Home » News » Pergub Poligami ASN Jakarta: Kepastian Hukum atau Peneguhan Patriarki?

Pergub Poligami ASN Jakarta: Kepastian Hukum atau Peneguhan Patriarki?

Ais Fahira

News

Pergub Poligami ASN Jakarta Kepastian Hukum atau Peneguhan Patriarki

Bincangperempuan.com- Baru-baru ini, Penjabat Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi, menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub ini diterbitkan pada 6 Januari 2025 dan mengatur mekanisme izin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ingin memiliki lebih dari satu istri (poligami).

Pergub ini secara spesifik mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh oleh ASN yang ingin berpoligami. Di antaranya, pengajuan izin tertulis kepada pejabat berwenang yang memuat alasan dan bukti bahwa tindakan tersebut dianggap perlu. Kebijakan ini menjadi perdebatan hangat karena menyinggung isu-isu mendasar tentang kesetaraan gender, hak asasi manusia, serta dampak sosial dan budaya yang lebih luas.

Teguh Setyabudi menyatakan bahwa regulasi ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum bagi ASN. Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan ini tinggi urgensinya di tengah permasalahan lain yang lebih mendesak.

Reaksi Kritik dan Penolakan

Pergub ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mengutip dari Kompas.com, Politikus PDI-P dan Pemerhati Perempuan dan Anak, Diah Pitaloka, menilai kebijakan ini bertentangan dengan semangat perjuangan perempuan Indonesia. Dia juga menyoroti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa Indonesia menganut asas perkawinan monogami.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia dalam rilisnya, juga mengkritik kebijakan ini karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender yang dijamin baik secara nasional maupun internasional. Ia menyoroti fakta bahwa perempuan masih sering mengalami hambatan dalam mengakses hak-hak hukum, seperti perceraian dan hak asuh anak. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dan ketidakadilan struktural daripada melegitimasi poligami.

Baca juga: Layanan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan dan Kekerasan Seksual Lainnya

Bertentangan dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Kritik terhadap Pergub ini mengacu pada berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Pasal 3 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang memerintahkan negara untuk memastikan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Poligami dianggap bertentangan dengan prinsip tersebut karena menciptakan ketimpangan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Selain itu, Pasal 5(a) dalam Konvensi CEDAW menegaskan perlunya menghapus praktik yang membuat satu gender terlihat lebih unggul dari yang lain atau yang memperkuat stereotip peran gender. Kebijakan yang mendukung poligami, seperti yang diatur dalam Pergub ini, dapat dianggap melanggar prinsip tersebut.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyoroti bahwa syarat-syarat dalam Pergub ini bersifat subjektif dan patriarkal. Misalnya, ASN pria dapat berpoligami jika istrinya dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya, tidak dapat memberikan keturunan, atau menyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan sering diposisikan secara tidak setara, hanya dinilai dari peran mereka dalam urusan domestik dan reproduksi.

Meningkatkan Akses Perempuan pada Hak Hukum yang Lebih Mendesak

Alih-alih mengatur perizinan poligami yang urgensinya kurang mendesak. Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih pada akses perempuan dalam mengajukan perceraian dan hak asuh anak. Seperti yang disarankan Usman Hamid, langkah ini penting untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga dan ketidakadilan hukum. Di sisi lain, ibu tunggal masih sering menghadapi stigma sosial dan diskriminasi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam proses administrasi hukum.

Walau pemerintah telah menunjukkan kemajuan, seperti penerbitan Surat Edaran Sekjen Kemendikbudristek No. 28 Tahun 2021, tantangan tetap ada. Surat edaran ini memungkinkan penulisan nama ayah, ibu, atau wali dalam ijazah sebagai respons atas petisi yang diajukan oleh seorang ibu tunggal, Poppy R. Diharjo, melalui platform Change.org. Namun, surat edaran tersebut hanya memungkinkan penulisan satu nama, bukan kedua orang tua. Hal ini menimbulkan pertanyaan lanjutan, mengapa nama kedua orang tua tidak bisa dicantumkan dalam dokumen resmi seperti ijazah? Apakah keterbatasan ini disebabkan oleh masalah teknis, seperti format dokumen, atau mental model yang masih memprioritaskan peran ayah?

Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, perbedaan perlakuan ini terasa jelas pada momen perayaan kelulusan anak. Ia mencontohkan kasus di mana nama ibu sering kali diabaikan dalam acara penyerahan ijazah, meskipun pengasuhan dan pendidikan anak selama ini sering menjadi tanggung jawab utama ibu. “Kenapa saat perayaan, nama ibu tidak disebut atau dituliskan? Apakah negara ini masih memandang nama ibu kurang penting dalam dokumen resmi seperti ijazah?” tanyanya. Kondisi ini mencerminkan perlunya perubahan mendasar dalam kebijakan dan budaya administratif.

Baca juga: Perjuangan Menuju Kesetaraan di Bengkulu

Edukasi dan Evaluasi Kebijakan

Oleh karena itu untuk menciptakan kesetaraan yang lebih nyata, edukasi tentang kesetaraan gender harus diterapkan secara luas, khususnya di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pelatihan ini bertujuan untuk membangun lingkungan kerja yang inklusif dan sensitif terhadap isu gender. Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi dampak sosial dari setiap kebijakan yang diterapkan, terutama yang menyangkut perempuan dan anak. Dengan langkah ini, diharapkan akses perempuan terhadap hak-haknya tidak lagi terhambat oleh bias budaya maupun kebijakan.

Pergub Ini, Refleksi atau Kemunduran?

Kontroversi yang timbul dari Pergub ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara kebijakan publik, nilai-nilai budaya, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Di satu sisi, pemerintah mengklaim ini sebagai upaya memberikan kepastian hukum bagi ASN yang ingin berpoligami. Tapi di sisi lain, banyak yang melihatnya sebagai penguatan norma patriarki yang membuat perempuan semakin termarjinalkan.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk terus mengawal kebijakan yang adil dan inklusif. Pergub ini membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut tentang bagaimana pemerintah dapat menciptakan aturan yang tidak hanya melindungi hak asasi manusia tetapi juga mendorong kesetaraan gender secara nyata di Indonesia.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Rasminah dan Usia Perkawinan Anak

Jasa Rasminah Abadi Melampaui Zaman

Mengenalkan Emosi Kepada Anak Lewat “Inside Out 2”

Kenali Emosi Anak Lewat “Inside Out 2”

Srikandi Lestari Mandiri, Perempuan Pelestari Hutan

Srikandi Lestari Mandiri, Perempuan Pelestari Hutan

Leave a Comment