Bincangperempuan.com- Memberi hak-hak dasar bagi pekerja rumah tangga (PRT) dianggap akan membuat anggaran negara semakin defisit. Alibi itu jelas salah besar. Kesejahteraan mereka sejatinya tidak hanya persoalan individu, tetapi kemajuan negara.
Indonesia menargetkan diri lepas dari jerat negara berpendapatan menengah. Demi bisa menjadi negara maju dan mewujudkan Indonesia emas pada 2045, negara terus mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, upaya yang dilakukan masih terfokus pada menggenjot jumlah investor. Sedangkan rakyat, tetap dibiarkan jadi pihak yang tersubordinasi.
Salah satu siasat yang dilakukan adalah dengan informalisasi tenaga kerja sehingga mengurangi kuantitas pekerja tetap. Fleksibilitas kerja dijadikan sebuah tren. Dengan demikian, jumlah masyarakat yang perlu diakomodasi tunjangan sosial semakin sedikit. Dalam skema BPJS Ketenagakerjaan, pekerja informal tidak bisa memperoleh jaminan pensiun dan jaminan kehilangan pekerjaan. Fenomena tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari pemberlakuan UU Cipta kerja.
Baca juga: Melihat Perjuangan Juru Parkir Perempuan di Tengah Kota
Kebijakan tersebut kontras dengan praktik negara-negara maju yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Sebagai contoh adalah Denmark dan Swedia. Komitmen dua negara tersebut bisa dilihat dari alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial. Denmark mengalokasikan 28,93% dan Swedia 27,06% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dana yang besar tersebut disalurkan dalam bentuk jaminan pensiun, kesehatan, bahkan tunjangan pengangguran secara cuma-cuma tanpa membedakan status sosial masyarakatnya.
Denmark dan Swedia sebenarnya tengah mempraktikan ekonomi inklusif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ketika setiap orang produktif memiliki pendapatan yang layak maka akan meningkatkan kegiatan konsumsi. Taraf hidup akan naik. Secara lebih jauh, pemberian akses yang sama ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Alih-alih memiliki komitmen pada ekonomi inklusif, negara Indonesia justru melakukan pembiaran atas perbudakan modern khususnya pada perempuan. Kondisi inilah yang dialami oleh para PRT. Profesi bagi lebih dari tiga juta perempuan Indonesia.
Kerja-kerja di wilayah privat membuat keberadaan mereka tak dianggap. Label unskilled labor menjadikan kemampuan dan pengetahuan mereka tak dinilai. PRT dipandang sebagai asisten atau pembantu semata sehingga dirasa tidak bisa menyokong sektor ekonomi.
Stigma tersebut perlu diluruhkan. Peran PRT sebenarnya sangat krusial demi menunjang kerja-kerja di ranah publik. Mengurus pekerjaan domestik secara berulang-ulang setiap hari jelas menguras tenaga dan pikiran. Pekerjaan selalu ada sejak bangun hingga tidur lagi. Karena itu, mereka terasing dari ilmu pengetahuan dunia yang terus berkembang. Tak ada jenjang karier pada pekerjaan yang menuntut dedikasi tinggi ini.
Sayangnya, perlindungan PRT belum membaik selama dua dekade terakhir. PRT masih dituntut untuk sepenuhnya menuruti perintah majikan. Mereka yang menginap rentan bekerja lebih dari 40 jam setiap minggu karena harus selalu siap sedia. PRT juga kerap diisolasi dan dilarang melakukan mobilitas. Kekerasan fisik, bahkan seksual turut menghantui. Lebih dari pada itu, upah dalam bentuk pemberian makanan masih dianggap setimpal.
Seluruh persoalan diskriminasi perempuan ada pada realitas yang dirasakan PRT. Mereka adalah korban feodalisme, ketimpangan gender, perdagangan manusia, sampai bias kelas. Isu gender, kelas, ras, HAM, dan ketenagakerjaan terangkum di sini.
Kondisi tersebut dirasakan oleh Siti Khotimah, PRT asal Pemalang yang bekerja di rumah majikannya di Jakarta. Ia dipukuli, disiram air panas, dirantai, dipaksa makan kotoran anjing, hingga mendapat kekerasan seksual setelah dituduh mencuri celana dalam. Sepanjang tahun 2023, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) telah mencatat 600 aduan PRT yang mendapat kekerasan dari majikannya. Padahal, satu kasus sesungguhnya sudah terlalu banyak.
Perilaku diskriminatif berulangkali dapat terjadi karena kekosongan hukum. Muruah hukum adalah melindungi kelompok rentan. Pasal-pasal yang akan unjuk gigi dalam pemberian manfaat, kepastian, dan keadilan. Namun, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah dibahas sejak hak inisiatif DPR tahun 2004, baru masuk program legislasi nasional prioritas pada 2021. Meski begitu, nasibnya kembali berada dalam ketidakpastian lantaran Ketua DPR Puan Maharani menyatakan penundaan RUU tersebut pada Kamis (9/3/2023) lalu.
Baca juga: Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Berbasis Gender
Tidak adanya ketegasan oleh lembaga penegak hukum membuat banyak kasus kekerasan pada PRT diselesaikan secara mediasi oleh pihak terkait. Syarat utama sebuah mediasi tentu adalah kedudukan yang setara. Namun, PRT jelas memiliki posisi lebih rendah dibandingan majikannya. Karena itu, mediasi dalam konflik ini menjadi kekalahan bagi PRT sendiri. Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut hanya jadi catatan statistik.
Percepatan pengesahan RUU PPRT menjadi produk hukum, yakni undang-undang akan menjadi landasan untuk mengatur dan mengelola permasalahan para PRT. Urgensi payung hukum ini setidaknya atas dua hal. Pertama, pengakuan terhadap pekerja rumah tangga. Kedua, perlindungan terhadap PRT sendiri. Dengan demikian, jadi langkah awal agar ada kepastian soal jam kerja, jenis pekerjaan, upah, jaminan sosial, penanganan kekerasan, hingga mekanisme pemutusan hubungan kerja. Perlindungan itu berlaku dari hulu hingga hilir. Mulai dari prakerja, masa kerja, hingga pasca kerja.
Hadirnya UU PPRT adalah urusan moral sekaligus formal. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan membantu menjaga resiliensi, pemerataan, dan pemulihan pertumbuhan ekonomi. Selama ini, aktivitas PRT digolongkan dalam shadow economy bersama sektor informal lain, seperti usaha kaki lima, petani, dan nelayan.
Menurut Quarterly Informal Economy Survey (QIES), nilai sektor ini mencapai 22,7% dari PDB berdasarkan tingkat daya beli. Sektor informal membuktikan diri mampu menopang ekonomi bangsa saat krisis ekonomi 1997/1998. Walau demikian, keberadaan mereka tak tercatat.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, rata-rata upah ART di Indonesia pada Januari 2022 sebesar Rp428.422/bulan. Angka itu hampir empat kali lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia, yakni Jawa Tengah pada tahun yang sama. Jumlahnya sebesar Rp1,81 juta. Gaji yang terbatas itu mesti dibagi-bagi. Dengan adanya standarisasi upah maka PRT berpeluang untuk melakukan ekonomi produktif. Misalnya, investasi, menabung, hingga memiliki aset.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja
UU PPRT juga diharapkan bisa menekan perkara pidana yang diterima oleh PRT. Dengan demikian, tak perlu menambah pengeluaran sumber daya untuk penanganan kasus. Jatah tersebut dapat dialokasikan untuk pengembangan sektor lain. UU PPRT jadi salah satu strategi krusial untuk keluar dari persoalan yang membuat frustasi ini.
Prinsip semacam ini sejatinya bukan hal baru. Sudah lama tertulis dalam dokumen The Future We Want yang berkembang menjadi gagasan Sustainable Development Goals (SDGs). Sebuah panduan dan perspektif baru untuk kehidupan berkelanjutan demi terjadinya konsistensi antara kebutuhan masa depan dengan masa kini. Pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan dijalankan dengan prinsip no one left behind. SDGs bukan hanya wacana filosofis, tetapi sudah ada pada tataran operasional.
Aspek ketenagakerjaan sendiri dituangkan dalam tujuan ke delapan, yaitu pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu target yang mesti dipenuhi negara adalah melindungi hak-hak pekerja dan mendukung lingkungan kerja yang aman. Indonesia sendiri sudah menyatakan akan berkomitmen dan berperan aktif dalam mencapai kesepakatan global tersebut.
Cita-cita melihat PRT bisa duduk satu meja dengan majikannya mungkin terdengar ambisius dan utopia belaka. Namun, menerima kenyataan seorang PRT yang sudah bekerja lebih dari delapan jam sehari masih harus berhutang pada majikan ketika sakit jelas tidak realistis. Tidak logis pula membiarkan mereka bergantung pada kebaikan hati bosnya untuk sekadar libur bekerja. Di sisi lain, ketika melakukan kesalahan harus menanggung risiko potong gaji. Tidak menghiraukan PRT yang sungkan untuk menuntut hak-hak dirinya juga tak masuk akal.
Baca juga: #BerbagiPeran Demi Kesetaraan dalam Pekerjaan Domestik Bersama Asha Puan
Diskriminasi pada PRT memang masih terjadi di zaman modern ini. Penindasan dan eksploitasi telanjur dianggap wajar sebagai amunisi. Penjajahan tersebut telah masuk hingga alam pikiran. Oleh sebab itu, sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara serius termasuk dalam analisis ekonomi. Mereka tak layak disepelekan dalam status marjinal dan tidak eksis. Setiap PRT berhak untuk berdaya membangun dirinya sendiri.
Memahami krusialnya persoalan PRT berarti harus membuang cara pandang sempit dan egosektoral antarlembaga. Dengan demikian, sesungguhnya negara sedang menghindari pemborosan anggaran dan inefisiensi. Sudah saatnya jendela-jendela kesempatan untuk memajukan negara berhenti ditutup. Seluruh lapisan masyarakat sudah selayaknya merasakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Kemiskinan yang turun, landainya ketimpangan antar-pendapatan, serta tersedianya pekerjaan yang layak. Negara perlu melakukan akselerasi dan menjemput perubahan. Ini adalah pilihan to be or not to be. (Delima Purnamasari/eL)