Bincangperempuan.com– Aswa dan Rodia, perempuan-perempuan yang masih merawat tradisi Suku Rejang mengumpulkan kayu bakar untuk memenuhi sengklang putung (persedian kayu bakarI di Desa Sentral Baru, Bermani Ulu, Rejang Lebong. Sebuah desa yang berjarak lebih kurang 15 kilo meter dengan jarak tempuh perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota Curup.
“Lak si ade gas, lak deu caci misei gas, tep bae putung coa nam tinga untuk tep jemago tradisi te Jang jaman meno’o,” ujar Aswa saat diwawancarai Bincang Perempuan. Artinya, meskipun ada kompor gas dan memiliki banyak uang untuk mengisi tabung gas, kewajiban menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak tidak bisa ditinggalkan. Wujud merawat entitas tradisi Rejang zaman dahulu.
Diceritakan Aswa bahwa tradisi mengumpulkan kayu bakar telah dikenalkan oleh orang tuanya sejak Aswa masih remaja. Khususnya Suku Rejang zaman dahulu sangat jarang dijumpai orang yang tidak menyimpan kayu bakar di rumahnya, sekurang-kurangnya 1 seklang (meter kubik).
Kayu bakar adalah kebutuhan pokok yang wajib tersedia di rumah. Aswa mengatakan memiliki kayu bakar sama pentingnya dengan beras sebagai makanan pokok. Tentu karena kayu bakar adalah kebutuhan pokok, digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Senada dengan ungkapan Rodia, sangat penting untuk menyimpan kayu bakar. Semakin banyak menyimpan kayu bakar maka orang itu dianggap elite (terpandang) karena telah tercukupi, khususnya kebutuhan pokok sehari-hari.
Rodia mengatakan semulen Jang (gadis Rejang) zaman dahulu memiliki kewajiban mengumpulkan kayu bakar. Tradisi mengumpulkan banyak kayu bakar identik dengan orang yang bersifat rajin. Sebaliknya jika persediaan kayu bakar di rumah cenderung sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali, dianalogikan sebagai seseorang yang coa te klak (malas) bagi masyarakat.
“Lebeak selek minyem putung kuni minyem belas ngen tun leyen. Mako ne penting untuk maik putung,” tegas Rodia. Artinya, lebih malu untuk meminjam kayu bakar dibandingkan meminjam beras kepada orang lain. Karena itu, penting untuk menyimpan kayu bakar.
Baca juga : Pentingnya Mendampingi Ibu Saat Mengalami Sindrom Baby Blues
Sebagai upaya merawat tradisi Suku Rejang, baik Aswa maupun Rodia menyimpan kayu bakar di belakang rumah dan di dapur. Kayu bakar diperoleh dari kebun miliknya sendiri, berupa kayu kopi yang telah mati atau kayu kopi yang kondisinya tidak bagus lagi (dahan-dahan pada kayu kopi yang telah tiada menandakan kayu kopi tidak lagi menghasilkan buah). Selain kayu kopi, bisa juga kayu teh, sengon, ranting kayu ataupun soloak (bambu) dan lain sebagainya.
Namun, penggunaan bahan bakar dengan menggunakan soloak (bambu) kurang diminati dikarenakan apinya kurang panas, ditandai dengan warna api yang cenderung merah dengan suhu di bawah 1000◦C. Api cenderung lebih cepat padam, serta menyisakan abu yang lebih banyak daripada jenis bahan bakar lainnya. Dari banyaknya jenis kayu bakar yang paling diminati sebagai bahan bakar adalah kayu kopi. Alasannya, kayu lebih padat sehingga api yang dihasilkan lebih panas yaitu di atas 1000◦C, ditandai dengan api yang berwarna biru.
Selain itu api cenderung lebih bertahan lama dan menghasilkan bara api yang tidak mudah padam. Dibandingkan dengan soloak (bambu) abu yang dihasilkan lebih halus dan ringan. Sedangkan abu dari kayu kopi lebih padat, tidak mudah berterbangan sehingga dapur tidak mudah kotor.
Kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar adalah kayu yang sudah kering. Setelah ditebang kayu kemudian dipotong-potong menggunakan golok (pisau besar terbuat dari besi atau baja yang digunakan untuk membelah atau memotong) sesuai keinginan.
Dulu transposisi kayu bakar yang telah dikumpulkan dari kebun ke rumah, Aswa dan Rodia menyusun rapi kayu bakar di dalam pane (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu). Pane yang digunakan dengan cara dipanggul adalah berukuran kira-kira 35×30 sentimeter atau lebih tergantung kemampuan dalam mengangkat beban. Jarak tempuh dari kebun ke rumah kira-kira 1 kilo meter atau setara dengan 3.281 kaki.
Sayangnya di usia lanjut ini Aswa dan Rodia mengaku tidak sanggup untuk memanggul kayu bakar. Transposisi kayu bakar yang telah dikumpulkan terpaksa menggunakan motor ataupun mobil jenis pikap (mobil bak terbuka) oleh anggota keluarga lainnya. Beberapa kayu bakar tersebut kemudian dijemur di terik matahari untuk menghilangkan kadar air yang terdapat dalam kayu. Kayu yang telah dikeringkan kira-kira hanya memiliki kadar air 25 %, siap untuk dipakai sebagai bahan bakar.
Kayu bakar yang telah kering disimpan di dapur dengan cara ditumpukkan pada dudukan sederhana, dibuat dengan menggunakan beberapa potong bambu berdiameter kira-kira 5 sentimeter. Sedangkan kayu bakar yang masih basah disimpan di sudut belakang rumah, ditumpuk rapi di atas tanah. Sisi kanan dan kiri serta depan dan belakang tumpukan kayu bakar terdapat beberapa pancang (potongan bambu yang pangkalnya runcing) yang ditancapkan ke tanah. Tinggi pancang mencapai 2 meter atau lebih (menyesuaikan tumpukan kayu bakar), sebagai fondasi untuk menahan tumpukan kayu bakar agar tetap rapi dan tidak berserakan.
Di tengah-tengah tumpukan kayu bakar ditancapkan pancang sama tinggi dengan fondasi, sebagai seklang putung (pemisah tumpukan kayu bakar per meter kubik). Ada juga sepotong kayu yang disilangkan untuk menahan tumpukan kayu bakar agar tetap kukuh (tidak mudah roboh). Di atas tumpukan kayu bakar dibuat kerangka atap dan reng ala kadarnya untuk melindungi kayu bakar dari guyuran hujan, dimaksudkan agar kayu bakar tidak mudah berjamur dan lapuk. Atap yang digunakan adalah seng (atap yang terbuat dari metal atau baja).
Cara menyulut api dengan kayu bakar, pertama siapkan benda yang mudah terbakar, Aswa biasanya menggunakan minyak tanah sedangkan Rodia menggunakan ban bekas atau bekas sandal jepit yang telah dipotong kecil. Susun kayu bakar di atas tungku dengan cara menyilang, antara kayu bakar yang satu dan lainnya dibuat berjarak agar api dapat menyala.
Kayu bakar yang digunakan untuk menyalakan api adalah kayu bakar yang berukuran kecil dan ringan agar memudahkan api untuk menyala. Minyak tanah kemudian diguyur di atasnya kira-kira sebanyak 1 tutup botol berukuran 250 mililiter atau sesuai kebutuhan. Jika menggunakan ban bekas atau bekas sandal jepit, siapkan bambu yang telah dibelah berukuran kira-kira 3×30 sentimeter untuk mengapit ban bekas atau bekas sandal jepit tersebut.
Gunakan pemantik untuk menghasilkan api dari ban bekas atau bekas sandal jepit, kemudian letakkan di antara tumpukan kayu bakar. Pemantik bisa menggunakan res (korek kayu) ataupun korek api. Setelah api menyala barulah kayu bakar berukuran sedang dan besar ditambahkan agar api bisa menyala lebih lama.
Aswa mengaku lebih sering menggunakan kayu bakar saat memasak dibandingkan menggunakan kompor gas. Kompor gas hanya digunakan saat tengah terburu-buru jika hendak berpergian.
“Ngesak ngen putung asei ne lebeak pues, lebek semangat,” terang Aswa. Artinya, lebih merasa puas dan bersemangat ketika memasak dengan kayu bakar.
Memasak menggunakan cara tradisional dengan kayu bakar menghasilkan aroma khas tersendiri pada masakan. Masakan dirasa lebih enak dan nikmat ketika dimakan. Misalkan saja saat memasak lapen saten (gulai/masakan berkuah santan berbahan baku daging, ikan, nangka muda dan lain sebagainya). Selain memasak sayur atau lauk pauk, memasak nasi dengan kayu bakar dirasa lebih pulen (empuk dan enak), dikarenakan nasi yang dimasak lebih padea (matang dengan sempurna). Memasak nasi dengan kayu bakar biasanya menggunakan ko’on (alat memasak nasi, terbuat dari timah atau tembikar, besi, alumunium, ataupun tembaga).
Saat nasi telah mendidih maka tutup ko’on dilepaskan. Nasi kemudian diaduk menggunakan citong kiuo (centong kayu/cedok yang bertangkai terbuat dari kayu mahoni). Jika dirasa air yang digunakan untuk menanak nasi terlalu banyak maka digunakan citong kiuo lainnya yang berbentuk sendok agar bisa menampung gelgak mie (air yang terdapat pada nasi yang tengah mendidih). Gelgak mie biasanya tidak dibuang melainkan disantap, terlebih dahulu dicampur gula merah, gula rafinasi (gula kristal putih) ataupun garam dapur.
Barulah setelah itu tutup ko’on diletakkan lagi. Nyala api dipadamkan, tersisa bara api untuk membuat nasi menjadi matang. Nasi yang telah matang akan menghasilkan keak (kerak nasi/lapisan nasi kering yang hangus terbakar di dasar ko’on). Keak biasanya disantap langsung dengan kuah lauk, atau dijemur terlebih dahulu untuk bisa digoreng.
Baca juga: Perempuan Desa Harus Bisa Inovasi
Setelah bara api padam, beberapa arang menjadi benguo (abu). Benguo tidak dibuang, tetapi disimpan sebagai bahan untuk membersihkan peralatan dapur (periuk, kuali, panci dan lain sebagainya) yang telah menghitam akibat paparan dari asap dan api.
Selain memasak, Aswa menyalakan api di dapur menggunakan kayu bakar dengan alasan lain. Misalnya saat hujan turun, atau di pagi dan malam hari Aswa menyalakan api untuk bediang (berdiang/menghangatkan tubuh di dekat api.
“Midup opoi ba nam mnea ite baik hngasei. Asep ne nam mnea ket umeak awet, coa mudeak usak. Amen kiro ade dung, mako si coa ijei mdasie,” tutup Rodia. Artinya, menyalakan api dengan kayu bakar sehingga menghasilkan asap bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik. Asap bisa membuat dinding rumah menjadi lebih tahan lama, tidak mudah rusak atau lapuk. Selain itu, Rodia percaya bahwa dengan dinyalakannya api di dapur dengan menggunakan kayu bakar dapat mencegah hewan berbahaya (misalnya ular) masuk ke rumah.
Periode tahun ke-3 pada dekade 2020-an ini tradisi mengumpulkan dan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak sehari-hari di Desa Sentral Baru mulai tergerus, tergantikan oleh eksistensi kompor gas ataupun kompor listrik. Namun, apabila dilaksanakannya umbung (acara seperti resepsi pernikahan, akikah, khitanan dan lain sebagainya) tradisi memasak dengan kayu bakar tidak dilupakan. Apabila tuan rumah tidak memiliki persediaan kayu bakar, maka masyarakat akan bergotong royong mencari kayu bakar ke hutan. Beberapa juga memilih meminjam kepada warga yang memiliki persediaan kayu bakar, nantinya akan dikembalikan dengan kayu bakar pula.(**)