Sudah lebih dari empat dekade diskursus tentang perempuan dan kehutanan komunitas (community forestry) dikumandangkan. Pertama kali dikumandangkan pada sebuah seminar internasional yang bertema “The Role of Women in Community Forestry” di Dehra Dun, India pada tahun 1980 (Honskin, 2016) atau dua tahun setelah pelaksanaan World Forestry Congress di Jakarta, Indonesia dengan tema “Forest For People” yang mengumandangkan diskursus kehutanan komunitas (community forestry), dan satu tahun setelah penandatanganan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kendati demikian, perkembangannya masih sangat terbatas (Jhaveri, 2020).
Di Indonesia, Pemerintah mulai menjadikan kehutanan komunitas sebagai strategi kebijakan pada tahun 1995 (FAO and RECOFTC, 2015). Dua belas tahun kemudian atau pada tahun 2007, Pemerintah menerbitkan kebijakan yang menjadi dasar legalitas untuk skema-skema kehutanan komunitas seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan dan kemitraan (Siscawati and Mahaningtyas, 2012). Akan tetapi, kebijakan tersebut masih abai untuk menghilangkan ketidakadilan yang dialami perempuan (Siscawati and Mahaningtyas, 2012; FAO and RECOFTC, 2015; Marcoes, 2015), kendati kebijakan tersebut diterbitkan setelah tujuh tahun terbitnya Instruksi Presiden No. 9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional atau empat tahun setelah terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 528/2004 Tentang Panduan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Kehutanan.
Baca juga: Zapuri, Selamatkan Perempuan dari Jerat Rentenir Lewat Kopwan Rinjani
Pemerintah Indonesia mulai mengakui persamaan hak laki-laki dan perempuan atas hutan melalui program kehutanan komunitas pada tahun 2016 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 Tentang Perhutanan Sosial. Pada tahun 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.31/2017 Tentang Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mempercepat upaya mengatasi masalah kesenjangan hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan antara perempuan dan laki-laki. Namun, baru di Provinsi Bengkulu terdapat kelompok perempuan yang berhasil mendapatkan legalitas hak akses, partisipasi, kontrol dan manfaat hutan melalui Perhutanan Sosial.
Keberhasilan kelompok perempuan di Provinsi Bengkulu tersebut dipelopori oleh Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong pada 5 Maret 2019. Keberhasilan tersebut menginspirasi kelompok perempuan desa lainnya di Kabupaten Rejang Lebong, yakni KPPL Karya Mandiri Desa Tebat Tenong Luar, KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya, dan KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening untuk memperjuangkan legalitas hak-hak perempuan atas hutan melalui Perhutanan Sosial. Setelah berproses, KPPL Karya Mandiri berhasil mendapatkan legalitas hak–hak perempuan atas hutan pada 8 Agustus 2020, dan KPPL Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera pun berhasil mendapatkan legalitas hak-hak perempuan atas hutan pada 7 Desember 2021.
Keberhasilan demi keberhasilan tersebut semakin menginspirasi perempuan desa lainnya. Setidaknya, sudah ada tujuh kelompok perempuan desa di Provinsi Bengkulu yang berproses untuk memperjuangkan legalitas hak-hak perempuan atas hutan melalui Perhutanan Sosial. Mereka adalah KPPL Pal Jaya Desa Pal VIII, KPPL Mulia Bersama Desa Pal VIII dan KPPL Makmur Jaya Desa Mojorejo di Kabupaten Rejang Lebong, Kelompok Perempuan Alam Lestari dan Sejahtera Desa Batu Ampar dan Kelompok Perempuan Seroja Makmur Desa Pungguk Meranti di Kabupaten Kepahiang, dan Kelompok Perempuan Tanjung Heran Maju Desa Tanjung Heran dan Kelompok Perempuan Susup Sejahtera Desa Susup di Kabupaten Bengkulu Tengah. Semoga perjuangan tujuh kelompok perempuan tersebut juga mencapai keberhasilan, sehingga akan semakin menginspirasi perempuan desa lainnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan atas hutan, dan berkontribusi terhadap perkembangan diskursus perempuan dan kehutanan komunitas di Indonesia. (**)
*) Penulis Dedek Hendry dari Lembaga Kajian, Advokasi dan Edukasi (LivE), tulisan ini terbit pertama kali di livebengkulu.com
*) Keterangan foto : Sebagian anggota KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya dan KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening berkumpul sebelum melaksanakan kegiatan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.(ist/bp)