Bincangperempuan.com- Istilah hustle culture sudah menjadi menjadi fenomena dalam kehidupan banyak individu, terutama di kalangan generasi muda yang bersemangat mengejar kesuksesan karier plus menikmati kekayaan diusia muda. Hustle culture menggambarkan budaya di mana seseorang merasa harus bekerja keras tanpa henti untuk mencapai tujuan profesional. Walaupun seringkali dengan mengorbankan aspek lain dalam kehidupan mereka.
Bagi perempuan, tekanan ini menjadi semakin kompleks karena mereka harus menghadapi ekspektasi sosial yang menuntut mereka untuk sukses di berbagai peran, baik sebagai profesional maupun sebagai pengurus rumah tangga.
Perempuan yang memiliki ambisi yang tinggi untuk mencapai kesuksesan dalam karier, harus berjuang untuk mendobrak batasan-batasan gender yang telah ada selama bertahun-tahun dan membuktikan bahwa mereka mampu bersaing di dunia kerja yang didominasi oleh laki-laki. Sayangnya, dalam prosesnya, perempuan seringkali terjebak dalam hustle culture yang memaksa mereka untuk bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih intensif.
Meskipun hustle culture memberikan dorongan bagi perempuan untuk terus berkembang dan mencapai potensi penuh mereka. Namun, di sisi lain, budaya ini juga menciptakan tekanan yang sangat besar, terutama ketika perempuan merasa bahwa mereka harus membuktikan diri dalam setiap aspek kehidupan. Mereka tidak hanya harus sukses dalam pekerjaan, tetapi juga harus memenuhi ekspektasi sosial untuk menjadi ibu yang baik, istri yang perhatian, dan anak yang berbakti.
Baca juga: Marie Antoinette: Bias Patriarki dalam Penghakiman Publik
Peran tradisional dan keseimbangan hidup
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perempuan dalam hustle culture adalah bagaimana menyeimbangkan ambisi karier dengan peran tradisional yang masih melekat kuat dalam masyarakat. Di banyak budaya, perempuan masih dianggap sebagai pengurus utama keluarga, yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ini lagi-lagi menempatkan perempuan pada posisi yang sulit, di mana mereka harus membagi waktu dan energi antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Tekanan ini seringkali menyebabkan perempuan mengalami kelelahan fisik dan mental. Mereka merasa harus menjadi ‘superwoman’ yang mampu mengatasi semua tantangan tanpa menunjukkan kelemahan. Bahkan ketika mereka merasa kewalahan, ada ekspektasi bahwa mereka harus tetap terlihat kuat dan tenang, karena mengakui kelemahan bisa dianggap sebagai kegagalan dalam memenuhi peran gender yang ideal.
Tekanan sosial menjadi ‘Superwoman’
Konsep ‘superwoman’ ini adalah salah satu hasil dari hustle culture yang paling merugikan bagi perempuan. Sebagai usaha untuk memenuhi standar kesempurnaan yang hampir tidak mungkin, perempuan seringkali mengabaikan kesehatan fisik dan mental mereka. Mereka merasa harus selalu siap bekerja lembur, merawat anak, dan menjaga keharmonisan rumah tangga, seringkali dengan mengorbankan kebutuhan pribadi mereka sendiri.
Akibatnya, banyak perempuan yang mengalami burnout, yaitu kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres berkepanjangan. Dalam beberapa kasus, burnout ini dapat mengarah pada masalah kesehatan yang lebih serius, seperti depresi atau gangguan kecemasan. Selain itu, tekanan untuk memenuhi semua peran ini juga dapat merusak hubungan pribadi, karena perempuan mungkin merasa tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dari pasangan atau keluarga.
Baca juga: Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim
Cara menghadapi hustle culture
Menghadapi hustle culture tidaklah mudah, terutama ketika tekanan datang dari berbagai arah—pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh perempuan untuk menjaga keseimbangan antara ambisi karier dan kehidupan pribadi.
Pertama, penting bagi perempuan untuk menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini bisa berarti menolak pekerjaan tambahan yang tidak perlu, belajar untuk delegasi tugas, atau mengambil waktu istirahat yang cukup. Menghargai kebutuhan pribadi dan tidak merasa bersalah untuk meluangkan waktu bagi diri sendiri adalah langkah penting untuk mencegah burnout.
Kedua, mencari dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat penting. Ini bisa berupa dukungan emosional dari pasangan, keluarga, atau teman, serta dukungan praktis dalam bentuk bantuan dengan tugas rumah tangga atau pengasuhan anak. Berbicara terbuka tentang kesulitan yang dihadapi dan meminta bantuan ketika dibutuhkan dapat mengurangi tekanan yang dirasakan.
Ketiga, perempuan perlu mengubah cara pandang mereka terhadap kesuksesan. Kesuksesan tidak harus berarti mencapai semua hal sekaligus. Belajar untuk fokus pada prioritas yang paling penting dan merayakan pencapaian kecil sepanjang jalan dapat membantu perempuan merasa lebih puas dan tidak terlalu terbebani oleh ekspektasi yang tidak realistis.
Hustle culture telah membawa perempuan ke dalam lingkaran ambisi yang tanpa henti, di mana mereka merasa harus selalu berusaha lebih keras untuk memenuhi ekspektasi yang sangat tinggi. Namun, penting untuk diingat bahwa keseimbangan hidup adalah kunci untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Perempuan tidak harus menjadi ‘superwoman’ yang sempurna dalam segala hal. Sebaliknya, dengan menetapkan batasan, mencari dukungan, dan memprioritaskan kesejahteraan pribadi, perempuan dapat mencapai kesuksesan dalam karier mereka sambil tetap menjaga kesehatan fisik dan mental mereka.
Untuk menghadapi hustle culture, perempuan harus terus berjuang untuk menemukan keseimbangan yang sehat antara ambisi dan kehidupan pribadi. Sehingga mereka tidak hanya akan mampu mencapai tujuan karier mereka, tetapi juga menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan bermakna.