Bincangperempuan.com- Rania, tak henti menghela nafas berat saat menuturkan harapan dari perempuan-perempuan desa yang tergabung dalam Organisasi Perempuan Sungai Lemau, yang dipimpinnya. Sudah bertahun-tahun, mereka mengeluhkan haknya pada pemerintah namun tidak kunjung membuahkan hasil.
Organisasi Perempuan Sungai Lemau nyaris berusia 7 tahun. Organisasi ini dibangun atas kesadaran perempuan-perempuan di Desa Pondok Kelapa, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, yang khawatir dengan kritisnya kondisi alam di desa tersebut. Mereka, para perempuan ini menyuarakan keresahan krisis lingkungan dan abrasi yang terjadi tiap tahunnya dan mengancam rumah serta sumber penghasilan mereka terancam menghilang.
Tidak sedikit, lahan perkebunan dan rumah masyarakat yang berada di pinggir pantai saat ini hanya tinggal kepemilikan di atas kertas (sertifikat,red) karena kenyataannya lahan tersebut sudah hilang akibat abrasi.
“Kami sudah pergi kesana kemari untuk meminta bantuan dari pemerintah terkait, dari tingkat desa, ke kecamatan, bahkan anggota dewan perwakilan juga sudah kami temui, katanya nanti dibantu diusulkan ke pejabat yang lebih tinggi,” ujar perempuan berusia 49 tahun itu getir
“Sudah dibantu oleh Walhi untuk sampai ke Kementerian PUPR, tapi ya tetap saja hingga saat ini malah saling lempar tanggungjawab, katanya bukan kewenangan mereka dan segala macam,” sambungnya lagi.
Kondisi yang sama, lanjut Rania, ternyata tidak hanya ia dan kelompoknya alami. Rania menyadari, saat mengikut beberapa seminar ketika mewakili organisasinya, ia melihat kenyataan beberapa kelompok perempuan di wilayah berbeda di Indonesia juga memperjuangkan hal yang sama. Namun lagi-lagi pemerintah tidak mengubris hal tersebut.
Baca juga: Perempuan Petani Kopi di Desa Batu Ampar Menghadapi Perubahan Iklim
Sembari menunggu hati pemerintah terketuk, kelompok perempuan mencoba menanam mangrove di daerah pinggir pantai. Harapannya bisa menjadi penghalang ombak, namun usaha ini sia-sia. Bibit-bibit yang ditanam habis “dimakan” ombak pantai yang mengganas.
Hilangnya sumber pendapatan
Sambil memandang jauh ke arah pantai, Rania menungkapkan bahwa dulunya bibir pantai sangat jauh dari rumah warga. Setiap hari perahu-perahu nelayan yang jumlahnya puluhan ramai berjejer di pinggir pantai. Usai para lelaki menangkap ikan, kemudian pulang dan perempuan-perempuan bergerak menjual hasil tangkapannya.
Dilansir dari website profil desa pondokkelapa.desa.id Desa Pondok Kelapa yang telah berdiri sejak tahun 1940 ini termasuk dalam desa tertua di Bengkulu Tengah. Dulunya Pondok Kelapa dikenal makmur dengan hasil laut yang kaya.
Namun beberapa tahun terakhir pemandangan tersebut tergantikan dengan hamparan ombak. Semenjak abrasi, nelayan harus pindah ke daerah yang cukup jauh untuk pergi melaut, persaingannya juga jadi semakin sengit sehingga banyak yang memutuskan untuk beralih profesi.
Kini warga desa banyak yang merantau keluar dari desa untuk mencari pekerjaan lain, tidak sedikit juga yang menjadi buruh untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari hari. Para perempuan juga kebanyakan hanya bisa menjadi ibu rumah tangga dan mengandalkan penghasilan suaminya.
“Waktu 2022 sempat terjadi banjir besar di sini, air sungai dan air laut meluap dan menghanyutkan beberapa rumah warga. Sedih mengingatnya, andaikan saat itu sudah ada beton pemecah ombak mungkin kerugian yan dialami bisa diminimalisir” kenangnya.
Rania merasa miris sekali karena desa ini justru kurang perhatian dari pemerintah. Ia bertanya-tanya apakah karena Desa Pondok Kelapa ini tidak memiliki potensi yang menguntungkan sehingga tidak ada bantuan yang datang.
“Masalah desa kami ini sudah sering diliput dan diberitakan dimana-mana, bahkan sampai luar negeri tapi pemerintah kami sendiri sampai saat ini masih tidak merespon keluhan kami,” ujar Rania.
Efendi, suami Rania menambahkan bahwa sudah lebih dari 1 km tanah pantai habis sejak tahun 2000 akibat abrasi yang terjadi dan pada tiap tahun setidaknya 1 meter tanah terkikis. Ia mengungkapkan bahwa jika tidak ada penanggulangan secepatnya maka diperkirakan 10 tahun ke depan Desa Pondok Kelapa ini hanya tinggal separuhnya dan akan ada ratusan rumah warga yang terancam hilang.
“Ya, kalau masih ada organisasi lingkungan atau mahasiswa dan relawan yang ikut bersuara dan peduli kepada Desa ini, mungkin masih bisa diselamatkan. Kami disini ya sudah tidak bisa berbuat banyak, pasrah saja,” ucap Efendi.
Baca juga: Susi Pudjiastuti: Ketamakan dan Keserakahan Manusia Terhadap Kerusakan Lingkungan
Rania mengaku bahwa ia dan anggota Organisasi Perempuan Sungai Lemau beberapa waktu lalu sempat ingin melakukan demonstrasi penutupan jalan di Desa Pondok Kelapa akibat geram dengan tidak tanggapnya pemerintah terkait keluhan mereka, akan tetapi masih urung karena pihak Walhi Bengkulu mencegah dan memberi saran agar tetap menunggu tanggapan terlebih dahulu.
Lelah yang perempuan Desa Pondok Kelapa alami dalam menyuarakan keluhan juga sayangnya hanya mendapat usulan relokasi atau warga yang akan terdampak abrasi diminta untuk mengungsi yang mana hal ini bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi
“Harapan dan tuntutan kami tidak banyak, setidaknya pemerintah turun langsung membantu mencegah abrasi di desa kami agar Desa Pondok Kelapa tidak hilang. Tolong dibuatkan sarana penahan atau pemecah ombak supaya air laut tidak lansung mengikis tanah kami,” ujar Rania lirih.