Bincangperempuan.com- Menurut data UN Women, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki di seluruh dunia. Usia angkatan kerja laki-laki pada 25-54 tahun, partisipasinya sebesar 94 persen sedangkan partisipasi perempuan hanyalah 63 persen (ILO, 2018).
Perbandingan pada tahun 2018, ketika perempuan muda yang berusia (15 tahun ke atas) dan perempuan yang lebih tua (usia 55 tahun ke atas), tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja global jauh lebih rendah, yaitu sebesar 48,5 persen atau dikalkulasikan menjadi 26,5 poin persentase dibawah laki-laki
Bahkan berdasarkan data dari Catalyst, banyaknya perempuan yang dibatasi dalam mencapai posisi kepemimpinan tertinggi, hanya ada sekitar 5% dari CEO Fortune 500 yang merupakan perempuan.
Selain sedikitnya kesempatan promosi kerja, perempuan juga cenderung mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tanpa memandang perempuan tersebut dari usia, lokasi, pendapatan atau bahkan status sosial. Diskriminasi sosial dan kekerasan terhadap perempuan juga memberikan kerugian ekonomi dan sosial bagi negara. Contohnya di Amerika Serikat, harus mengeluarkan biaya sebesar USD 12 triliun setiap tahunnya dikarenakan kasus yang seperti ini.
Hal ini menunjukan adanya fenomena glass ceiling. Fenomena glass ceiling atau langit-langit kaca merujuk pada hambatan-hambatan tak terlihat yang mencegah perempuan untuk maju ke posisi-posisi lebih tinggi di tempat kerja, meskipun memiliki kualifikasi dan prestasi yang cukup. Istilah glass ceiling pertama kali dikemukakan oleh Wall Street Journal.
Baca juga: Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media – Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa
Di dunia profesional, perempuan menghadapi berbagai tantangan unik dalam meniti karir mereka. Salah satu tantangan yang menonjol yang tadi dijelaskan sebelumnya yaitu adanya glass ceiling. Fenomena ini mengacu pada pengalaman di mana perempuan, meskipun memiliki kualifikasi dan kinerja yang sama dengan rekan pria mereka, sering kali mengalami kesulitan untuk mencapai posisi kepemimpinan atau level karir yang lebih tinggi.
Tentu saja, pemberian kesempatan yang setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, merupakan tujuan yang diinginkan dalam dunia kerja. Namun, data dan fakta menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih terasa kuat, terutama di tingkat manajerial dan eksekutif.
Menurut survei Global Gender Gap Report 2020 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, hanya 26,4% dari posisi manajemen senior di seluruh dunia dipegang oleh perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa akses perempuan ke posisi-posisi kepemimpinan masih terbatas. Di beberapa negara, bahkan angka ini jauh lebih rendah.
Mengutip penelitian Belle Rose Ragins dan kawan-kawan dalam “Gender gap in the executive suite: CEOs and female executives report on breaking the glass ceiling, para manajer perempuan melihat sindrom glass ceiling sebagai situasi negatif yang mempengaruhi perkembangan karier perempuan. Mereka menganggap alasan paling penting dalam hal ini adalah masyarakat yang didominasi laki-laki.
Contohnya saja pembagian soal pekerjaan, perempuan dianggap lebih cocok mengurusi administrasi dibandingkan laki-laki, karena perempuan memiliki perasaan, dianggap lebih rapi dan telaten. Hal ini membuat perempuan terkesan hanya ditempatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tampilan dan tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan penting.
Inilah yang menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam persepsi dan peluang antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja. Untuk breaking glass ceiling memerlukan pemahaman yang akurat tentang hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan, serta strategi yang digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Penting untuk diakui bahwa fenomena glass ceiling tidak terbatas pada satu negara atau wilayah tertentu. Ini adalah masalah global yang mempengaruhi perempuan di berbagai industri dan sektor, termasuk perusahaan Fortune 1000.
Menurut temuan penelitian, para manajer perempuan melihat sindrom langit-langit kaca sebagai situasi negatif yang memengaruhi perkembangan karier wanita. Mereka menganggap alasan paling penting untuk hal ini adalah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.
Baca juga: Retrospeksi Citradaya Nita: Perempuan & Kepemimpinan
Kompleksitas penyebab
Dikutip dari karya tulis Joan Natasya Lambe dalam Portal Jaring Indonesian Business Coalition for Women Empowerment, dijelaskan bahwa penyebab munculnya “glass ceiling” adalah kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, World Economic Forum mengatakan bahwa butuh 99 tahun agar bisa mencapai kesetaraan gender secara optimal di seluruh dunia.
Dari data WEF, hanya ada 10 negara yang tingkat kesetaraan gendernya termasuk golongan baik atau optimal, yakni: Islandia, Norwegia, Finlandia, Swedia, Nicaragua, New Zealand, Irlandia, Spanyol, Rwanda, Jerman (berdasarkan peringkat awal terakhir).
Bagaimana dengan Indonesia? Jika dilihat secara keseluruhan, indeks Indonesia menduduki posisi 85, menutup 70 persen dari kesenjangan gendernya. Selain itu, melihat dari sub indeks Ekonomi dan Kesempatan Berusaha, partisipasi perempuan hanya menempati posisi ke 68 dari 153 negara (Lambe, 2023).
Beberapa alasan mendasar mencakup adanya bias gender dalam proses rekrutmen dan promosi, kurangnya dukungan dari atasan atau mentor, serta norma-norma sosial yang membatasi peran perempuan dalam lingkungan kerja. Contoh nyatanya, seperti yang dialami oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Riset jurnal dari mahasiswa Universitas Airlangga, didapatkan bahwa adanya ketimpangan jabatan PNS perempuan dan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari grafik terkait persentase PNS pada jabatan struktural eselon I di 34 (Cahyani, 2019). Kementerian Indonesia dimana memang tidak stabil angka persentasenya. Pada tahun 2014, hanya 15,6% perempuan pada eselon I mengalami penurunan hingga tahun 2018. Perbandingan poin 2,84%, dibandingkan pada tahun sebelumnya hingga menjadi 23,62%.
Perempuan mengalami glass ceiling yang menghambat mereka memperoleh jabatan yang lebih tinggi atau tingkat yang tertinggi seperti Deputi atau Direktur Jenderal di birokrasi. Tumpang tindih inilah adalah bukti nyata gap bagi perempuan berkarir. Selain itu, tekanan dari tanggung jawab keluarga juga sering menjadi faktor penghambat bagi perempuan dalam mengejar karir mereka.
Meskipun semakin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya keseimbangan kerja-hidup dan menawarkan kebijakan fleksibilitas kerja, namun masih ada stigma negatif terhadap perempuan yang memilih untuk fokus pada karir mereka.
Mengatasi glass ceiling
Gap bagi perempuan berkarir tentunya harus menjadi concern kita bersama. Oleh karena itu, mengatasi glass ceiling memerlukan beberapa langkah-langkah atau upaya menurut tulisan Elizabeth Perry yang berjudul “Breaking The Glass Ceiling at Work and Unleashing Your Potential”.
Pertama, perusahaan dan organisasi perlu mengevaluasi kebijakan dan praktik mereka untuk memastikan tidak ada bias gender dalam proses perekrutan, promosi, dan tinjauan kinerja mereka. Kebijakan yang mendorong keseimbangan kehidupan kerja, seperti fleksibilitas kerja dan cuti keluarga, juga harus diterapkan untuk membantu perempuan mengatasi tekanan tanggung jawab keluarga.
Selain itu, penting bagi perusahaan atau institusi untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung dimana perempuan merasa didukung dan dihargai dalam mencapai tujuan karir mereka. Pembinaan dan pelatihan khusus perempuan juga dapat membantu perempuan mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk maju ke peran kepemimpinan.
Hal ini juga memberikan peluang bagi perempuan untuk membangun jaringan profesional yang kuat yang dapat membantu mereka menerima dukungan dan peluang karir. Selain upaya di tingkat korporasi, pemerintah juga mempunyai peran penting dalam mendobrak batasan tersebut. Kebijakan publik yang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja, seperti undang-undang yang melarang diskriminasi gender dan insentif bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan kesetaraan gender, dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan setara bagi semua orang.
Langkah-langkah nyata dan dukungan kuat dari dunia usaha, organisasi, dan pemerintah dapat mengurangi kesenjangan atau gap karier bagi perempuan dan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang secara profesional dan sukses.
Sumber:
- Belle Rose Ragins, Bickley Townsend and Mary Mattis dalam Gender gap in the executive suite: CEOs and female executives report on breaking the glass ceiling, 1998
- Rodiguez, Rick Caceres dalam The Glass Ceiling Revisited: Moving Beyond Discrimination in the Study of Gender in Public Organizations. Sage Journal. 2011
- Saulin, Meghan dalam A Look at the Cracks in the Glass Ceiling. Neumann Business Journal, 2014.
- Organisasi Buruh Internasional (ILO), World Employment and Social Outlook: Trends for Women 2018: Global Snapshot (Jenewa, 2018).
- Cahyani, V. B. dalam Glass Ceiling pada Perempuan dalam Menempati Posisi Strategis Struktural di Birokrasi, 2019
- Lambe, J. N. dalam Global Gender Gap Report 2020 : Butuh 99 Tahun Lebih Untuk Mencapai Kesetaraan Gender! 2023