Bincangperempuan.com– Pencapaian jumlah anggota DPR RI perempuan periode 2024-2029 patut diapresiasi. Pertama dalam sejarah sejak berlakunya affirmative action, ada 127 perempuan berhasil duduk di Senayan, setara dengan 21,9% dari total 580 anggota dewan yang resmi dilantik, Selasa (01/10/2024).
Partai besutan Megawati, PDI Perjuangan menempatkan 27 politisi perempuan terbanyak, menyusul Nasional Demokrat (Nasdem) sebanyak 21 politisi perempuan. Kemudian, Golongan Karya (Golkar) sebanyak 20 orang politisi perempuan.
Periode sebelumnya, pemilu 1999 jumlah anggota DPR RI perempuan hanya 8,2%. Jumlah tersebut mengalami kenaikan menjadi 11,5% pada pemilu 2004. Selanjutnya, meningkat lagi menjadi 18% pada pemilu 2009. Pada pemilu 2014, capaian jumlah anggota DPR RI perempuan turun menjadi 17,3%, dan kembali mengalami kenaikan menjadi 20,5% pada pemilu 2019.
Pencapaian-tersebut tentunya tidak serta merta diraih perempuan, BPer’s. Ada beragam bias yang dihadapi ketika seorang perempuan memberanikan diri untuk maju menjadi pejabat publik. Perempuan harus siap menghadapi penolakan yang tidak dialami laki-laki, akibat pengaruh stereotipe gender yang sudah mengakar. Tidak hanya dari laki-laki, namun tak jarang dari perempuan lain yang sudah terpapar nilai-nilai patriarki.
Baca juga: Konstruksi Sosial di Balik Standar Kecantikan Kulit Harus Putih
Bias perempuan memasuki dunia politik
- Stereotipe gender dan kompetensi
Salah satu bias utama yang sering dihadapi perempuan dalam politik adalah keraguan terhadap kompetensi mereka. Stereotipe gender yang menyebut bahwa perempuan cenderung lebih emosional atau kurang tegas membuat banyak orang menganggap perempuan tidak cukup mampu untuk memimpin, khususnya dalam posisi politik strategis. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat sering kali lebih memercayai pemimpin laki-laki untuk posisi yang membutuhkan ketegasan atau kemampuan mengambil keputusan cepat. Akibatnya, perempuan harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan diri bahwa mereka juga memiliki kualitas tersebut.
- Ekspektasi ganda: keluarga dan karier
Perempuan yang terjun ke politik sering kali dihadapkan pada ekspektasi ganda, di mana mereka diharapkan bisa tetap menjalankan peran sebagai ibu dan istri sambil menekuni karier politik. Dalam beberapa budaya, perempuan yang memilih karier politik dianggap “mengabaikan” tanggung jawab keluarga. Beban ini tidak selalu dihadapi laki-laki dalam politik, sehingga perempuan terpaksa harus mengatur waktu dan energi lebih besar untuk memenuhi ekspektasi ini. Pandangan semacam ini menyebabkan perempuan yang sudah terjun ke dunia politik sering merasa terbatas dalam hal waktu dan energi yang bisa mereka curahkan pada pekerjaan politik.
- Bias media: representasi dan standar ganda
Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik terhadap politisi perempuan. Sayangnya, politisi perempuan sering kali direpresentasikan dengan cara yang bias dan seksis. Misalnya, sorotan media sering kali lebih fokus pada penampilan fisik, gaya berpakaian, atau kehidupan pribadi mereka daripada prestasi dan ide-ide mereka. Selain itu, politisi perempuan sering dihadapkan pada standar ganda di mana tindakan atau keputusan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap wajar, namun ketika dilakukan oleh perempuan, justru menjadi bahan kritik.
- Kekerasan berbasis gender di dunia politik
Kekerasan berbasis gender menjadi salah satu bentuk intimidasi yang sering kali dihadapi oleh perempuan dalam politik. Kekerasan ini bisa berwujud pelecehan verbal, fitnah, bahkan ancaman fisik yang ditujukan untuk menggoyahkan kepercayaan diri mereka atau menakut-nakuti perempuan agar keluar dari politik. Kekerasan berbasis gender ini kerap kali datang dari lawan politik, anggota masyarakat, bahkan dari sesama politisi. Kekerasan politik berbasis gender ini bertujuan untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam politik sehingga menyebabkan banyak perempuan enggan melanjutkan karier politiknya.
- Minimnya dukungan dalam Partai Politik
Struktur partai politik yang didominasi laki-laki sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Meski ada kuota keterwakilan perempuan dalam beberapa partai, kenyataannya perempuan sering kali ditempatkan pada posisi atau urutan pencalonan yang tidak strategis. Lebih jauh lagi, perempuan kurang mendapatkan mentor atau dukungan jaringan di partai, yang penting dalam meraih posisi politik. Kurangnya dukungan struktural ini menjadi salah satu alasan mengapa perempuan masih minoritas dalam kepemimpinan partai atau posisi politik tingkat tinggi.
Perempuan sering kali dibatasi oleh kurangnya akses terhadap sumber daya penting, seperti dana kampanye atau akses ke donor potensial. Banyak calon politisi perempuan yang menghadapi tantangan dalam mencari dana kampanye yang cukup, mengingat sebagian besar jaringan donor dikuasai oleh laki-laki. Hambatan finansial ini membuat perempuan kesulitan bersaing secara setara dalam kampanye politik, dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi yang lebih tinggi.
Baca juga: Bertanam Pinang, Cara Perempuan Serawai Menyelamatkan Desa
Keluar dari bias
Dilansir dari Lean in #GetOutTheBias besutan Sheryl Sandberg’s, ada beberapa bias yang biasanya dihadapi perempuan. Mulai dari persoalan pakaian hingga stigma perempuan tidak cukup tangguh.
- Gaya berpakaian
Sadar atau tidak, namun masyarakat sering kali mempersoalkan cara berpakaian perempuan. Entah komentar-komentar tersebut bersifat mengkritik atau menyanjung, sebaliknya komentar tersebut cenderung mengalihkan perhatian dari hal yang sebenarnya penting yakni kemampuan bekerja. Mari fokus pada ide-ide yang disampaikan termasuk pengalaman yang dihadapi perempuan tersebut selama ini.
- Cara berbicara
Tak sebatas cara berpenampilan, namun penelitian menunjukkan bahwa perempuan juga sering mendapatkan umpan balik negatif terkait gaya bicara mereka, sementara laki-laki tidak. Ketika perempuan berbicara dengan lantang dan penuh percaya diri, terkadang itu dianggap sebagai sebuah teriakan. Padahal fokus dengan apa yang disampaikan jauh lebih penting dibanding bagaimana cara perempuan tersebut mengatakan. Termasuk ketika perempuan berbicara dengan lantang, terkadang itu dianggap sebagai sebuah teriakan.
- Dianggap agresif
Ketika perempuan berani menegaskan dirinya atau mengekspresikan perasaannya, maka publik akan memberikan respon negatif alias tidak suka. Maka “hukuman atas ketidakkesukaan” ini sering kali terlihat dari kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan pemimpin perempuan-seperti “agresif” atau “sulit”. Sangat berbeda dengan perlakuan yang diterima laki-laki. Seorang pemimpin laki-laki diharapkan bersikap tegas, dan itu tidak dianggap sebagai bentuk sikap yang agresif.
- Dianggap emosional
Perempuan sering distereotipkan sebagai sosok yang terlalu emosional, sementara laki-laki dipandang sebagai sosok yang rasional sehingga dinilai lebih cocok untuk memimpin. Sekitar 1 dari 8 orang Amerika Serikat berpikir bahwa laki-laki “lebih cocok secara emosional” untuk berpolitik dibandingkan perempuan.
- Terlalu ambisius
Kultur sosial berharap perempuan tidak mementingkan diri sendiri, sehingga perempuan sering kali menghadapi kritik karena dianggap “terlalu ambisius” atau “hanya mementingkan diri sendiri” terutama saat mereka mencalonkan diri untuk posisi-posisi yang berkuasa di dunia politik. Hal ini berpengaruh di bilik suara, orang cenderung tidak akan memilih perempuan yang mereka anggap “haus kekuasaan”. Padahal bukankah kita menginginkan pemimpin yang ambisius?” Ambisi adalah sifat penting bagi siapa pun yang mencalonkan diri untuk jabatan publik.
- Subjektifitas
“Hukuman kesukaan” ini penting bagi perempuan dalam politik karena ketika para pemilih melihat para kandidat sebagai orang yang kurang disukai, mereka berpikir bahwa mereka akan kurang dapat dipilih.
- “Promosi berlebihan”
Perempuan harus bekerja lebih keras daripada laki-laki untuk membuktikan bahwa mereka layak dan memenuhi kapasitas menjadi pemimpin atau tokoh politik. Namun, jika perempuan dianggap terlalu mempromosikan diri sendiri, mereka akan menghadapi penolakan yang tidak dialami oleh laki-laki. Hal ini menciptakan situasi yang sulit bagi perempuan yang mencalonkan diri untuk menduduki jabatan. Sebaliknya jika perempuan tidak membicarakan latar belakang mereka, prestasi mereka mungkin akan diabaikan. Jika mereka melakukannya, para pemilih bisa kurang menyukai mereka. Padahal mempromosikan diri sendiri merupakan bagian dari proses mencalonkan diri, untuk memberi tahu publik bahwa kita (perempuan,red) memenuhi syarat.
- Perempuan dianggap lemah
“Apakah lelaki selalu lebih tangguh? Bagaimana bisa?” Membandingkan langsung antara kandidat perempuan dan laki-laki dapat membantu menyoroti bias yang tidak disadari. Kualitas seperti ketangguhan, keberanian, dan ketegasan biasanya dipandang sebagai sesuatu yang maskulin. Sebaliknya, publik sering melihat perempuan sebagai sosok yang peduli dan kolaboratif-sifat-sifat yang tidak terlalu diasosiasikan dengan kepemimpinan. Stereotip-stereotip tersebut mempersulit kandidat perempuan untuk membuktikan bahwa mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk mengatasi tekanan dalam jabatan publik.
- Tidak cukup berpengalaman
Orang-orang sering kali mempertanyakan pengalaman kandidat. Hal ini menciptakan bias standar berbeda yang dimiliki atas perempuan dan laki-laki. Perempuan sering kali dipekerjakan berdasarkan apa yang telah mereka capai, sementara laki-laki sering kali dipekerjakan berdasarkan potensi. Dinamika ini juga terjadi di dunia politik, sehingga sering muncul pertanyaan apakah kandidat perempuan cukup berpengalaman untuk mencalonkan diri? Sebaliknya publik memberi kesempatan kepada laki-laki tanpa syarat.
- Anggapan tidak mungkin menang
“Mengapa tidak? Padahal seorang perempuan juga punya peluang yang sama, bisa menang jika cukup banyak orang yang memilihnya. Selalu penting untuk menunjukkan bahwa seorang perempuan bisa menang jika cukup banyak orang yang memilihnya.
Beragam bias yang dihadapi perempuan dalam dunia politik adalah tantangan yang harus diatasi demi menciptakan lingkungan politik yang setara. Penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk bekerja sama menghapuskan bias ini sehingga perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dan tanpa rasa takut. Sehingga negara kita akan menuju sistem politik yang lebih inklusif dan representatif bagi semua golongan.