Perempuan HAM atau dikenal dengan Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang bekerja untuk layanan perempuan korban kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, menghadapi risiko, ancaman, kekerasan, dan kerentanan khususnya karena jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas gendernya. Mereka sering kali menerima kekerasan atau ancaman berbasis seksual. Serta pembatasan dalam pekerjaan mereka karena jenis kelamin mereka.
Ini berdasarkan temuan IPROTECTNOW (Indonesia Protection for Women Human Rights Defenders/WHRD Network), yang resmi dirilis Jumat (10/12).
Diketahui, perempuan pembela HAM masih minimnya akses terhadap jaminan sosial. Dari 34 orang PPHAM, ada 17 orang atau 50 persen yang menyatakan bahwa mereka mendapatkan jaminan sosial, sedangkan 17 orang PPHAM menyatakan tidak memiliki jaminan sosial.
Perempuan pembela HAM juga mengalami berbagai kerentanan mulai dari keselamatan diri, kesehatan, maupun karena kondisi khusus mereka (disabilitas, ODHA, memiliki identitas minoritas agama/kepercayaan dan seksual, maupun berstatus sebagai penyintas).
Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan khusus terhadap jaminan perlindungan sosial bagi PPHAM, sehingga harus mengupayakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan perlindungan sosial. Lembaga Layanan belum punya mekanisme khusus untuk perlindungan hak-hak PPHAM, khususnya hak atas jaminan sosial, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan perumahan, dan jaminan sosial lainnya.
Kemudian lembaga penyedia layanan dan pemerintah belum memiliki kebijakan, anggaran dan program serta mekanisme khusus untuk perlindungan hak-hak PPHAM baik perlindungan dari ancaman dan kekerasan maupun jaminan perlindungan sosial. Serta lembaga nasional HAM RI sudah memiliki prosedur perlindungan terhadap Pembela HAM tetapi masih menekankan perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa, belum mengatur dan melindungi hak EKOSOB PPHAM.
“Dari berbagai temuan kunci diatas tergambar bahwa perempuan pembela HAM yang bekerja untuk pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi memiliki kerentanan yang sangat beragam. PPHAM dan pihak-pihak lainnya memahami pentingnya hak-hak perlindungan sosial namun masih minim program dan kebijakan yang secara khusus mendukung dan memberikan perlindungan sosial,” terang Narahubung, IPROTECT NOW, Sri Wahyuni.
Selain itu pada tingkat lembaga layanan masyarakat, pemerintah dan lembaga nasional HAM RI masih belum memiliki mekanisme khusus untuk memastikan dukungan dan perlindungan sosial bagi PPHAM.
“Maka dari itu diperlukan berbagai upaya untuk memperkuat dukungan dan perlindungan PPHAM atas hak ekosob dan mendorong pendokumentasian yang lebih luas dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Riset dilakukan di 6 provinsi di Indonesia yakni, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, DKI Jakarta dan dengan melibatkan 34 orang narasumber PPHAM dan pimpinan lembaga yang bekerja sebagai pendamping.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan berperspektif feminis. Dua metode yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat mengungkap pengalaman dan pandangan perempuan pembela HAM atas berbagai persoalan.
Riset yang dilakukan dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence, 16 November – 10 Desember), bertujuan untuk Mendapatkan gambaran situasi kerentanan Perempuan pembela HAM dan keluarganya, khususnya pada perempuan pembela HAM dengan pemegang hak (rights holder) kelompok khusus, hak-hak perempuan pembela HAM serta kapasitas lembaga dalam memberikan perlindungan bagi perempuan pembela HAM. Memberikan rekomendasi dalam penyusunan sistem/protokol perlindungan EKOSOB bagi perempuan pembela HAM.
Serta meningkatkan akses dukungan dan perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM yang bekerja di organisasi pendampingan dan mendorong pemenuhan perlindungan keamanan, perlindungan sosial, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, pensiun, pendidikan, perumahan, dan program jaminan sosial lainnya. (rls)