan dengan nama lengkap Yuni Darlena.
Ide melukis lelaki tua tersebut, Yuni dapatkan dari salah seorang teman yang berprofesi sebagai fotografer. Photo candid dari satu peristiwa diterimanya beberapa bulan lalu. Ini bukan kali pertama. Yuni terkadang mendapatkan inspirasi ide lukisan dari foto-foto yang dikirim temannya. Kecuali tentang air. Kenangan akan beragam cerita air masih terekam jelas di kepala Yuni.
Memori masa kecil, gadis periang yang selalu mandi di sungai ketika pulang kampung, masih Yuni simpan. Keterbatasan ekonomi orang tua tidak memungkinkan Yuni menyambangi kolam renang setiap hari. Mandi di sungai menjadi alternatif pilihan. Kenangan tersebut ia tuangkan dalam lukisan laut, embun pagi ataupun sungai yang mengalir diantara petak-petak sawah.
“Senang rasanya kalau melukis tentang air. Melukis tentang masa kecil. Kalau dulu saya bisa berenang sekarang tidak. Kenangan masa lalu dituangkan di kanvas,” kenang Yuni.
Sesaat Yuni terdiam, mengenang saat dokter mengatakan dirinya tidak bisa berjalan lagi. Seketika keceriaan meredup di wajahnya. Padahal kala itu, ia sedang menikmati masa-masa menjadi ibu. Ia harus mengasuh putri pertamanya yang belum genap 4 tahun.
Siapa pun jelas sulit menerima kenyataan jika harus menggantungkan hidup di atas kursi roda. Terpikir saja tidak. Apalagi mesti menjalaninya. Namun Tuhan berkehendak lain. Yuni, yang pada tahun 1998 itu berusia 28 tahun harus memilih menjadi orang yang hidup di kursi roda. Setelah hampir 2,5 tahun bergelut dengan bermacam pengobatan dan operasi.
Infeksi yang mendera tulang belakangnya usai terjatuh membuatnya lumpuh. Beragam pengobatan yang ditempuhnya bersama keluarga tetap tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya ia harus bersiap diri menerima kenyataan. Menopang tulang dengan korset kaku agar syarafnya tak sakit dan bertumpu di atas kursi roda.
Duka Yuni belum usai. Menjalani hari di kursi roda, membuat perceraian menjadi tidak terelakan. Magligai rumah tangga yang dibangun dengan harapan indah, harus pupus.
“Tak ada yang perlu disalahkan,” ucapnya dengan nada suara seperti tertahan.
Bertahun-tahun Yuni mengisi waktu hanya dengan mengasuh anak dan menemani hari-hari tumbuh kembangnya keponakannya. Tanpa sesuatu yang berarti. Tapi rupanya lagi-lagi, Tuhan memiliki rencana lain. Yuni yang dilahirkan non disabilitas memulai perjuangannya kembali untuk menata hati dan membangun kepercayaan diri.
Dia percaya Tuhan Maha Adil. Keterbatasan fisik yang dialaminya justru melecutnya untuk bangkit. Ia memutuskan untuk mulai melukis disaat usianya sudah 45 tahun. Mimpi lama yang sempat terkubur, kembali terlintas. Ibunya mengingatkan kala itu.
“Kamu kan bisa melukis. Kenapa tidak dilakukan lagi,” ucap Yuni mengulang kalimat yang disampaikan ibunya.
Berselang waktu, donasi dari teman-teman semasa SMP dan SMA pun berdatangan. Beragam jenis cat, kuas dan kanvas mulai Yuni genggam. Termasuk tripod kanvas sengaja didesainkan salah satu temannya. Tripod yang ramah disabilitas fisik.
Yuni yang awalnya tak begitu mengerti seperti apa jenis cat dan kuas yang bagus, lambat laun Yuni belajar mandiri. Sesekali ia membuka YouTube pelukis Kevin Hill. Dia mempelajari bagaimana cara memadukan warna, menimbulkan kesan “hidup” dalam lukisan. Termasuk bagaimana menggambar air.
Yuni memilih jalur naturalis. Melukis air dan pemandangan menjadi pilihannya. Basoeki Abdullah menjadi salah satu tokoh yang menginspirasi Yuni. Konon, Yuni kecil setiap malam memandangi lukisan Basoeki Abdullah yang menghiasi kalender.
“Sampai saya tertidur, saya pandangi terus, dalam hati saya berkata, saya bisa melukis seperti ini,” kenangnya.
Dia juga sering meminta kritikan dan masukan dari maestro lukis Helmy Azehari yang pernah menjadi kepala Taman Budaya di Bengkulu. Meski kritikan pedas yang dia peroleh, namun Yuni tak patah arang. Dia terus melukis dan melukis dan tak bosan meminta masukan. Yuni bermimpi suatu hari nanti dapat membagikan ilmunya bagaimana teknik melukis untuk orang lain.
“Tak perlu larut dalam dalam kesedihan. Saya percaya rencana Tuhan ini yang terbaik bagi saya. Kekurangan fisik tidak menjadi penghalang. Menjadi penyandang disabilitas, bukan untuk dikasihani. Namun lebih pada berempati dan memberikan ruang setara,” lanjutnya.
Enam tahun bergelut dengan lukisan. Yuni mampu mendobrak stigma bahwa disabilitas mampu berkarya di dunia yang didominasi maskulinitas. Seni rupa tak mengenal batas. Karya Yuni mampu berbaur dengan karya pelukis non disabilitas. Sukses dengan pameran tunggal “Berkembanglah Puan” yang digelar akhir tahun 2017 lalu, Yuni semakin bersemangat untuk menggelar pameran tunggal kedua.
Cita-citanya ingin berdonasi sebanyak-banyaknya untuk orang yang membutuhkan. Karya Yuni mulai dikenal beragam kalangan. Ada yang datang secara khusus memberikan orderan permintaan membuat lukisan untuk mengisi hotel atau kantor salah satu pembangkit listrik di Bengkulu.
Yuni juga terlibat dalam pameran yang digelar Jaringan Pelukis Indonesia. Seperti pameran senirupa PalemJambe, kemudian pameran seni lukis karya Wanita Pelukis Indonesia dalam rangka penghormatan untuk RA Kartini “Mahakarya Wanita Indonesia : Habis Gelap Terbitlah Terang” di Jawa Tengah, April lalu. Yuni juga ikut serta dalam Disability Mural Project bersama seniman disabilitas lain di Indonesia yang diinisiasi Jogja disability Arts (ID) .
Baca juga : Susi Handayani, 20 Tahun Bergerak untuk Isu Perempuan dan Anak
“Saya lebih senang melukis karena keinginan hati, bukan karena permintaan. Melukis karena permintaan harus begini dan begitu, membuat hati saya tertekan,” ucapnya.
“Semoga lukisan saya bisa dikenal dunia,” mimpi Yuni yang berharap suatu hari nanti lukisannya dapat dihargai setara kursi roda elektrik. “Jadi tidak perlu digendong kalau harus naik mobil,” pungkas Yuni. (betty herlina)
*) Tulisan ini dibuat dalam rangkaian kegiatan WRITING FOR INCLUSION kerjasama British Council, AJI Indonesia, Disability Arts Online dan Kami Bijak
Luar biasa semangat Bu Yuni Daud. Tanpa semangat, apalah artinya jasad/fisik, sebaliknya, dengan semangat, fisik yang tidak sempurna justru bukan masalah. Selamat berkarya.