PEREMPUAN desa yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, harus menjadi peran utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Inisiatif tersebut dibutuhkan untuk mengatasi beragam ketimpangan. Seperti masalah perubahan iklim, penyusutan keanekaragaman hayati dan kemiskinan, akibat pengelolaan hutan yang tidak berkeadilan dan berkelanjutan. Sehingga berdampak pada kehidupan perempuan.
Ini menjadi poin utama yang disampaikan para pihak dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada Temu Nasional Perempuan Pemimpin: Memperkuat Gerakan Perempuan Pemimpin dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan yang Adil, Setara dan Berkelanjutan di Indonesia pada Kamis (07/12) di Jakarta.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Gender Focal Point bersama The Asia Foundation Indonesia yang berkolaborasi dengan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender KHLK itu menghadirkan lima orang perempuan pemimpin dari Provinsi Aceh, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan untuk berbagi pengalaman yang dimoderatori oleh Sekretaris Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender KHLK, Ernawati Eko Hartono.
“Walau kerja-kerja mereka di tingkat lokal, namun hasil-hasil yang mereka capai menjadi pembelajaran secara nasional dan internasional. Mereka adalah perempuan-perempuan yang merebut kesempatan, bukan perempuan yang menunggu kesempatan diberikan,” kata Country Representative The Asia Foundation Indonesia, Sandra Hamid yang memberikan catatan pembukaan.
Lima perempuan pemimpin tersebut adalah Sumini (Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung Damaran Baru di Kabupaten Bener Meriah), Velin (Penggerak Muda Perhutanan Sosial di Kabupaten Donggala), Eva Susanti (Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Karya Mandiri di Kabupaten Rejang Lebong), Rita Warti (Paralegal di Kabupaten Kepulauan Mentawai) dan Nur Aena (Ketua Koordinasi Forum Perempuan Keadilan Anggaran Kabupaten Maros).
“Dari sisi regulasi dan kebijakan sudah tidak ada masalah. Tinggal bagaimana perempuan merebut kesempatan, bahkan menciptakan kesempatan,” kata Staf Ahli Menteri Bidang Industri dan Perdagangan Internasional KLHK, Novia Widyaningtyas selaku pembicara utama. “Sudah banyak kerja-kerja yang dilakukan dan didorong oleh perempuan. Perempuan sudah tidak lagi sebagai objek, bahkan banyak yang menjadi inisiator,” tambah Novia.
Menyadari Ketidakadilan
Sumini berinisiatif membentuk Lembaga Pengelola Hutan Kampung Damaran Baru dipicu oleh kegelisahan terhadap potensi bencana banjir dan kekeringan akibat pembalakan liar dan perubahan hutan menjadi kebun di kawasan hutan lindung. Setelah berproses, akhirnya Lembaga Pengelola Hutan Kampung Damaran Baru berhasil mendapatkan Surat Keputusan Pengelolaan Hutan Kampung Damaran Baru seluas 251 hektar.
“Kalau terjadi bencana, perempuan yang paling repot. Mari dukung perempuan yang mau melestarikan hutan,”
Sumini, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung Damaran Baru di Kabupaten Bener Meriah
Sedangkan Eva berinisiatif membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Karya Mandiri untuk memanfaatkan potensi hasil hutan bukan kayu di hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang diolah menjadi pangan untuk membangun usaha ekonomi produktif, dan terlibat dalam upaya melestarikan hutan TNKS. Setelah berproses, akhirnya KPPL Karya Mandiri menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dengan Balai Besar TNKS.
“Relasi perempuan dan hutan sangat dekat dan erat. Pemerintah harus memprioritas perempuan untuk mengelola dan memanfaatkan hasil hutan,”
Eva Susanti, Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Karya Mandiri di Rejang Lebong
Velin berinisiatif menggerakan generasi muda dan perempuan dewasa untuk membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) Masanang Hembiti. Selain merintis usaha yang memproduksi minyak kelapa, KUPS Masang Hembiti juga sedang merintis usaha pengembangan potensi danau untuk tujuan wisata.
“Pemerintah perlu memperhatikan perempuan rentan, termasuk perempuan disabilitas yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan,” kata Velin terkategori sebagai kaum disabilitas.
Sedangkan Rita berinisiatif menjadi paralegal karena dipicu oleh keresahannya terhadap berkurangnya luasan hutan akibat ulah perusahaan yang mengantongi ijin telah berlangsung sejak lama hingga sekarang. Berkurangnya luasan hutan tersebut telah dan akan berdampak sangat buruk bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat, terutama perempuan di Kepulauan Mentawai.
“Mohon agar pemerintah tidak terlalu mudah untuk memberikan ijin kepada perusahaan,” kata Rita.
Sementara itu, Nur berinisiatif mengajak kaum perempuan untuk belajar membaca anggaran karena menyadari bahwa porsi dana yang dianggarkan oleh pemerintah desa untuk kepentingan perempuan dan pelestarian lingkungan hidup masih sangat minim, bahkan sering tidak dialokasikan.
“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Desa PDTT, perlu membuat kebijakan untuk memperbesar alokasi dana untuk program dan kegiatan terkait lingkungan hidup pada anggaran desa. Paling tidak, bisa dialokasikan sebesar 15 persen dari anggaran desa,” kata Nur.
Penyuluh Kehutanan Ahli Utama Pusat Penyuluhan KLHK Mariana Lubis menilai, inisiatif para perempuan pemimpin tersebut membuktikan bahwa perempuan menyadari pengelolaan hutan yang tidak adil dan tidak berkelanjutan telah menjadikan perempuan sebagai korban pertama dan terburuk dari dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu, unit pengelola kawasan hutan dan pemerintah desa perlu mendorong dan memperkuat keterlibatan perempuan dalam upaya pengelolaan hutan, terutama perhutanan sosial.
“Regulasi dan kebijakan perhutanan sosial sudah berpihak kepada perempuan,” kata Mariana.
Kepala Biro Perencanaan KLHK yang juga Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender KLHK, Apik Karyana mengatakan, perhutanan sosial merupakan program yang memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi pelaku utama pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Tujuan perhutanan sosial diprogramkan antara lain untuk mengatasi tiga masalah krusial yang terjadi di tingkat lokal, nasional dan global, yaitu perubahan iklim, penyusutan keanekaragaman hayati dan kemiskinanl.
“Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan sangat dibutuhkan. Bahkan, keberhasilan pengelolaan hutan secara berkelanjutan ditentukan oleh perempuan,” kata Apik.
Anggaran Desa
Analis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat, Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) LHK, Yussi Nadia mengungkapkan, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) yang merupakan unit di bawah Direktorat Jenderal PSKL KLHK memiliki program penguatan kapasitas dan pemberian bantuan alat ekonomi produktif untuk memperkuat KUPS yang juga ditujukan untuk membangun ketangguhan iklim dan ketahanan pangan. Program tersebut dapat diakses oleh KUPS.
“Kendati demikian, dukungan pemerintah desa untuk pengembangan usaha perhutanan sosial juga sangat diperlukan,” kata Yussi.
Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kemendes PDTT Sugito mengungkapkan, salah satu kebijakan Kemendes PDTT yang selaras dengan upaya memperkuat pengelolaan hutan dan lahan yang adil, setara dan berkelanjutan adalah Desa SDGs.
“Ruang ini harus dimanfaatkan oleh perempuan. Perempuan harus masuk ke ruang kebijakan di desa,” kata Sugito. “Perempuan kuat adalah perempuan yang membela dirinya sendiri, perempuan hebat adalah perempuan yang membela orang lain,” tambahnya.
Baca juga : Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan
Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian PPPA, Ratih Rachmawati mengatakan, perlu upaya pengintegrasian penganggaran pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan penganggran responsif gender agar program atau kegiatan yang diusulkan perempuan untuk memperkuat pengelolaan hutan dan lahan yang adil, setara dan berkelanjutan dapat dianggarkan.
“Kami bersedia untuk memfasilitasi penguatan kapasitas terkait dengan penyusunan dan penganggaran responsif gender di tingkat desa,” kata Ratih. (**)