Workshop Jurnalisme Keberagaman Wilayah Sumatera
BENGKULU- Memberi nuansa seks pada semua liputan yang berhubungan dengan perempuan atau tokoh perempuan. Begitulah potret perempuan di sejumlah media di Indonesia. Seperti yang disampaikan Editor-in-Chief Magdalene.co, Devi Asmarani saat mengisi Workshop Jurnalisme Keberagaman: Merawat Toleransi di Tengah Covid-19 di Wilayah Sumatera” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews 21-23 Juli 2020 secara online.
“Representasi perempuan di media mencerminkan masyarakat yang patriarkal,” katanya.
Ada 4 poin yang menjadi catatan Devi terkait kondisi perempuan di media. Yakni (1) Seksisme. Perempuan sebagai properti, sebagai gender yang lebih lemah. Yang paling berharga dari perempuan adalah penampilan. (2) Eksploitatif, dmana perempuan sebagai obyek seks. (3) Stereotipe. Dimana adanya penilaian terhadap perempuan yang baik adalah perempuan yang menjadi Ibu rumah tangga/perempuan berkarier yang berkeluarga. Sedangkan perempuan tidak baik/kurang sempurna adalah perempuan lajang/bercerai/memilih tidak punya anak, keluar malam, berambisi terlalu tinggi. (4) Diperkuat dengan peningkatan konservatisme di Indonesia karena pengajaran agama yang semakin kaku dan keras.
Tak hanya itu, perempuan, lanjut Devi juga menjadi korban kekerasan seksual di media. Dimana media belum berpihak kepada perempuan khususnya korban . “Sering kali menimbulkan stigma mulai dari persoalan baju yang dipakai perempuan, pacarnya, dia sedang keluar malam à victim blaming. Media juga tak sungkan menyebutkan nama dan data korban, menggunakan eufemisme untuk “memperhalus” pemerkosaan: “menggagahi”, “menodai”, ”ditiduri”. Sering kali salah fokus dan penekanan pada unsur sensasional. Bahkan menjadi tidak kritis, cenderung menyetujui, jika kasus pemerkosaan diselesaikan dengan menikahkan korban dengan pelaku,” lanjutnya.
Padahal, kata Devi, Kode Etik Jurnalistik Indonesia jelas menyebutkan Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
“Dimana penafsiran a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber,” terangnya.
Ke depan, Devi sangat mengharapkan media dan jurnalis dapat menggunakan peran pentingnya dalam memberitakan pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat memengaruhi opini dan kebijakan publik, memberikan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia.
“Pemberitaan yang baik dan akurat dapat membantu menjadi katalis untuk perubahan yang positif yang membantu mengakhiri budaya pemerkosaan,” tegas Devi.
Baca juga : Diskriminatif dan Inkonstitusional : Pemda Bengkulu Tak Perlu Buat Sekolah Negeri ‘Bernuansa’ Agama
Saat menulis, jurnalis diharapkan dapat mengingat bahwa perempuan sejajar dan setara dengan laki-laki, dimana apa yang bisa dilakukan laki-laki bisa dilakukan perempuan juga.
“Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki, masih ada kesenjangan gender dan ketidakadilan berbasis gender karena masyarakat yang patriarki. Adalah tugas kita untuk terus menyorot dan mempertanyakan ini, dan mendorong terjadinya perubahan. Perubahan bisa terjadi, tapi tidak kalau kita diam saja. Dalam menuliskan tentang kekerasan selalu hormati privasi korban, jangan sampai tulisan kita menjadi bentuk kekerasan baru, dan jangan pernah melakukan victim blaming. Write to empower!
Devi Asmarani
Workshop Jurnalisme Keberagaman: Merawat Toleransi di Tengah Covid-19 di Wilayah Sumatera” diikuti 15 jurnalis terpilih ini juga diisi dengan sejumlah narasumber. Diantaranya Panduan Meliput Keberagaman editor The Jakarta Post Ahmad Junaidi mengingatkan dosa-dosa media ketika memberitakan isu-isu di atas. Produser Kompas TV, Budhi Kurniawan membahas pedoman menulis feature. Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad dan Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra ikut mendiskusikan prinsip-prinsip dasar kebebasan dan perspektif HAM dalam beragama dan berkeyakinan. Serta Ika Ningtyas dari SAFEnet yang membahas keamanan di dunia digital atau Digital Safety.
Setelah coaching dengan mempresentasikan proposal liputan, terpilihlah 10 peraih Story Grant yang dipilih para mentor yang terdiri dari Ahmad Junaidi, Budhi Kurniawan dan Yuni Pulungan (SEJUK). Para peraih story grant mendapat beasiswa terbatas liputan keberagaman masing-masing berhak mendapatkan Rp.7.000.000. (**)
Berikut 10 peraih Story Grant SEJUK
- Diskriminasi Kelompok Disabilitas di Medan (Sri Wahyuni, Sonora FM)
- Gawai, Agama Langkah Lama dan Hutan yang Tersisa (Elviza Dina, Mongabay)
- Masjid Lintas Agama Pertama di Desa Kaban Tua (Arifin Al Alamudi, IDN Times)
- Melihat Kehidupan Imigran di Riau (Dina Febriastuti, BBC)
- Minimnya Pemberdayaan Bagi Transpuan di Jambi (Fahmi Syahril, ficus.id)
- Melihat Toleransi dalam Budya Kuliner Suku Batak (Adinda Zahra, medanheadlines.com)
- Pencari Suaka di Sumut Selama Covid-19 (Truly Okto Purba, Tribunnews)
- Penolakan Sekolah Negeri Menjadi Sekolah Islam di Bengkulu (Betty Herlina, rakyatbengkulu.com)
- Relasi Melayu dan Tionghoa di Siak (Imelda Vinolia, suarariau.co)
- Transpuan di Palembang Bahu Membahu Hadapi Covid-19 (Tasmalinda Tasaruddin, gatra.com)