Bincangperempuan.com- Setiap individu berhak mencapai standar kesehatan jiwa tertinggi yang mencakup hak untuk terlindungi dari risiko kesehatan jiwa, hak atas layanan yang tersedia, dapat diakses, berkualitas baik dan komprehensif. Kesehatan jiwa juga terkait dengan kapasitas diri dalam menjalankan berbagai peran sosial baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, karenanya harus menjadi perhatian utama dalam penyelenggaraan layanan kesehatan secara menyeluruh.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini dalam siaran persnya mengatakan hak tersebut semestinya dapat dipenuhi di berbagai situasi dan kondisi termasuk tempat kerja, hal ini karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kualitas kerja individu tetapi juga kualitas hidup pekerja secara keseluruhan.
“Bagi pekerja perempuan, dampak tersebut tidak hanya mengarah pada dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya mengingat perempuan, dalam konsep gender, dituntut untuk bertanggung jawab memenuhi kewajiban domestiknya,” katanya.
Baca juga: Membangun Kesehatan Fisik dan Mental untuk Ibu dan Janin
Sejalan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2024 yang bertemakan “Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja”. Hal ini menjadi peringatan global untuk membangun kesadaran tentang pentingnya kesehatan jiwa di tempat kerja.
Komnas Perempuan mencatat bahwa gangguan kesehatan jiwa di tempat kerja diakibatkan salah satunya oleh kekerasan berbasis gender antara lain kekerasan seksual. Berdasarkan data kajian 21 tahun CATAHU, kekerasan seksual di lingkungan kerjasebagaimana dilaporkan ke Komnas Perempuan berbentuk pencabulan, pelecehan seksual atau pemerkosaan. Kekerasan seksual ini terjadi di perusahaan swasta, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat(LSM) dan di dunia hiburan.
Dalam kurun 2017 – 2021 terdapat 517 pelaku kekerasan seksual yang menjadikan tempat kerja tidak aman bagi perempuan. Mereka terdiri dari 326 pelaku adalah rekan kerja, 191 atasan. Sebanyak 20 perusahaansecara khusus dilaporkan sebagai unit pelaku karena enggan atau menolak untuk memproses laporan kekerasan seksual oleh perempuan pekerja, atau dengan proses penanganan yang justru merugikan korban.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, menambahkan dampak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang bisa terjadi di tempat kerja tersebut bisa mulai dari cemas, stress ringan sampai berat bahkan mungkin post traumatic stress disorder.
“Namun gangguan kesehatan jiwa ini sukar dikenali di tempat kerja baik oleh korban sendiri maupun di lingkungannya Sedangkan kekerasan seksual yang dialami korban dapat berdampak pada kondisi kerja yang tidak aman, terhambatnya proses kerja, tekanan psikis dan penurunan produktivitas kerja,” jelas Retty Ratnawati.
Ditambakan Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, potensi kerugian akibat menurunnya produktivitas pekerja akan berdampak lebih jauh terhadap perekonomian secara umum, sehingga seharusnya kondisi ini direspon dengan baik oleh pemerintah maupun pihak pemberi kerja agar perbaikan ini dapat terus ditingkatkan.
Baca juga: Dampak Pertengkaran Orang Tua bagi Mental Anak
Pasal 145 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.17/2023 tentang Kesehatan mengatur bahwa upaya kesehatan jiwa diselenggarakan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa, serta menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan dan potensi psikologis lainnnya
“Sayangnya infrastruktur terkait kesehatan jiwa tersebut masih mengalami tantangan di banyak wilayah di Indonesia termasuk di wilayah kepulauan,” kata Satyawanti.
Kementerian Kesehatan (2022) menyatakan bahwa fasilitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Hanya sekitar 50% dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa, sementara hanya 40% rumah sakit umum memiliki fasilitas pelayanan jiwa. Terdapat sekitar 1.053 psikiater di Indonesia, yang berarti satu psikiater harus melayani sekitar 250.000 penduduk. Ini jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan rasio 1 psikiater untuk setiap 30.000 penduduk.
Mandat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur bahwa hak untuk hidup sejahtera lahir dan bathin serta mendapat pelayanan kesehatan secara layak merupakan amanat di Pasal 28H Ayat (1). Hal ini berarti bahwa isu kesehatan m menjadi isu konstitusional warga negara untuk memperoleh haknya. Oleh karena itu Negara penting menyediakan infrastruktur yang lebih mumpuni dalam penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa mengingat dampak terhadap kesehatan jiwa yang dialami korban kekerasan seksual kerap berbeda satu dengan lainnya sehingga membutuhkan langkah penanganan yang lebih strategis.
Lebih lanjut, Theresia Iswarini menyatakan bahwa berkaitan dengan kekerasan seksual di tempat kerja, negara semestinya menjalankan mandat kebijakan terkait pemulihan korban kekerasan seksual yang mengalami masalah kejiwaan di pusat-pusat layanan kesehatan termasuk menyediakan tenaga pendamping dan akses pada layanan-layanan tersebut guna memastikan kualitas hidup korban, kualitas hidup masyarakat dapat berlangsung lebih baik dan berkelanjutan. Undang-Undang No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), secara spesifik mengamanatkan bahwa rehabiltasi mental dan sosial merupakan salah satu bentuk pemulihan yang harus diterima oleh korban kekerasan seksual (Pasal 70 ayat 1a).
Kebutuhan atas infrastruktur dan tenaga layanan kesehatan jiwa ini penting untuk diperhatikan Negara mengingat CEDAW Pasal 13 memandatkan adanya kewajiban Negara Pihak untuk menjamin, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, akses terhadap layanan kesehatan, informasi dan pendidikan yang menyiratkan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan atas layanan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa,” pungkas Theresia Iswarini.