Home » News » Peran dan Tantangan Perempuan dalam Diplomasi

Peran dan Tantangan Perempuan dalam Diplomasi

Yuni Camelia Putri

News

Peran dan Tantangan Perempuan dalam Diplomasi.

Bincangperempuan.com- Diplomasi menjadi pijakan dalam hubungan internasional, yang berperan mempromosikan perdamaian serta menjembatani kerja sama lintas negara. Peran perempuan dalam diplomasi saat ini mulai mengalami transformasi signifikan. 

Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dilakukan semakin diakui dan dihargai.  Dalam diplomasi, perempuan memiliki karakteristik nurturing dan look into details, yang sangat membantu menciptakan perlindungan dan perdamaian dengan optimal. 

Peran Perempuan dalam Diplomasi

Perempuan memberikan kontribusi yang kuat dalam praktik diplomasi. Kepekaan sosial hingga pemahaman tentang dinamika lintas budaya yang dimiliki perempuan menjadi sebuah keunikan dalam praktik diplomasi.

Kebanyakan dari diplomat perempuan memiliki kualifikasi yang tinggi sehingga mereka memiliki kemampuan negosiasi dan promosi dengan perspektif baru, serta  lebih kreatif dalam menyelesaikan isu-isu internasional.

Di banyak negara, peran perempuan dalam diplomasi seperti negosiasi perdamaian telah terbukti berhasil dalam menciptakan perjanjian perdamaian setelah perang. Selain itu, perempuan juga memainkan peran penting dengan menciptakan perubahan sosial dan mencari konsensus yang lebih positif daripada laki-laki.

Partisipasi perempuan dalam diplomasi telah banyak menghasilkan keberhasilan baru yang lebih efektif dibandingkan sebelumnya. 

Sebagai contoh, Anne Marie Slaughter yang menekan pemerintah internasional untuk menciptakan kebijakan sosial seperti kebijakan luar negeri yang feminis. Kebijakan ini kemudian diterapkan oleh pemerintah Swedia untuk menghilangkan kesenjangan kepemimpinan perempuan dalam politik, peradilan dan eksekutif sebuah perusahaan.

Baca juga : Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Solusi Datang dari Keluarga

Selain itu, Bonnie Miller yang merupakan pasangan diplomat Amerika Serikat juga turut berperan aktif dalam menghapus perdagangan manusia di negara-negara tempat suaminya bertugas.

Kedua tokoh ini menggambarkan bagaimana peran perempuan dalam diplomasi memberikan banyak dampak positif. Partisipasi perempuan dalam kepemimpinan di sektor keamanan, perdamaian, dan sektor lainnya telah memainkan banyak peran penting terhadap peningkat kualitas suatu negara.


Tokoh-Tokoh Diplomat Perempuan di Indonesia

Perempuan memiliki banyak peran penting dalam diplomasi. Di Indonesia, ada beberapa tokoh-tokoh diplomat perempuan yang memegang peran penting dalam hubungan internasional. 

1. Laili Roesad

Laili Roesad, diplomat pertama Indonesia
Laili Roesad (Foto: Departemen Penerangan)

Laili Roesad menjadi diplomat pertama dalam sejarah diplomatik Indonesia. Ia ditugaskan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Belgia pada tahun 1959-1964 dan Duta Besar Indonesia untuk Austria pada tahun 1967-1970. 

Kariernya dalam hubungan internasional telah diakui oleh pemerintah Belgia dan Luxemburg dengan memberikan bintang tanda jasa. Ia juga kerap mewakili Indonesia dalam konferensi internasional yang membahas tentang hukum diplomatik, perundingan tentang masalah Irian Barat hingga tenaga atom di Winam.

Baca juga: WAIPA 2024: Perempuan ASEAN, Kekuatan Politik yang Tangguh dan Terhubung

2. Supeni Pudjobuntoro

Supeni Pudjobuntoro (Foto: Shinta Bubu)

Supeni Pudjobuntoro ditunjuk oleh Soekarno sebagai Duta Besar Indonesia yang selalu keliling dunia. Ia merupakan diplomat yang sangat terampil dan berani menentang kebijakan Soekarno. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keberhasilannya dalam melobi sekutu-sekutu Amerika Serikat seperti Filipina, Turki, dan Pakistan yang berbalik untuk mendukung Indonesia terkait permasalahan Irian Barat.

Baca juga: Saatnya Perempuan Setara Berpolitik

3. Retno Marsudi

Retno Marsudi
Retno Marsudi (Foto: Kemenlu)

Retno Marsudi menjadi sosok diplomat Indonesia yang berhasil membawa masuk Indonesia ke dalam dewan tidak tetap PBB. Kariernya sebagai Duta Besar Indonesia dimulai pada tahun 2005 sampai 2008, ketika ia ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia. 

Setelah itu, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri pada tahun 2008 sampai 2012 dan kembali ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia Untuk Belanda ditahun 2012 sampai 2014. Karier cemerlang yang dimiliki oleh Retno Marsudi mengantarkannya menjadi Menteri perempuan pertama dalam sejarah Kementerian Luar Negeri yang menjabat hingga dua periode.

Baca juga: Menguatkan Pendidikan Pemilih untuk Melawan Politik Identitas dan Patriarki

4. Sindy Nur Fitri

Sindy Nur Fitri
Sindy Nur Fitri (Foto: LinkedIn Sindy Nur Fitri)

Sindi Nur Fitri menjadi diplomat muda perempuan yang mendapat sorotan media beberapa waktu lalu. Jawaban tegasnya terhadap pernyataan Vanuatu tentang pelanggaran HAM di Papua Barat dalam sidang PBB beberapa waktu lalu berhasil membungkam delegasi Vanuatu. Sindy Nur Fitri menjabat sebagai Sekretaris Ketiga Perutusan Tetap Republik Indonesia di New York.

Baca juga: Rasisme dan Patriarki: Beban Ganda yang Dipikul Perempuan Timur


Tantangan Perempuan dalam Bidang Diplomasi

Meskipun perempuan sudah banyak menunjukkan kontribusinya dalam diplomasi, akan tetapi masih banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Tak jarang, diskriminasi gender masih menjadi tantangan yang dapat membatasi peran perempuan dalam diplomasi. 

Ketidaksetaraan Representasi

Hanya segelintir perempuan yang berhasil menduduki kursi jabatan diplomatik. Ini erat kaitannya dengan representasi bahwa sektor diplomatik merupakan wilayah maskulin. Wilayah yang seharusnya dikuasai laki-laki.

Laporan tentang indeks perempuan dalam diplomasi tahun 2023 menunjukkan bahwa partisipasi perempuan di Asia sebagai duta besar dan perwakilan PBB hanya sebesar 12%. Ini menunjukkan jika perempuan masih menjadi minoritas dalam bidang diplomasi.

Patriarki dan Stereotip Gender

Budaya patriarki masih sangat kental dalam internal kelembagaan terutama dibidang diplomasi. Ada anggapan bahwa perempuan hanya cocok berperan dalam sektor-sektor sosial atau kesejahteraan publik. Ini telah menghalangi perempuan untuk berpartisi dalam isu yang lebih kompleks seperti keamanan dan politik.

Keseimbangan Diplomatik dan Kehidupan Pribadi

Perempuan dibebankan untuk mengurus urusan rumah tangga meskipun memiliki jabatan publik. Hal ini menjadikan perempuan memikul beban ganda dalam menjalankan tugas diplomatiknya. Upaya perempuan untuk menciptakan keseimbangan di antara kehidupan pribadi dan urusan diplomatik menjadi tantangan berat hingga saat ini.(Yuni Camelia Putri) 

Sumber : 

  • Wendy Andhika Prajuli, 2023. “Menjadi pendamping diplomat: peran diplomasi yang strategis, namun kerap tak dianggap”, dalam The Conversation 
  • Federica Caso dan Shannon Zimmerman, 2021.”Women play a critical role in diplomacy and security, so why aren’t more in positions of power?” dalam The Conversation. 
  • Raden Trimutia Hatta, 2021. “Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Perempuan Pertama dalam Sejarah Indonesia”, dalam Liputan6 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Tetap Menikmati Lezatnya Kuliner khas Negeri 

Perempuan Desa Pondok Kelapa, Berjuang Menghadapi Abrasi  

CAHAYA PEREMPUAN WOMEN CRISIS CENTER (WCC)

Cahaya Perempuan WCC: Mengabdi untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

6 Comments

  1. Sependapat, dalam hal urusan berdiplomasi baik dalam negeri ataupun luar negeri tidak ada bedanya jika yang menjalankan adalah perempuan ataupun laki-laki, bukan berarti perempuan harus didorong mengedepankan urusan diplomasi daripada kehidupan pribadinya.

    Reply
  2. sependapat, karena perempuan mempunyai keunggulan kemampuan multitasking sehingga dapat fokus mengerjakan pekerjaan formal nya sebagai diplomatic dan pekerjaan non formal sebagai ibu rumah tangga sekaligus. isu feminis sendiri tidak akan begitu berarti ketika kemampuan wanita itu sendiri sudah terlihat, terbukti baik dan bahkan sampai di apresiasi oleh kaum laki2

    Reply
  3. artikel ini secara tidak langsung telah memaparkan bahwa dalam diplomasi tidak bergantung pada apa gendernya . karena pada faktanya baik laki laki maupun perempuan sama-sama memiliki kesempatana dalam mencapai intelegensi dan bahwa kepemilikan intelegensi tidak memandang gender,ras,kewarganegaraan,umur dll karena faktanya ide hebat itu bisa datang dari manapun juga

    Reply
  4. What an interesting write-up! I really enjoyed reading about the significant role of women’s in the world of diplomacy. Hopping that Indonesia will have more female diplomats and regulators in the future! Applause for the author.

    Reply

Leave a Comment