Bincangperempuan.com- Jagat media sosial mulai dari TikTok, instagram, dan twitter diramaikan dengan tren “pick me girl”. Tren ini melibatkan perempuan dengan bentuk persaingan tidak sehat alias merendahkan perempuan lainnya. Ini secara tidak langsung meningkatkan gagasan seksis pada sesama perempuan. Meskipun populer, tren ini juga mulai menuai kritikan, karena dinilai mem-bully, melecehkan perempuan, dan mendorong misogini yang terinternalisasi.
Dilansir dari Urban Dictionary, pick me girl adalah tindakan seorang perempuan yang berusaha keras untuk membuat pria terkesan karena dia berbeda dengan perempuan lainnya. Sehingga dengan mudah merendahkan perempuan lain untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki. Ada juga klaim jika bergaul dengan laki-laki akan jauh lebih baik daripada perempuan.
Label ‘pick me girl’ biasanya diberikan pada perempuan yang dianggap keren karena berbeda dengan perempuan lainnya. Kadang dikaitkan dengan perempuan yang lebih santai, mudah di dekati, bebas dari drama. Ada juga yang menyematkan label tersebut pada perempuan-perempuan berpenampilan tomboy, memakai sneakers, membenci make up, dan tidak akan menggunakan rok. Padahal, konsep ini tidak sepenuhnya benar, karena tidak semua perempuan tomboy dapat dikategorikan sebagai pick me girl.
Baca juga: Perempuan, Perdamaian dan Keamanan
Risiko terbesar dari tren ini adalah sikap antara perempuan yang pada akhirnya turut merendahkan feminitas dan memperkuat seksisme yang toxic di masyarakat. Ironinya, hal ini masih dianggap normal oleh masyarakat Indonesia karena nilai-nilai patriarki yang tertanam telah menormalisasi pemikiran tersebut.
Internalized misogyny dan cyberbullying
Misogini mungkin masih terdengar asing dibeberapa telinga masyarakat. Istilah ini merujuk pada sindrom dimana seseorang memiliki kebencian ekstrem terhadap perempuan, baik dari laki-laki maupun sesama perempuan.
Sementara internalized misogyny adalah kecenderungan perempuan membenci perempuan lainnya karena rivalitas yang mengasumsikan pemikiran seksis terhadap sesama perempuan. Tren “pick me girl” menjadi salah satu produk dari internalized misogyny.
Menurut Arsawati dan Bunga (2022), perempuan yang mengalami internalized misogyny biasanya merasa rendah diri, dan tidak jarang cenderung merendahkan perempuan lain karena meragukan nilai-nilai feminin. Hal ini turut dipengaruhi nilai patriarki yang kuat dan berkembang di masyarakat.
Banyaknya standar baru terhadap femininitas di media sosial menjadi akar dari perkembangan misogyny membatasi kehidupan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi karena dinilai tidak sesuai dengan standar yang ada. Kini, hampir semua perilaku, penampilan atau hobi yang disukai perempuan dipandang buruk oleh perempuan lainnya. Hal inilah yang menimbulkan kesulitan untuk menemukan batas antara penuduh dan tertuduh sehingga sulit untuk menemukan siapa yang harus disalahkan atas misogini yang terinternalisasi saat ini.
Tren ini sering kali menimbulkan salah paham yang berujung pada merendahkan perempuan lain karena validasi yang mereka dapatkan. Hal yang perlu diingat bahwa tidak semua perempuan melakukan hal yang dilabeli ‘pick me girl’ benar-benar ingin mendapatkan validasi, sebagian dari mereka melakukannya karena tidak sengaja.
Secara tidak langsung, tren ‘pick me girl’ telah mendukung cyberbullying yang dilakukan oleh sesama perempuan. Hal ini terjadi karena pelaku dapat menggerakkan hingga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang sama melalui komentar yang tidak layak, menyebar luaskan video, dan lainnya. Tindakan ini semakin meningkatkan potensi perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender online.
Persaingan tidak sehat yang ditujukkan melalui tren ini telah menindas dan melecehkan perempuan secara online karena persaingan yang tidak sehat. Tak jarang, masyarakat mendukung tindakan ini karena budaya patriarki yang masih melekat. Kondisi ini memberikan dampak psikologis serius pada perempuan yang dapat berujung pada depresi dan kematian.
Bagaimana mengakhiri tren ‘pick me girl’ yang merugikan perempuan?
Kebanyakan perempuan akan mencari tahu tentang cara yang tepat untuk mengakhiri internalized misogyny dan cyberbullying yang berkembang melalui tren ‘pick me girl’ di media sosial. Untuk mengatasi ini, perempuan perlu untuk memandang segala hal dari sudut pandang positif dan turut serta memberdayakan perempuan lainnya. Hal ini dapat dijadikan dasar utama untuk menyadarkan perempuan untuk mendukung sesama perempuan.
Baca juga: Obsesi Sensual pada Bra dan Payudara
Tentu saja ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi budaya ini. Pertama, perempuan perlu untuk membuka diri melalui berbagi perasaan dengan perempuan lainnya dan menjaga hubungan dengan perempuan lainnya. Kedua, fokus untuk membahagiakan diri sendiri tanpa menjatuhkan perempuan lain. Ketiga, berhentilah untuk meremehkan perempuan lain karena tindakan ini tidak akan membuat diri sendiri menjadi lebih kuat.
Pada akhirnya, dibutuhkan banyak waktu dan latihan untuk mengatasi isu misogini yang berkembang di media sosial. Akan tetapi, perempuan harus menyadari bahwa setiap perempuan memiliki keunikan masing-masing yang harus didukung. (**)
Sumber:
- Azizah, M., Fitri, N. K., Maura, N., & Salsabila, J. (2023). Internalized Misogyny, Psychological Distress, Cyber Bullying pada Trend Pick Me Girl/Boy di TikTok. Parade Riset Mahasiswa, 1(1).
- Ella Dameron, 2021. “Internalized Misogyny: ‘Pick-Me Girls’ and Introspection”, dalam VOXATL
- Rosida, I., Ghazali, M. M., Dedi, D., & Salsabila, F. S. (2022). The manifestation of internalized sexism in the pick me girl trend on TikTok. Alphabet: A Biannual Academic Journal on Language, Literary, and Cultural Studies, 5(1), 8-19.