Home » Isu » Kekerasan Seksual » Mengungkap Kekerasan Seksual: Definisi, Jenis, dan Contohnya

Mengungkap Kekerasan Seksual: Definisi, Jenis, dan Contohnya

Kekerasan seksual adalah

Bincangperempuan.com- Kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus demi kasus bermunculan, beberapa terselesaikan, lebih banyak lagi yang tidak.

Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga artikel ini ditulis (7/9/2023), terjadi 7.907 kasus kekerasan seksual. Perempuan menjadi korban kekerasan seksual terbanyak dengan 7.237 kasus, sedangkan laki-laki berjumlah 670 kasus.

Data kasus kekerasan seksual di Indonesia tahun 2023

Kekerasan seksual, apa pun bentuknya, bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Dari pusat kota hingga pedesaan terpencil, dari lingkungan sosial yang beragam hingga rumah tangga yang tampak sempurna. Kekerasan seksual tidak mengenal jenis kelamin, usia, batasan geografis, sosial, dan ekonomi.


Apa Itu Kekerasan Seksual?

Kekerasan seksual adalah setiap tindakan atau perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang. Dilakukan dengan paksaan atau tanpa persetujuan.

Adapun yang disebut korban adalah setiap orang. Dalam hal ini lelaki, perempuan, non-biner, anak-anak, orang dewasa, dan lansia.

Baca juga: Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Lalu apa bedanya kekerasan seksual dengan pelecehan seksual?

Mengacu kepada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk/jenis kekerasan seksual.


Jenis Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah istilah umum yang mengacu pada segala tindakan kekerasan bermuatan seksual. Tindak pidana ini kemudian dikelompokkan menjadi beberapa jenis.

Berdasarkan UU TPKS Pasal 4 ayat (1), ada 9 jenis kekerasan seksual yang meliputi:

  1. pelecehan seksual nonfisik;
  2. pelecehan seksual fisik;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan sterilisasi;
  5. pemaksaan perkawinan;
  6. penyiksaan seksual;
  7. eksploitasi seksual;
  8. perbudakan seksual; dan
  9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Baca juga: Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak,Upaya Memutus Mata Rantai Kekerasan

Selain itu, UU TPKS juga menambahkan 10 jenis pada ayat (2):

  1. perkosaan;
  2. perbuatan cabul;
  3. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
  4. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
  5. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  6. pemaksaan pelacuran;
  7. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  8. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  9. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
  10. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jadi, berdasarkan UU TPKS, ada 19 jenis kejahatan yang termasuk ke dalam kekerasan seksual. Tetapi tak perlu bingung dengan pemisahan ayat ini karena seperti yang dikemukakan Tim Badan Diklat Kejaksaan RI (2023) dalam “Modul Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, hal ini dikarenakan UU TPKS mengadopsi konsep listing yang memperluas cakupan TPKS.

Komnas Perempuan mengategorikan bentuk kekerasan seksual ke dalam 15 jenis. Antara lain:

  1. Perkosaan;
  2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
  3. Pelecehan Seksual;
  4. Eksploitasi Seksual;
  5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
  6. Prostitusi Paksa;
  7. Perbudakan Seksual;
  8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
  9. Pemaksaan Kehamilan;
  10. Pemaksaan Aborsi;
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
  12. Penyiksaan Seksual;
  13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
  15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Delik Aduan dan Delik Biasa

Untuk memahami prosedur pengaduan, perlu memahami 2 macam delik terlebih dahulu.

  1. Delik Aduan

Delik aduan adalah jenis tindak pidana yang memerlukan adanya laporan atau pengaduan dari korban atau pihak yang dirugikan agar penuntutan terhadap pelaku dapat dilakukan. Dalam delik aduan, tindakan hukum tidak akan dimulai oleh aparat penegak hukum kecuali ada laporan resmi atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Contoh delik aduan adalah pencurian, penganiayaan, atau perbuatan cabul.

Baca juga: Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!

  1. Delik Biasa

Delik biasa adalah jenis tindak pidana yang dapat dituntut oleh aparat penegak hukum tanpa memerlukan adanya laporan atau pengaduan dari korban. Dalam delik biasa, aparat penegak hukum dapat menindaklanjuti kasus secara mandiri tanpa harus menunggu laporan dari pihak yang dirugikan. Contoh delik biasa termasuk pembunuhan, penipuan, atau narkotika, perkosaan.


Contoh Kekerasan Seksual

Banyak orang menganggap bahwa kekerasan seksual adalah tindak pidana yang sukar diidentifikasi, pun korban kadang tidak menyadarinya.

Untuk itu, kami memberikan contoh kekerasan seksual untuk memantik kesadaran korban sekaligus edukasi kepada masyarakat umum. Berikut beberapa di antaranya:

  1. Perkosaan

UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 473 Ayat (1) mendefinisikan perkosaan sebagai berikut:

“Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Fingering, memasukkan jari ke dalam alat kelamin, tanpa persetujuan korban meski tanpa penetrasi dapat dikategorikan sebagai perkosaan seperti disebut dalam Pasal 473 ayat (3) huruf c.

Perkosaan merupakan contoh kekerasan seksual dengan delik biasa, baik untuk korban dewasa maupun korban anak-anak. Artinya tindak pidana ini tetap akan diproses secara hukum meskipun korban tidak mengadu atau mencabut tuntutan sekalipun.

  1. Kekerasan seksual terhadap anak dan penyandang disabilitas

Kekerasan seksual terhadap anak dan penyandang disabilitas, apa pun bentuknya, dikategorikan sebagai delik biasa.

Anak-anak yang dimaksud di sini adalah siapa pun yang belum berusia 18 tahun. Ini termasuk hubungan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak-anak di bawah umur meskipun dengan persetujuan korban.

Baca juga: Mengapa Child Grooming Termasuk Kekerasan Seksual?

  1. Catcalling

Catcalling termasuk pelecehan seksual nonfisik atau pelecehan seksual secara verbal. Diatur secara spesifik dalam Pasal 5 UU TPKS. Termasuk delik aduan.

  1. Candaan bernuansa seksual

Dikenal juga dengan sebutan humor seksis, dikategorikan sebagai pelecehan nonfisik dan termasuk delik aduan.

  1. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah disebutkan secara eksplisit dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (2) huruf h. Juga diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Kekerasan seksual ini merupakan delik aduan kecuali untuk korban anak-anak dan penyandang disabilitas. Korban dan pelaku meliputi istri, suami, anak, asisten rumah tangga (ART), dan siapa pun yang terlibat kekerabatan.

  1. Marital rape

Marital rape atau perkosaan di dalam pernikahan terbilang cukup baru di dalam hukum Indonesia. Definisi perkosaannya sendiri sama seperti yang telah dijabarkan di poin 1. Akan tetapi, berbeda dengan perkosaan secara umum yang dikategorikan sebagai delik biasa, perkosaan di dalam pernikahan diatur lebih lanjut di ayat (6) dan dikategorikan sebagai delik aduan.

Perkosaan tidak hanya bisa terjadi pada istri, tetapi juga pada suami. Di mata hukum, keduanya memiliki kedudukan yang sama.

Apakah perkosaan terhadap anak kandung termasuk marital rape?

Tidak. Itu termasuk tindak pidana perkosaan secara umum dan merupakan delik biasa. Diatur lebih lanjut dalam Pasal 473 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

  1. Pelecehan seksual nonfisik

Selain catcalling dan candaan bernada seksual yang telah disebutkan di poin sebelumnya, terdapat beberapa tindakan kekerasan lain yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual nonfisik. Di antaranya memamerkan alat kelamin di tempat umum (eksibisionis), masturbasi di tempat umum, mengintip (voyeurism), menunjukkan materi pornografi kepada orang lain tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, sengaja melakukan hubungan seksual di depan orang lain atau di tempat umum.

  1. Pelecehan seksual fisik

Perbuatan seperti mencium, menyentuh alat kelamin, meraba payudara, atau sentuhan di bagian tubuh lain yang menyebabkan korban merasa tidak nyaman, tersinggung, atau direndahkan. Termasuk delik aduan.

Petting, menggesek-gesekkan alat kelamin ke alat kelamin atau bagian tubuh lain korban, termasuk pelecehan seksual fisik.

  1. Kekerasan seksual berbasis elektronik

Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) didefinisikan sebagai pelecehan seksual yang dilakukan secara daring atau menggunakan media elektronik. KSBE merupakan delik aduan.

Contoh, merekam kegiatan seksual tanpa persetujuan, mengirimkan gambar/video bermuatan seksual tanpa persetujuan si penerima.

Baca juga: Emotional Abuse, Kenali Ciri dan Cara Menghindarinya 


Mengenal Konsensual dan Batasan

Kami menyadari bahwa kekerasan seksual memiliki spektrum yang luas, tak jarang batasan antara korban dan bukan begitu hablur. Tentu kami memegang prinsip “berpihak pada korban”, tetapi untuk tujuan edukasi, ada batasan-batasan yang perlu dipahami.

  1. Konsensual

Konsensual (consent) dalam konteks hubungan seksual berarti kedua belah pihak SETUJU atau tanpa paksaan untuk melakukan aktivitas seksual. Konsensual juga mencakup hubungan seksual yang dilakukan di dalam maupun di luar pernikahan.

Aktivitas seksual yang dilakukan secara konsensual TIDAK termasuk kekerasan seksual.

Sebagai catatan, anak-anak tidak memiliki konsensual.

  1. Dengan paksaan dan/atau ancaman

Dengan paksaan berarti salah satu atau kedua belah pihak TIDAK SETUJU untuk melakukan aktivitas seksual, apa pun bentuknya. Inilah yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Kedua batasan ini juga bisa saling berarsiran dalam arti korban bisa saja setuju untuk melakukan sesuatu tetapi tidak setuju untuk melakukan lainnya.

Contoh Kasus

Agar lebih jelas, kami berikan beberapa contoh kasus.

Contoh kasus 1: A dan B berpacaran. A setuju untuk berciuman, tetapi tidak setuju ketika B mengajaknya melakukan yang lebih jauh, misal penetrasi. Bila B memaksa dan tetap melanjutkan tindakannya sementara A tetap tidak setuju, maka tindakan B adalah perkosaan dan bisa diproses secara hukum meski misalnya A tidak menuntut.

Contoh kasus 2: C dan D berteman. C berusia 15 tahun sementara D 23 tahun. C dan D setuju untuk melakukan hubungan seksual. Karena C adalah anak di bawah umur, maka tindakan D termasuk kekerasan seksual dan bisa dipidana.

Contoh kasus 3: E dan F berpacaran. Suatu hari E dan F minum-minum hingga F tidak sadarkan diri. Saat F tidak sadar, E melakukan hubungan seksual dengannya. Karena F tidak sadar untuk memberikan persetujuan (consent), tindakan E dikategorikan sebagai perkosaan.

Contoh kasus 4: G dan H saling mengenal di media sosial. Suatu hari, H mengirimkan pesan, “Wah, payudaramu besar. Bisa nih,” sehingga G merasa tidak nyaman dan dilecehkan. Tindakan H dapat disebut pelecehan seksual verbal dan G dapat mengadukannya. Apabila G tidak melaporkan atau mengajukan tuntutan, maka tindakan H tidak dapat diproses.

Contoh kasus 5: I dan J adalah rekan kerja. Dalam sebuah percakapan di aplikasi pesan, I meminta J untuk mengirimkan foto vulgar, J setuju dan mengirimkannya. Apakah ini termasuk pelecehan? Tidak.

Contoh kasus 6: K dan L adalah sepasang suami istri. Keduanya setuju untuk melakukan hubungan seksual. Sebelumnya, K mengajak L agar kegiatan mereka direkam. Jika L TIDAK SETUJU, maka perekaman tersebut termasuk kekerasan seksual.

Contoh kasus 7: M adalah seorang lelaki berusia 27 tahun. Saat M sedang berada di tempat umum, ada seseorang yang dengan sengaja menyentuh alat kelaminnya tanpa persetujuan. Tetapi M tidak ingin melaporkan. Apa yang menimpa M merupakan pelecehan seksual fisik tetapi tidak dapat diproses secara hukum.


Undang-Undang Kekerasan Seksual

Bila berbicara tentang kekerasan berbasis gender, ada satu pertanyaan yang mengerucut: apakah ada hukum yang menjerat pelaku dan melindungi korban? Jawabannya, ada!

Di Indonesia sendiri terdapat berbagai instrumen hukum yang secara spesifik menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP).
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berlaku tahun 2026.
  4. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
  5. Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementerian Agama.
  6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
  7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88.
  8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Selain undang-undang kekerasan seksual dan peraturan di atas, terdapat pula Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang di dalamnya juga terdapat pasal-pasal terkait kekerasan seksual. Sayangnya, RUU PRT sampai saat ini belum disahkan.


Lembaga Pendampingan untuk Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah kejahatan yang memiliki dampak serius terhadap korban, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial. Diperlukan pertolongan ahli untuk proses pendampingan dan perlindungan agar korban atau penyintas dapat sembuh dari trauma-trauma yang dihadapi.

Oleh karena itu, jika Anda atau orang yang Anda kenal mengalami kekerasan seksual dan memerlukan pendampingan, berikut beberapa lembaga yang bisa Anda hubungi:

No.LembagaWilayahKontak
1.Komnas PerempuanNasional[email protected]
2.Mitra PengadaLayanan
Kerja sama Komnas Perempuan dengan berbagai lembaga di Indonesia dalam hal pelaporan dan pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan.
NasionalDaftar PengadaLayanan
3.Komunitas Beri Ruang Aman (BRA)Tulungagung, Jawa TimurForm pengaduan
4.Cahaya Perempuan WCCBengkulu082306738686
5.SAPA InstitutBandung081394979037
6.Yayasan PulihJakarta08118436633
7.LBH Apik JakartaJakarta081388822669
8.LBH Apik AcehAceh085270910051

Untuk kekerasan seksual di lingkup pendidikan, Kemendikbudristek telah membentuk Satuan Tugas PPKS yang tersebar di berbagai institusi pendidikan. Sayangnya, saat artikel ini ditulis, belum ada kontak yang dapat dihubungi untuk pelaporan. Namun, Anda tetap dapat menghubungi lembaga-lembaga advokasi yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Baca juga: Mela Lapor: Aplikasi Pelaporan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)


Penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia barangkali masih jauh panggang dari api. Kendati demikian, tetap layak diperjuangkan agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Juga agar keadilan bagi korban dan keluarganya dapat ditegakkan. (eL)

Referensi:

  • KemenPPPA. 2023. “SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak)”. Diakses pada 7 September 2023 (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan).
  • Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  • Undang-Undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Tim Badan Diklat Kejaksaan RI. 2023. Modul Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jakarta: Indonesia Judicial Research Society (IJRS). Diakses pada 5 September 2023 (.https://ijrs.or.id/modul-penanganan-tindak-pidana-kekerasan-seksual/).
  • Komnas Perempuan. 2014. 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan. Jakarta: Komnas Perempuan. Diakses pada 1 September 2023 (https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan).
  • Hukum Online. 2018. “Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan”. Diakses pada 5 September 2023 (https://www.hukumonline.com/klinik/a/delik-aduan-lt4f9bb33933005).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Absennya rumah aman bagi korban kekerasan di Bengkulu

Absennya Rumah Aman bagi Korban Kekerasan Seksual di Bengkulu

Stalking Gebetan, Bentuk Cinta atau Obsesif

Pejabat Publik Harus Hindari Stereotip Gender dalam Pernyataan

Leave a Comment