Home » News » Pekerja Migran Perempuan: Tulang Punggung Devisa, Tanpa Perlindungan

Pekerja Migran Perempuan: Tulang Punggung Devisa, Tanpa Perlindungan

Ais Fahira

Data, News

Pekerja Migran Perempuan Tulang Punggung Devisa, Tanpa Perlindungan (1)

“Pekerja migran menyumbang devisa yang sangat besar untuk negara. Tetapi, ironisnya, hak-hak mereka belum dilindungi negara,” ujar Iweng Karsiwen, Ketua Umum Kabar Bumi (Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia), dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan secara daring oleh Aliansi Perempuan Indonesia pada 5 Maret 2025 lalu.

Menurut Iweng, berdasarkan catatan kasus tahunan selama tahun 2024, telah terjadi sebanyak 481 kasus yang menimpa pekerja migran.

“Dari sebanyak itu, 68% korban adalah perempuan,” tambahnya dengan tegas.

Iweng menyoroti dengan tajam bagaimana pekerja migran perempuan, terutama yang bekerja di sektor domestik, masih menghadapi eksploitasi dan kekerasan tanpa perlindungan hukum yang memadai.

“Alih-alih melindungi pekerja migran, negara justru menyerahkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta, yang seringkali malah memperburuk situasi dengan penahanan dokumen, hingga pembiaran kekerasan,” katanya.

Pekerja Migran Perempuan: Kontribusi Besar, Perlindungan Minim

Pekerja migran perempuan Indonesia mendominasi sektor tenaga kerja migran, mencapai sekitar 70% dari total pekerja migran Indonesia. Mereka mayoritas bekerja di sektor domestik, seperti pembantu rumah tangga, perawat lansia, dan pekerja pabrik. Meski memberikan kontribusi besar bagi ekonomi negara melalui remitansi, posisi mereka di luar negeri kerap berada dalam kondisi yang rentan.

Iweng menjelaskan bahwa banyak pekerja migran mengalami pelanggaran hak sejak proses perekrutan.

“Kalau berlindung di agen atau swasta, surat-surat dokumen pribadi itu sering ditahan dengan alasan administratif, tetapi dalam praktiknya ini justru digunakan untuk menekan mereka agar tidak bisa kabur jika menghadapi kondisi kerja yang buruk,”jelasnya.

Selain itu, dalam beberapa kasus, pekerja migran perempuan juga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

“Tidak hanya rentan mengalami kekerasan, perempuan migran bahkan banyak mengalami pemaksaan aborsi dan kontrasepsi. Kenapa dipaksa seperti itu? Karena pihak pemberi kerja biar tidak perlu bayar ganti rugi,”tambahnya.

Dilansir dari BP2MI pada tahun 2023, sumbangan devisa dari PMI mencapai Rp230,6 triliun, meningkat 42,2% dibandingkan tahun 2019. Kenaikan ini menunjukkan peningkatan kesadaran PMI untuk menabung dan mengirim uang ke keluarga di Indonesia, sehingga mendorong perputaran ekonomi di daerah asal mereka.

Kontribusi PMI ini menjadikan mereka penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas (migas). Pada tahun 2023, devisa dari PMI mencapai USD14,2 miliar atau sekitar Rp230,6 triliun, yang setara dengan 10% dari total cadangan devisa Indonesia saat itu.

Peningkatan remitansi ini tidak hanya berdampak pada perekonomian nasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan keluarga PMI dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah asal mereka.

Baca juga: Yakin #KaburAjaDulu? Ini Dia Tanggapan Pemerintah dan Warganet

Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Selain kekerasan seksual, pekerja migran juga kerap mengalami TPPO. Menurut data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang dilansir dari Kompas, pada tahun 2024 terdapat 251 kasus yang memenuhi unsur perdagangan orang. Kasus-kasus ini mencakup berbagai sektor pekerjaan, dengan sektor awak kapal perikanan migran menempati posisi tertinggi sebanyak 196 kasus (43%), diikuti oleh pekerja rumah tangga sebanyak 80 kasus (17,5%), dan online scam/forced scam sebanyak 62 kasus (13,6%). Pekerja migran perempuan sangat rentan terhadap TPPO, terutama mereka yang bekerja di sektor domestik tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Kelemahan UU PPMI dan Desakan Revisi

Walau sudah ada Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) Nomor 18 Tahun 2017, yang sebenarnya dirancang untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran, dalam implementasinya masih banyak celah yang justru memperburuk kondisi pekerja.

Iweng menilai bahwa sistem perlindungan yang bertumpu pada swasta harus diubah.

“Saat ini, pemerintah terlalu lepas tangan dan membiarkan perlindungan pekerja migran dikelola oleh agen atau perusahaan swasta yang mencari keuntungan. Ini membuka peluang eksploitasi yang besar,” ujarnya.

Selain itu, regulasi yang ada masih belum mampu memberikan perlindungan bagi pekerja migran nonprosedural. Banyak dari mereka berangkat ke luar negeri karena tekanan ekonomi dan tidak memiliki opsi lain, tetapi saat terjadi masalah, mereka justru dianggap ilegal dan tidak mendapat perlindungan.

“Sebenarnya dulu cukup parah, sampai ada diskriminasi buat pekerja migran dengan sebutan TKW dan ada terminal khususnya, namun sekarang sudah dihapuskan. Nah, sekarang walau regulasi telah ada, perlindungan masih belum kami peroleh. Makanya kami mendesak revisi UU PPMI agar pekerja migran memperoleh perlindungan,”tegasnya.

Baca juga: UNDP dan KemenLu Luncurkan Studi tentang Pembiayaan Migrasi Inovatif

Urgensi Revisi UU PPMI

Lalu mengapa ini penting untuk didesak? Dalam revisi UU PPMI, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia memaparkan tiga isu utama yang termuat dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI).

Melansir dari Antara, isu pertama adalah perlindungan pekerja migran dari berbagai tindak kekerasan. Ahmad Doli menyebut bahwa pekerja migran Indonesia kerap mengalami kekerasan, mulai dari perundungan, penembakan, hingga pembunuhan.

Isu kedua adalah pembenahan pekerja migran nonprosedural yang jumlahnya cukup besar.

“Makanya soal persyaratan, kemudian soal bagaimana tadi ada regulasi yang membuat pemerintah memang semakin punya perhatian terhadap para pekerja migran, termasuk perlindungannya. Nah, ini yang sedemikian kami atur sehingga memang semuanya tidak lagi ada nanti di masa yang akan datang melalui jalur non prosedural atau ilegal, semuanya menjadi formal,” tuturnya.

Selain rentan terhadap kekerasan, pekerja migran non prosedural juga berpotensi menutup aliran devisa ke negara.

Isu ketiga, RUU PPMI mendefinisikan pekerja migran dalam tiga kategori: calon pekerja migran, pekerja migran, dan purnapekerja migran.

“Jadi kami sudah mengatur, jadi pada saat dia menjadi calon pun itu sudah mulai terlibat pemerintah semuanya untuk bisa melakukan perlindungan, mereka ikut prosesnya secara baik, bahkan sampai selesai jadi pekerja, balik ke Indonesia, itu juga kami pikirkan,” ucapnya pada saat Rapat Penyusunan RUU PPMI, Senin (03/03/2025) di Senayan, Jakarta.

Pekerja Migran dan Efek Gelombang PHK di Dalam Negeri

Kebutuhan produk hukum untuk perlindungan pekerja migran juga semakin mendesak di tengah meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negeri. Sebab semakin banyak orang yang mencari peluang kerja di luar negeri tanpa persiapan yang memadai karena terdesak.

Ajeng dari Perempuan Mahardika mengungkapkan bahwa dalam gelombang PHK mayoritas dialami perempuan.

“Gelombang PHK tahun ini itu sudah mencapai kurang lebih dari 20.000. Dan di antara itu, kebanyakan merupakan buruh yang bekerja di sektor garmen yang mana mayoritas dari mereka adalah perempuan,” ungkapnya dalam diskusi publik daring yang sama.

Ajeng juga menambahkan bahwa gelombang PHK tidak akan turun justru malah semakin meninggi. Ini karena kebijakan tak berpihak kepada kelompok buruh melainkan perusahaan.

“Ini karena semenjak UU Cipta Kerja disahkan, perusahaan semakin leluasa menerapkan sistem kontrak dan outsourcing. Akibatnya, banyak terjadi PHK, dan hak-hak pekerja terutama perempuan terabaikan,” pungkas Ajeng.

Ini berarti gelombang PHK secara tidak langsung berpotensi meningkatkan jumlah pekerja migran yang berangkat. Apabila negara tidak ikut andil, pekerja migran berisiko berangkat secara tidak prosedural, yang kemudian semakin memperburuk tingkat eksploitasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Akibatnya, banyak di antara mereka terjebak dalam lowongan kerja dengan iming-iming gaji besar di negara tetangga dan berakhir menjadi korban penipuan atau eksploitasi. Beberapa video yang beredar menunjukkan bahwa ketika mereka tidak memenuhi target, mereka mengalami kekerasan.

Oleh karena itu, Iweng menegaskan bahwa revisi UU PPMI adalah hal yang mendesak. UU PPMI harus memberi perlindungan bagi pekerja migran yang terpaksa berangkat akibat ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri.

“Jangan sampai negara gagal menyediakan lapangan kerja di dalam negeri, tetapi juga tidak mau bertanggung jawab saat rakyatnya mencari di luar negeri,” pungkas Iweng menutup pemaparannya.

Referensi tambahan:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Menteri PPPA Kaji Ulang PerGub Perkawinan ASN

Menteri PPPA: Kaji Ulang PerGub Perkawinan ASN

Gagal di Olimpiade, Anthony Ammirati Dihujani “Sexist Jokes”

Leave a Comment