“Diulen pelan-pelan supaya rapi bentuknya,” kata Neliwati ketika menemani karyawannya bekerja.
Saat bincangperempuan.com menyambangi, Neliwati tengah membimbing seorang ibu yang sedang mempersiapkan lempuk untuk dikemas. Lempuk seberat 1 kg tersebut masih bentuk menyerupai bola. Sekejap, akan dibuat menjadi persegi. Menyesuaikan dengan packing-nya.
Lempuk adalah sejenis dodol dengan bahan baku utama durian. Ini merupakan makanan khas dari Bengkulu. Proses pembuatannya cukup mudah, namun berlangsung lama. Cukup dengan memanaskan durian yang sudah masak, untuk menghilangkan kandungan air. Tanpa pengawet dan tanpa menggunakan pemanis buatan. Rasa manis yang ada, sepenuhnya berasal dari durian. Proses ini memakan waktu berjam-jam dan harus sabar untuk mengaduk-aduk durian. Saat disajikan dan dikemas, lempuk sudah tidak memiliki aroma durian yang tajam seperti durian segar.
Perempuan dengan nama lengkap Neliwati Dalimo itu, mulai merintis usaha kuliner khas Bengkulu sejak tahun 2003. Menggunakan brand dengan nama Ende, usaha Neliwati ini berlokasi di Lempuing Nomor 3 RT 07/02 Kelurahan Lempuing kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu. Semuanya berawal dari hobi memasak. Saat ini ia bisa menghasilkan omzet jutaan rupiah setiap hari. Ia juga dapat memberdayakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk bekerja bersama.
Awalnya, Neliwati tidak terpikir untuk menekuni makanan ringan khas Bengkulu. Ia memulai usahanya dengan membuat stik bawang. Namun seiring waktu, satu per satu jenis produknya bertambah. Hingga akhirnya terpikir, kenapa tidak mendalami makanan khas Bengkulu saja.
Apalagi saat itu, masih minim sekali usaha yang menjual makanan khas Bengkulu. Sulit bagi pengunjung yang datang ke Bengkulu, untuk mencari cemilan ringan khas daerah. Melihat potensi pasar yang besar, Ende mulai memproduksi perut punai dan bay tat.
Bay tat, makanan khas Bengkulu yang berbentuk segi empat. Dibuat dari tepung dan menggunakan santan. Memiliki tekstur padat, bay tat dibagian atasnya diberi selai nanas. Untuk ukuran yang lebih kecil lazim disebut anak tat. Sedangkan perut punai, selintas mirip usus yang digoreng. Namun perut punai terbuat dari tepung beras yang dibalur gula karamel. Biasanya dibagian dalamnya diberi kacang. Rasanya sangat gurih bila dinikmati menikmati sore dengan segelas teh hangat.
Konsistensi dan ketekunannya membuat Pemda Bengkulu melirik. Ende mulai diikut sertakan dalam sejumlah pemeran. “Kami memulai sejak 2001 dirintis dengan produk kripik bawang. Kemudian tahun 2003 mulai memproduksi makanan khas Bengkulu. Karyawan kami sampai 16 orang dan semuanya ibu- ibu di sekitar lingkungan ini saja. Kita ajak produksi dan belajar bersama,” papar Neliwati, yang tercatat sebagai alumni Tata Boga IKIP Makasar.
Saat ini ada varian produk kuliner Bengkulu yang telah Ende jajakan. Diantaranya, kue tat, sirup Kalamansi, perut punai, lempuk durian. Makanan khas Bengkulu tersebut sudah mengantarkan Neliwati sampai ke mancanegara. Sebut saja, China dan Iran, dua negara yang pernah ia sambangi untuk mengenalkan kuliner Bengkulu.
“Kalau bukan karena UMKM ini, belum tentu ibu bisa kesana,” kenang Neliwati.
Tak hanya dijual di tokonya sendiri, Ende. Namun makanan khas Bengkulu produksi Ende juga menjadi pensuplay utama toko- toko oleh-oleh di Sentra Oleh-oleh sepanjang Jalan Soekarno Hatta, kawasan Anggut Atas, Kota Bengkulu. Ende juga memenuhi permintaan pasar dari daerah lain, seperti Jakarta dan Padang.
Tidak mudah bagi Nilawati untuk konsisten memproduksi makanan khas Bengkulu. Ia harus belajar dan berpegang pada resep aslinya. Modifikasi untuk menghasilkan produk yang baik dan memiliki nilai jual dilakukan Neliwati. Tanpa harus mengubah ke khasan dari kue tersebut.
“Jika tidak dilestarikan, orang akan mudah melupakan. Padahal ini makanan khas Bengkulu, dan hanya ada di Bengkulu. Ketika orang datang ke Bengkulu, orang bisa menikmati bagian dari identitas Bengkulu,”
Neliwati Dalimo
Disisi lain rata- rata karyawan yang bekerja merupakan ibu-ibu dengan lulusan SMA. Sehingga, ia harus sigap untuk membimbing, mulai proses pembuatan hingga proses pemasaran produk. Terutama menyangkut inovasi produk dan proses perizinan.
“Belajar mandiri, juga ada pembekalan dari dinas terkait. Saat ini, Ende telah memenuhi beberapa izin untuk produk yang dihasilkannya. Seperti perizinan MD, yang dikeluarkan dari BPOM bukan sekedar BMT dan Halal. Yah, memang kepengurusannya agak rumit,” katanya.
Pandemi Covid-19 diakui Nilawati sangat memukul usaha makanan khas Bengkulu, Ende. Mulai dari jumlah konsumen yang menurun drastis. Event daerah yang kerap memamerkan produk Ende total ditiadakan. Alhasil untuk mengumpulkan omzet seminggu Rp 1 juta saja, ia mengalami kesulitan.
Baca juga : Maryana, Perempuan Nelayan Gurita yang Mendobrak Stigma
Memangkas karyawan menjadi alternatif pilihan. Jika sebelum pandami, Ende memiliki karyawan hingga 20 orang, namun, saat pertengahan 2020 hingga triwulan pertama 2021 karyawannya hanya tersisa 8 karyawan.
“Saat ini mulai mencoba bangkit lagi. Walaupun karyawan hanya 8 orang. Itu sudah cukup dengan daya beli saat ini dari bandara dan sejumlah hotel berbintang. Kalau dulu mempersiapkan musim lebaran kita butuh karyawan hingga 20 orang. Sekarang cukup untuk kita beli bahan dan menggaji karyawan sudah bersyukur,” pungkas Neliwati. (jiafni rismawati)
*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik