Home » News » Penerbangan Blue Origin dan Isu yang Tak Pernah Naik ke Orbit

Penerbangan Blue Origin dan Isu yang Tak Pernah Naik ke Orbit

Ais Fahira

News

Penerbangan Blue Origin dan Isu yang Tak Pernah Naik ke Orbit

Bincangperempuan.com– Katy Perry baru saja menyelesaikan penerbangan luar angkasa bersama kru perempuan pertama Blue Origin pada Senin, 14 April 2025. Merangkum dari Reuters, misi NS-31 yang berlangsung selama 11 menit, Perry ditemani oleh Lauren Sánchez, Gayle King, Amanda Nguyen, Aisha Bowe, dan Kerianne Flynn. Mereka mencapai batas luar angkasa sebelum kembali ke Bumi, peristiwa ini menandai penerbangan luar angkasa berawak perempuan pertama sejak tahun 1963.

Meskipun dipromosikan sebagai tonggak sejarah bagi pemberdayaan perempuan, penerbangan ini menuai kritik. Penerbangan ini dianggap sebatas wisata luar angkasa yang hanya dapat diakses oleh kalangan elit. Beberapa selebriti, termasuk Emily Ratajkowski dan Olivia Munn, mengkritik misi ini sebagai pemborosan sumber daya di tengah krisis global yang lebih mendesak.

Ketika perhatian publik lebih tertuju pada selebriti yang ‘terbang’ ke angkasa, lantas bagaimana dengan bumi yang kita tinggali sekarang? Bagaimana dengan negara-negara yang menanggung beban limbah tekstil, plastik, dan elektronik dari negara maju? Bagaimana dengan perempuan-perempuan muda yang masih kesulitan masuk ke bidang STEM karena stigma dan kurangnya dukungan?

Baca juga: Female Breadwinners, Ketika  Perempuan Jadi Pencari Nafkah Utama 

Sampah Dunia: Sebatas Jargon di Balik “Keberlanjutan” Ala Negara Maju

Pernyataan Azealia Banks yang sempat viral dan memicu kontroversi setelah menyentil realitas pahit bahwa Indonesia disebut-sebut sebagai “tempat sampah dunia”. Setelah mendapati berbagai komentar negatif, dalam klarifikasinya ia juga menyindir obsesi absurd terhadap pariwisata luar angkasa. Dalam unggahannya, ia mengatakan, “Daripada mengirim orang bodoh seperti Katy Perry ke luar angkasa, [Jeff] Bezos dan [Elon] Musk mestinya membuang sampah itu dari Indonesia dan meluncurkannya ke Mars.”

Sindiran itu mungkin terdengar kasar, tapi dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa ada banyak hal yang lebih mendesak dan substansial untuk diperhatikan ketimbang euforia para elite dunia dalam menembus atmosfer. Salah satunya adalah krisis sampah global yang selama ini dikaburkan di balik jargon “keberlanjutan” ala negara maju.

Fakta menunjukkan bahwa sejak Tiongkok melarang impor sampah plastik pada 2018, arus ekspor sampah dari negara-negara maju mengalir deras ke negara-negara berkembang, terutama di Asia Tenggara. CNN melaporkan bahwa Belanda, Jepang, Inggris, dan Australia mengalihkan limbah plastik mereka ke negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.

Pada tahun 2023 saja, Indonesia menerima hampir 120 ribu ton sampah plastik dari Belanda, menjadikannya negara eksportir sampah terbesar ke Indonesia. Negara lain yang juga menyumbang tumpukan limbah ke Indonesia antara lain: Jerman (38,8 ton), Belgia (23,92 ton), Amerika Serikat (19,83 ton), Slovenia (9,83 ton), Australia (8,43 ton), Singapura (6,36 ton), Selandia Baru (5,84 ton), Inggris (5,2 ton), dan Jepang (4,86 ton).

Menurut laporan Global Initiative Against Transnational Organized Crime (2021), tren ekspor sampah dari negara Barat ke Asia dan Afrika sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Namun, kebanyakan negara tujuan, termasuk Indonesia, tidak memiliki fasilitas daur ulang yang memadai, terutama untuk limbah berbahaya atau campuran (B3). Akibatnya, sebagian besar sampah itu mencemari tanah, air, bahkan udara kita.

Ironisnya, banyak dari kita mengagumi negara-negara maju atas pengelolaan lingkungannya yang tampak bersih dan teratur. Namun siapa sangka, sebagian dari “keberhasilan” itu hanyalah praktik memindahkan beban lingkungan ke negara-negara berkembang? Ini bukan semata soal gaya hidup keberlanjutan, tetapi soal sistem global yang memungkinkan satu pihak menjaga citra hijau—sementara pihak lain menanggung limbahnya.

Baca juga: Indeks Pemberdayaan Gender: Kota Bengkulu Unggul, Mukomuko Jauh

Perempuan di STEM

Misi Blue Origin yang membawa kru perempuan memang bisa disebut sebagai terobosan dalam pemberdayaan perempuan. Akan tetapi, apakah kehadiran perempuan dalam penerbangan komersial antariksa ini betul-betul berdampak pada perluasan akses bagi perempuan lain di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics)?

Saat ini, perempuan hanya mencakup 28,2% dari total tenaga kerja di bidang STEM, menurut Global Gender Gap Report 2024. Angka ini menunjukkan bahwa mereka masih kurang dari sepertiga dari keseluruhan. Sekitar seperempat perempuan (24,4%) memegang posisi manajerial di bidang STEM, tetapi hanya 12,2% yang berhasil mencapai level eksekutif (C-suite).

Ini menunjukkan bahwa isu kesetaraan gender di STEM masih jauh dari kata selesai. Keterlibatan perempuan kerap hanya dijadikan simbol representasi, tanpa dukungan kebijakan struktural yang nyata. Padahal, kehadiran mereka sangat penting untuk menciptakan inovasi yang adil, inklusif, dan sensitif terhadap keragaman sosial. Jika akses terhadap pendidikan, riset, dan dukungan karier masih terbatas bagi perempuan dan kelompok marginal, bagaimana kita bisa berharap pada solusi teknologi yang benar-benar berpihak?

Narasi seperti yang dibawa Azealia Banks, meskipun terdengar liar, bisa menjadi pemicu untuk membuka mata kita, bahwa di balik glamornya selebritas yang meluncur ke luar angkasa, ada banyak realitas yang jauh lebih penting dan sering terlupakan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menggeser sorotan dari yang spektakuler ke yang substansial. Karena bumi, dan semua yang hidup di atasnya—termasuk kita, masih membutuhkan perhatian, kebijakan, dan aksi nyata yang lebih penting daripada sekadar hype perjalanan luar angkasa.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini

Sempat Menjadi Sorotan, Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini?

Sahkan RUU PPRT

Pemerintah Harus Segera Sahkan RUU PPRT

WAIPA 2024: Perempuan ASEAN, Kekuatan Politik yang Tangguh dan Terhubung

Leave a Comment