Home » News » Pernyataan Sikap : Menteri Sosial Tri Rismaharini Telah Lakukan Audisme dan Harus Minta Maaf Pada Masyarakat Tuli di Indonesia

Pernyataan Sikap : Menteri Sosial Tri Rismaharini Telah Lakukan Audisme dan Harus Minta Maaf Pada Masyarakat Tuli di Indonesia

Bincang Perempuan

News

KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) bersama Feminis Themis mengecam sejumlah tindakan audisme yang dilakukan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini. Audisme adalah sikap yang didasarkan dari pemikiran patologis yang menimbulkan stigma negatif terhadap Tuli, misalnya seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar dan berbicara lebih superior dibanding orang Tuli (Tom Humphries, 1975).

Salah satu contoh tindakan audisme adalah pemaksaan terhadap Tuli untuk latihan berbicara supaya “pintar dan dipercaya akan memiliki masa depan yang sukses. Orang yang menunjukkan perilaku audisme disebut audist. Dalam hal ini, Risma menunjukkan bahwa ia adalah audist dengan memaksakan Tuli untuk berbicara (audisme).

Beberapa tindakan audisme yang dilakukan oleh Risma yang harus kita perhatikan bersama dan menimbulkan keresahan bagi teman- teman Tuli adalah sebagai berikut:

  1. Pernyataan Risma yang menyebutkan, “Kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Tapi saya berharap kita semua bisa mencoba”, yang diucapkan kepada Stefan (Tuli dari Gerkatin) dalam acara Hari Disabilitas Internasional 2021. Pernyataan tersebut problematik karena tidak menghargai ragam identitas dan ragam komunikasi Tuli. Ada Tuli yang memang menggunakan bahasa isyarat secara penuh, ada Tuli yang menggunakan verbal dan bahasa isyarat, ada Tuli yang hanya menggunakan verbal, serta ada Tuli yang tidak memiliki bahasa (disebabkan karena mengalami deprivasi bahasa) dan menggunakan gestur untuk berkomunikasi. Setiap manusia memiliki hak yang setara dalam menyampaikan pendapat, termasuk dengan bahasa isyarat. Hal ini juga tercantum dalam UU nomor 8 tahun 2016, Pasal 5 huruf ayat 1 huruf J tentang Hak Penyandang Disabilitas Dalam Berekspresi, Berkomunikasi, dan Memperoleh Informasi; dan juga pasal 24, yang juga menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki kebebasan berekspresi dengan bahasa isyarat.
  2. Pernyataan dan tindakan Risma yang bermuatan tindakan kekerasan terhadap seorang individu, saat pemberian Alat Bantu Dengar. Di dalam video siaran di Youtube Kementerian Sosial, Risma mengatakan kepada individu tersebut: “Sekarang sudah dengar. Sekarang harus belajar untuk bicara, ya? Mulai sekarang harus belajar untuk bicara. Mulai sekarang harus dikurangi untuk apa namanya? Begini? Bahasa Isyarat. Ya? Mulai sekarang kamu harus kurangi dengan bahasa isyarat karena kamu bisa bicara, dan kamu bisa dengar. Ya? Ya? OK?! Gimana coba bilang OKE! Buka! Oke?!”, yang kemudian diikuti dengan tepuk tangan dan gelak tawa dari orang-orang sekitar. Pemaksaan verbal yang dilakukan Risma merupakan tindakan yang menimbulkan trauma dan mempermalukan individu tersebut di depan publik. Terlebih lagi, tindakan tersebut tidak menghormati individu tersebut sebagai selayaknya seorang individu yang pantas dihormati haknya.
  3. Pernyataan Risma yang disampaikan di Gedung Kementerian Sosial pada tanggal 2 Desember 2021 dapat memicu trauma mengenai kekerasan berbasus gender. Risma menyebutkan bahwa ia pernah mendapat cerita mengenai seorang tunarungu yang diperkosa dan tidak bisa berteriak minta tolong. Risma menyebutkan bahwa pemerkosanya justru dibebaskan dari penjara karena penyandang disabilitas (Tuli) tersebut tidak bisa menjelaskan tragedi yang dialaminya. Pertama, kami menekankan bahwa seseorang yang mengalami kekerasan seksual, dapat mengalami suatu kondisi yang dinamakan tonic immobility atau imobilitas tonik (kondisi terguncang yang mengakibatkan tubuh lumpuh sementara sehingga tidak dapat memberikan respon tubuh atau melawan). Hal tersebut bukan hanya terjadi pada Tuli dan merupakan reaksi natural tubuh ketika mengalami kejadian yang traumatis. Semua orang bisa mengalaminya. Kedua, pernyataan Risma justru semakin menegaskan buruknya infrastruktur perlindungan dan bantuan hukum yang belum dapat memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan bagi korban kekerasan yang memiliki disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa masih lemahnya perlindungan Negara bagi seluruh gender dan sistem hukum Indonesia yang memang belum mampu memberikan keamanan bagi seluruh warga negaranya dari tindak Kekerasan Seksual serta tidak ramah terhadap penyandang disabilitas, termasuk Tuli. Apalagi, belum ada payung hukum yang benar-benar melindungi seluruh lapisan disabilitas dari kekerasan seksual.


Sebagai penjelasan tambahan, Audisme adalah sikap yang didasarkan dari pemikiran patologis yang menimbulkan stigma negatif terhadap Tuli, misalnya seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar dan berbicara lebih superior dibanding orang Tuli (Tom Humphries, 1975). Salah satu contoh tindakan audisme adalah Tuli dipaksa untuk latihan berbicara supaya “pintar” dan dipercaya akan memiliki masa depan yang sukses. Tipe orang menunjukkan perilaku audisme disebut audist. Dalam hal ini, Risma menunjukkan bahwa ia adalah audist dengan memaksakan Tuli untuk berbicara (audisme).

Nissi Taruli Felicia, salah seorang Tuli dan perwakilan Feminis Themis menyatakan kekecewaannya, “Sangat disayangkan, seorang Menteri Sosial tidak cukup sensitif dan peka terhadap isu-isu sosial. Padahal disabilitas juga merupakan salah satu isu yang berada di bawah kementerian sosial. Seorang menteri sosial yang seharusnya menjadi panutan, justru melanggengkan stigma yang semakin mengakar di masyarakat”. Atas tindakan-tindakan tersebut, kami mendesak Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk:

  1. Menyatakan permohonan maaf atas tindakan audisme yang telah dilakukan, khususnya kepada masyarakat Tuli terkait pernyataan-pernyataan dan tindakan yang telah dilakukan pada Hari Disabilitas Internasional 2021.
  2. Melakukan edukasi dan sosialisasi terkait bahasa isyarat sebagai salah satu cara Tuli berekspresi
  3. Memastikan bahwa bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) menjadi hak asasi manusia, terutama masyarakat Tuli dalam berekspresi sebagai Warga Negara Indonesia.
  4. Menjamin dan memastikan bahwa Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) adalah bahasa yang bisa digunakan oleh komunitas Tuli Indonesia untuk segala aspek termasuk pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, politik, dan lain-lain untuk Tuli.

Risma sebagai Menteri Sosial memiliki kekuatan dan pengaruh besar untuk mengedukasi masyarakat audist serta bertanggung jawab untuk menjamin bahwa bahasa Isyarat menjadi bagian dari pendidikan, informasi, dan komunikasi untuk Tuli dan kemampuan berbicara dan mendengar bukan menjadi patokan dan pemaksaan standar pendengaran untuk Tuli. Hal ini sejalan dengan UNCRPD (United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang secara spesifik menyatakan bahwa “Pemerintah harus mengakui bahasa isyarat sebagai salah satu bahasa resmi di dalam konstitusi dan/atau legislasi khusus, memastikan layanan interpreter yang profesional, dan menjamin pendidikan bagi Tuli dengan bahasa isyaratnya.”

Akhir kata, ada satu kutipan dari kami untuk Risma sebagai pengingat. “Selama kita masih memiliki Tuli di dunia, kita masih memiliki bahasa isyarat. Dan selama kita masih memiliki penglihatan kita, kita bisa melestarikan bahasa isyarat dalam kemurnian lama mereka. Itu harapan saya untuk kita semua akan mencintai dan melindungi bahasa isyarat kita sebagai hadiah yang paling mulia yang Tuhan berikan kepada orang Tuli” – George Veditz, 1913. (**)

Narahubung : +6281212441665

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Invisible Hopes, Anak-anak yang Lahir, Hidup dan Menjadi Korban Terselubung Dibalik Jeruji

AMSI Latih Perusahaan Media Jelang Berlakunya UU PDP

Care Worker

Komnas Perempuan: Bahas dan Sahkan RUU PPRT

Leave a Comment