Home » News » Rekonstruksi Perempuan dalam Kontes Kecantikan

Rekonstruksi Perempuan dalam Kontes Kecantikan

Delima Purnamasari

News

Standar Kecantikan

Bincangperempuan.com- Kecantikan tidak bisa dilepaskan dari keindahan fisik. Namun, standar kecantikan di dunia modern cenderung mengarah pada keseragaman. Kulit putih, badan langsing, postur tinggi, rambut lurus, hingga hidung mancung. Prinsip semacam ini diperlihatkan pada kontes kecantikan. Hingga akhirnya, mengantarkan penontonnya menjadi konsumen produk dan pelanggan dari klinik kecantikan.

Pada awalnya, masyarakat Indonesia tidak melekatkan makna cantik pada kulit putih. Perempuan cantik justru tertuju pada mereka yang berkulit kuning langsat. Hal ini mengingat karakter kulit Indonesia yang memang agak gelap. Di sinilah industri kapitalis merekonstruksi makna demi kepentingan ekonomi. Mereka membawa ide soal salon, klinik kecantikan, teknologi, berserta dokter-dokternya. 

Perempuan didorong untuk memiliki obsesi yang besar soal kecantikan. Paras tubuh turut dijadikan simbol atas kelas sosial. Perempuan dibutakan. Mereka rela antre panjang untuk masuk sebuah klinik sekaligus menahan sakit karena tidak segan melakukan tindak kekerasan terhadap tubuhnya. Contohnya, operasi dan suntik botok. Kulit yang menghitam dan tubuh yang menggemuk jadi begitu ditakuti. Semakin kuat posisi ideal perempuan sesungguhnya semakin berat pula upaya yang dilakukan untuk membangun kecantikan.

Awal mula kontes kecantikan

Kontes kecantikan sesungguhnya muncul sebagai tanda akan hadirnya perempuan di ruang-ruang publik. Proses ini adalah cara untuk menentukan sosok figur sehingga kerap dikaitkan dengan berbagai isu yang melingkupi. Pemilihannya mengacu pada prinsip beauty, brilliant, dan background sehingga tidak menyasar soal bentuk badan. Walaupun demikian, peserta kerap memakai bikini ataupun pakaian seksi lain saat pemotretan dan berjalan di panggung. Proses yang mempertontonkan tubuh di muka umum itu membuat mereka kembali jadi objek bagi penonton. 

Baca juga : Emotional Abuse, Kenali Ciri dan Cara Menghindarinya

Kontes kecantikan sendiri memiliki sejarah panjang. Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanja, perempuan pribumi pada tahun 1935 bersaing dalam ajang Ibu Sedjati dengan mengenakan pakaian lurik. Penyelenggaranya berasal dari perempuan terpelajar sehingga dianggap memiliki standar yang tinggi. Meski demikian, kontes ini juga mengundang banyak kritik karena dianggap tidak memperhatikan moralitas masyarakat. 

Saat ini, kontes ratu-ratuan begitu masif diselenggarakan. Ada nama dan tema yang beragam. Misalnya saja Hijab Hunt. Meski mengusung kaidah-kaidah agama, tetapi kecantikan tetap menjadi kriteria utama. Acara yang menggabungkan nilai-nilai agama sekaligus kecantikan yang pada masa sebelumnya tak pernah terbayangkan, saat ini justru menjadi nilai jual. Tubuh yang dipertontonkan dan dikompetisikan perlahan bergeser menjadi hal biasa dan wajar-wajar saja. 

Kuatnya pengaruh media

Televisi dan media sosial turut meningkatkan popularitas kontes kecantikan. Publik bisa melihat tayangan kontes di Jakarta ataupun luar negeri meski mereka tetap berada di rumah. Kontes yang sebelumnya terbatas jadi muncul ke ruang publik secara terbuka. Ajang ini tidak hanya menyasar peserta, tetapi menjadi komoditas hiburan bagi penontonnya. Tren inilah yang diharapkan bisa menghasilkan keuntungan. 

Peran media membantu promosi kontes ini demi kepentingan ekonomi industri. Produk yang digunakan oleh para peserta diangagap lebih glamor dan menjadi sebuah tren. Termasuk baju yang mereka kenakan sehingga menjadi ajang mengenalkan perkembangan model pakaian. Selain itu, turut jadi ajang propaganda bagi produk kecantikan yang memasukan unsur whitening dalam bahan bakunya. 

Media juga memproduksi wacana keseragaman kecantikan melalui film, iklan, pembicaraan publik, dan lain sebagainya. Misalnya, pemilihan selebriti yang tetap mempertahankan kecantikannya meski bermain peran sebagai wanita miskin. Media mengkomodifikasikan tubuh dari ranah privat ke ranah publik sehingga keberadaan tubuh perempuan menjadi amat penting. Hal ini didukung pula dengan adanya modal super besar sehingga memungkinkan produsen mensuplai produk-produknya di mal, apotek, bahkan warung-warung kelontong. Produk yang diiklankan menjadi begitu dekat dengan masyarakat umum.

Ada relasi kuasa yang berjalan secara otomatis. Dalam hal ini, media sendiri berubah menjadi mesin penggandaan modal. Orang-orang media bekerja dengan melayani pemilik kapital. Keberpihakan pada masyarakat juga cenderung semu karena hanya berujung pada menjual berita demi menaikan rating. 

Pentingnya pengetahuan tentang kecantikan

Pada akhirnya, tampil cantik hanya sebatas keinginan dan kesadaran untuk mendapatkannnya. Hal ini tidak diikuti dengan pengetahuan yang semestinya dimiliki. Apabila seseorang pergi ke salon ataupun klinik kecantikan, mereka hanya memberikan keluhan dan bertanya solusi yang mesti diambil. Mereka jadi konsumen pasif karena memiliki rasa percaya yang begitu besar pada para dokternya. Mereka menggunakan produk yang dijual meski seringkali tidak tahu pasti soal kandungan di dalamnya. Dengan kata lain, ruang yang diberikan pada konsumen untuk berpikir amatlah sempit. 

Perempuan-perempuan ini menjadi ketergantungan sekaligus jadi pihak yang mesti menanggung risiko. Ketika mereka berhenti melakukan perawatan, tubuh mereka menjadi rusak, bahkan lebih jelek jika dibandingkan kondisi naturalnya. 

Baca juga: Perempuan-perempuan, Penjaga Air, Sumber Listrik dan Pangan di Desa Renah Kasah

Pemikiran bahwa menjadi putih akan membuat seseorang terlihat lebih cantik dan menarik jelas perlu diluruskan. Pemikiran tersebut sesungguhnya adalah hasil dari penindasan melalui normalisasi perilaku. Ada kekuasaan yang memberikan penilaian atas hal baik dan buruk, melakukan pengaturan perilaku, sekaligus mendisiplinkannya. 

Wacana mengenai makna kecantikan setidaknya mesti dilawan melalui kesadaran dari tiap-tiap individu. Salah satu perlawanan yang cukup digaungkan adalah konsep self love. Konsep ini mendorong seseorang untuk mengenal dan menerima dirinya sendiri. Dengan begitu, bisa memperlakukan diri dengan baik karena tahu kekurangan dan kelebihan dirinya. Proses ini terbukti membantu menurunkan risiko gangguan psikologis dan menjaga kesehatan mental. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Mendorong implementasi UU TPKS

Mendorong Implementasi UU TPKS di Bengkulu

Marie Antoinette: Bias Patriarki dalam Penghakiman Publik

#BerbagiPeran Demi Kesetaraan dalam Pekerjaan Domestik Bersama Asha Puan

Leave a Comment